Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke dokter Kandungan
Seminggu telah berlalu, tapi Refano tak kunjung pulang ke rumah. Padahal hari ini merupakan jadwal dirinya kontrol kehamilan ke doktervdan Refano telah mengatakan akan menemani dirinya kontrol ke dokter sekaligus melakukan USG. Tetapi hingga hari menjelang sore, Refano tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Awalnya Zafira biasa saja, bahkan cenderung tak peduli. Begitu pula anak-anaknya yang semenjak hari dimana Refano tidak datang ke acara di sekolah Regina, bahkan menghubungi pun tidak sama sekali, sejak itu pula anak-anaknya seakan mati rasa terhadap ayah kandungnya itu. Mereka tidak peduli sama sekali. Menanyakan keberadaan ayahnya pun tidak. Mereka telah terlalu sakit selalu diabaikan. Bahkan banyak yang mengira mereka anak yatim karena memang Refano tak pernah menampakkan dirinya sekali pun di hadapan orang-orang apalagi mengakui Regina dan Refina sebagai anak-anaknya. Bagaimana orang tahu, bahkan hingga saat ini saja Refano tidak pernah mempublikasikan Zafira sebagai istrinya. Ia juga tak pernah tampil berdua dimana pun dan kapan pun itu. Orang-orang yang mengenal Refano mengira laki-laki itu masih single, padahal Refano telah menikah dan memiliki 2 orang anak, bahkan sudah mau 3, tapi hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu.
Karena sudah satu Minggu Refano tak pulang, Zafira pun memberanikan dirinya menghubungi Refano. Sebenarnya bisa saja ia bertanya pada Liliana, tetapi rasanya percuma. Bukannya jawaban pasti yang ia dapat, justru caci maki, cibiran, makian, dan umpatan lah yang ia dapat.
Panggilan ke-satu, ke-dua, ke-tiga, belum juga diangkat. Padahal langit sudah mulai menampakkan semburat jingga, waktu janji temu dokter kandungan pun sudah hampir habis, tapi Refano belum juga mengangkat panggilannya.
"Ma, mama lagi apa?" tanya Regina setelah menutup layar tabletnya yang menayangkan permainan piano dari pianis terkenal dunia.
"Oh, itu, mama mau hubungi papa, tapi ... "
"Papa nggak angkat panggilan mama?" potong Regina. "Ngapain sih ma telepon papa, papa aja udah nggak peduli lagi sama kita," imbuh Regina dengan wajah datarnya. Sepertinya batas kesabaran Regina telah benar-benar habis. Bila biasanya ia yang lebih dahulu ribut menanyakan keberadaan sang papa, kali ini justru ia merasa acuh tak acuh dan mempertanyakan untuk apa mamanya menghubungi orang yang tidak pernah menganggap keberadaan mereka sama sekali.
"Sayang, nggak boleh gitu. Bagaimana pun, papa itu papanya Regi dan Refi, jadi Regi harus tetap menghormati papa bagaimana pun papa selama ini memperlakukan kita."
"Regi udah capek, ma. Regi udah lelah. Regi udah nggak berharap papa sayang Regi lagi. Biar aja, orang-orang juga nyangkanya Regi anak yatim jadi sekalian aja Regi nganggap Regi nggak punya papa kan selama ini juga Regi cuma sama mama dan Refi. Mending jadi anak yatim, jelas emang nggak punya papa lagi. Daripada punya papa, tapi kayak anak yatim."
Zafira tertegun saat mendengarkan penuturan Regina. Bahkan anak berusia 6 tahun itu lebih memilih jadi anak yatim akibat kekecewaan yang telah mengakar kuat di benaknya. Seharusnya anak seusia Regina dan Refina mendapatkan cinta dan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya, mengukir masa kecilnya dengan kenangan indah, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kenangan buruklah yang akan selalu terkenang olehnya.
