Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 33
"Jangan pergi Bude" ucap pria yang masih duduk di lantai, luka dahinya lebih parah dari Mia. Gigi bagian depan copot satu kerena membentur stir, belum lagi memar-memar di pipi dan di hidung.
"Obati sendiri luka kamu, luka seperti itu tidak harus di bawa ke dokter" Sinis wanita yang tak lain adalah orang tua Slamet memberikan obat kepada keponakannya dengan cara di lempar.
Dia menyuruh keponakannya yang tinggal satu rumah agar memberi pelajaran kepada Mia karena sudah membuat isi rumah Slamet kosong. Hingga saat ini Slamet banyak hutang.
"Dasar bude" pria lajang itu ngedumel. Menatap bude nya yang sudah berjalan ke arah dapur sambil membawa sayuran.
Maya jatuhkan sayuran di lantai, dia kesal karena sang keponakan tidak berhasil melakukan perintahnya, tetapi ketika di pasar tadi bertemu Mia. Mia baik-baik saja dan hanya luka di kening saja.
"Awas kamu Mia" Maya benci sekali dengan Mia sejak Slamet berniat menikahi nya. Padahal Maya tidak setuju tetapi rupanya Slamet nekat. Ketika sudah menikah pun Mia tidak bisa memberikan cucu. Menurutnya Mia wanita tak berguna.
***************
Lembayung merona di ufuk barat, lampu-lampu jalanan mulai memberikan penerangan. Mobil mewah berjalan sedang melewati jalan tersebut. Si pengendara sesekali menghembuskan napas. Pertemuannya dengan Mia hari ini menyisakan tanda tanya.
Tentang kenapa wajah Mia, tentang status Mia, tentang perceraian dan siapa pria yang menjadi mantan Mia. Jaka kah? Atau ada pria yang lain. Banyak lagi yang ingin diketahui dari wanita yang sudah beberapa kali hadir di dalam mimpinya.
Sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di halaman, pikiranya dipenuhi oleh satu orang. Mia, Mia dan Mia.
Tubuh lelah yang sejak seminggu terakhir menyusun acara ulang tahun agar berjalan dengan lancar. Belum lagi sejak kemarin dia kurang tidur. Tetapi ketika bertemu Mia sore tadi lelahnya terasa hilang. Namun, sejak bertemu dengan wanita yang Mia panggil Ibu, kini hatinya menjadi gundah.
"Mama kemana Bi?" Tanya Vano ketika tubuh lelah itu berjalan gontai menapaki anak tangga.
"Di kamar Tuan"
Bruk!
"Aaagghhh..."
Dia banting tubuhnya ke kasur disertai teriakan, tidur terlentang. Kedua tangannya melebar hampir memenuhi tempat tidur.
"Vano... magrib-magrib kok kamu tidur?" Paulina masuk kamar Vano setelah sepuluh menit kemudian.
"Iya Ma..." Vano geragapan segera bangun, rupanya dia ketiduran. Dia lihat arloji yang masih melingkar di lengan. Masih ada waktu untuk magrib segera dia ambil air wudhu.
"Mama sudah shalat" ucapnya sembari menurunkan lengan baju yang dia gulung ketika wudhu.
"Sudah... Mama tunggu di bawah" pesan Paulina. Tiba di ruang keluarga Paulina menulis pesan untuk Mia. Ketika diacara ultah tadi siang Paulina mencari Mia tidak bertemu.
"Saya pulang duluan ibu sempuh" jawab Mia ditutup emote menangkupkan kedua tangan.
"Oh... kamu sekarang lagi apa?"
"Mau nyicil untuk pesanan kue besok siang Ibu sepuh"
"Semangat, kamu hebat," pungkas Paulina. Setelah meninggalkan jempol, lalu meletakkan handphone di atas meja.
"Mau makan sekarang, Vano?" Tanya Paulina ketika Vano sudah berada di kursi sebelah Paulina.
"Sebentar Ma, nanti jam tujuh saja," Jawab Vano, sebenarnya ada yang ingin dia sampaikan tentang Mia, tetapi Vano ragu-ragu.
Anak dan ibu itu pun ngobrol membicarakan masalah lain yaitu tentang pesta dan lainnya.
"Tadi Mama sempat ngobrol dengan orang tua Dona, tetapi mereka biasa saja Vano. Hanya saja, Dona kelihatannya menghindari tatapan Mama," tutur Paulina, setelah Vano membatalkan pernikahan itu Paulina baru bertemu keluarga Dona sekali, setelah pesta siang tadi.
"Masa mau marah sih, Ma" hanya itu jawaban Vano.
"Tapi kamu tidak menyesal kan Vano?" Paulina merasa putranya beberapa hari ini banyak melamun, dia pikir masih memikirkan Dona.