Regina masih terlalu kecil untuk memahami semua itu. Tapi karena keadaan dan situasi membuatnya harus dewasa lebih dini. Kalau seorang anak kecil bisa berpikir seperti itu, sebenarnya siapa yang salah? Tentu saja orang tuanya. Zafira merasakan teramat sangat bersalah pada putri kecilnya itu. Zafira merasa telah gagal sebagai orang tua. Semua ini salahnya. ya, salahnya. Seharusnya perjodohan itu tak pernah terjadi. Seharusnya pernikahan itu tak terjadi. Tapi menyesal pun tiada mungkin lagi. Apalagi berkat pernikahan itu ia diberikan anugerah anak-anak yang pintar, baik, dan shalehah. Diantara sebersit penyesalannya, namun nyatanya, rasa syukur itu lebih besar. Tidak selamanya yang terlihat buruk itu buruk sebab terkadang dibalik keburukan itu, tersembunyi sesuatu yang begitu indah dan bermakna.
Zafira hanya bisa tersenyum miris, 'mas, selamat karena kau telah menorehkan luka mendalam pada anak-anakmu. Aku harap kelak kau menyesali semua perbuatanmu itu ' batin Zafira bermonolog.
Hingga hari menjelang malam, ponsel Zafira berdering. Zafira yang baru saja menyelesaikan shalat isya pun gegas mengambil ponselnya. Tertera nama Refano di layar segi empat tersebut. Zafira pun segera mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, mas," tutur Zafira lembut.
Bukannya menanggapi, Refano justru langsung menanyakan tujuan Zafira menghubunginya.
"Kenapa kau menghubungi ku?" tanya Refano to the point.
Diperlakukan secara dingin perlahan membuat Zafira ikut mati rasa dan membalas tak kalah dingin.
"Aku hanya ingin bertanya, seharusnya sore tadi kita melakukan check up, tapi kau justru tak pulang."
Hening ... hingga beberapa saat tak ada kata yang keluar dari bibir keduanya hingga tak lama kemudian suara Refano menginterupsi.
"Minggu depan aku akan pulang. Atur kembali jadwal kontrolnya."
Setelah mengatakan itu, Refano pun memutuskan panggilan itu sepihak. Zafira tersenyum miris. Bola matanya beredar, entah mengapa Zafira merasa akan sangat merindukan tempatnya berpijak itu. Tempat yang menjadi saksi atas kesabaran dan ketangguhan seorang istri. Tempat yang menjadi saksi betapa ia tulus menyayangi setiap anggota keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, dadanya seketika sesak saat kilasan memori apa-apa saja yang ia alami di rumah itu. Biarpun tidak semuanya kenangan manis, tapi ada beberapa kenangan yang begitu membekas di memori salah satunya bagaimana ia membesarkan anak-anaknya, bagaimana ia membantu anak-anaknya belajar berjalan untuk pertama kali, bagaimana ia merasa bahagia saat mendengar kata pertama dari bibir anaknya. Mama, ya kata pertama yang keluar dari bibir anak-anaknya saat pertama kali bicara adalah memanggil namanya. Entah mengapa kilasan memori itu seakan berdesakan mengingatkan dirinya seolah ia akan segera pergi dari sana.
...***...
Seminggu kembali berlalu, dan sesuai perkataan Refano, akhirnya ia pun pulang.
Refano mengernyitkan dahi, tidak biasanya ia pulang dalam keadaan sunyi seperti saat itu. Sunyi, ya, sunyi, sebab biasanya Regina akan menyambut kepulangannya dengan wajah sumringah sambil merentangkan kedua tangannya. Tapi kini beda, benar-benar tidak seperti biasanya. Semuanya terasa kosong, sunyi, dan hampa. Bahkan suara tawa yang biasanya ia dengar pun tak ada. Aneh, pikirnya sambil geleng-geleng kepala. Aneh maksud Refano adalah aneh mengapa ia merasa seperti merasa kehilangan. Ditepisnya jauh-jauh ingatan itu sebab ada sesuatu yang lebih penting untuk segera ia ketahui.
"Bagaimana dok, apakah kami sudah bisa melihat jenis kelaminnya?" tanya Refano begitu antusias pada dokter kandungan yang baru saja memeriksa keadaan istrinya, Zafira.
Sang dokter pun menjawab pertanyaan Refano dengan tersenyum. Dokter itu pikir, Refano akan berbahagia, tetapi nyatanya wajah Refano seketika jadi masam.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...