"Jelas tidak Ma" tegas Vano mengangkat kepala cepat.
Sang mama menatap mata putranya sudah tidak ada keraguan, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. "Lalu kenapa akhir-akhir ini kamu selalu murung Van?"
"Ma... kalau aku menikah dengan janda bagaimana Ma?" Vano memandangi wajah sang mama yang nampak kaget.
"Janda?" Dahi Paulina berkerut, memang benar-benar kaget.
Deeerrtt... deerrtt...
Obrolan terputus karena gangguan handphone Vano. Pria itu pun pamit mengangkat telepon lebih dulu, entah siapa yang telepon.
"Janda? Anak itu, ada-ada saja. Darimana pula dia mengenal janda?" Paulina berbicara sendiri memandangi Vano yang sedang berjalan ke ruang kerja.
.
Di tempat yang berbeda, setelah magrib Mia dibantu Yuli dan tetangga yang lain sudah mulai mengupas kentang, wortel, dan bahan yang lain sambil ngobrol tidak terasa hingga selesai.
"Besok kesini setelah subuh ya, Mbak" Pesan Mia khawatir Yuli dan teman-temannya kesiangan. Sebab, jam 12 siang kue sudah harus tiba di hotel.
"Tentu Mia" Yuli pun akhirnya pulang.
Sementara Mia pun akan tidur lebih awal agar besok bangun tubuhnya sudah kembali bugar. Mia ambil air wudhu, kemudian tidur. Begitulah, setiap malam bila hendak tidur, Mia ambil air wudhu agar tidak mimpi buruk. Malam ini Mia tidur dengan nyenyak hingga keesokan harinya jam tiga pagi sudah bangun.
Semua bekerja seperti hari-hari sebelumnya tiap kali ada pesanan dan selesai tepat waktu. Ketika pesanan sudah di ambil oleh orang suruhan bu Nurul Mia pun bersiap-siap hendak menghadiri undangan tersebut.
Seminggu kemudian, selama itu Mia semakin sibuk, bukan hanya menerima pesanan kue tetapi juga pesanan jamu. Namun, ada yang aneh, Vano tidak pernah menanyakan tentang kabar seperti sebelumnya apalagi datang.
Sempat terlintas di pikiran Mia, mungkin saja Vano marah karena cintanya Mia tolak. Tetapi bagi Mia, mau datang atau tidak itu hak Vano. Namun, kemana ibu sepuh? Mengapa beliau pun tidak pernah berbasa-basi di handphone, padahal seminggu yang lalu hampir setiap hari. Tetapi ya sudahlah, Mia hanya orang biasa tidak pantas juga berharap diperhatikan orang-orang kaya.
Ting.
"Mudah-mudahan Ibu sepuh" Mia bersemangat mengecek pesan. Tetapi ternyata bukti transfer dari salah satu pelanggan.
Mia mengecek tabungan, rupanya sudah terkumpul lumayan banyak.
Dia pandangi rumah 100 meter itu terlalu luas untuk dia tempati sendiri. "Sebaiknya aku skat saja untuk berjualan jamu dengan kue" Mia bersemangat. Walaupun rumahnya bukan di pinggir jalan raya tetapi Mia sudah banyak langganan yang pesan. Dengan dibantu promosi online insyaAllah usahanya akan lancar.
Saat itu juga Mia menemui Yuli, karena suami Yuli pekerja proyek.
"Ada apa Mia, ada pesanan lagi?" Yuli terkikik. Kebetulan saja dia keluar bersama suaminya.
"Begini Mbak" Mia mengatakan maksud kedatangannya ingin minta tolong suami Yuli, seperti yang sudah Mia rencanakan.
"Alhamdulillah... kebetulan saya lagi nganggur Mbak" ujar suami Yuli tentu saja senang.
"Beneran Mia?" Yuli tak kalah senang, dengan begitu dia berharap Mia mau mempekerjakan dirinya.
"Beneran Mbak, kalau begitu saya permisi" Mia pun bergegas pulang. Saat itu juga Mia ke matrial, kali ini bukan menggunakan jasa ojek maupun transportasi lainnya. Tetapi menggunakan sepeda motor bekas yang dia beli tiga hari yang lalu dari salah satu pelanggan yang terdesak biaya. Walaupun bekas tentu saja motornya masih bagus.
Tiba di material Mia pun memesan semen, pasir dan juga keperluan untuk merapikan rumah.
"Mbak yang dulu membeli genteng kan?" Tanya penjaga material.
"Benar Bang, kalau sekarang bisa di antar bukan?"
"Jelas Bisa"
Setelah mendapatkan yang dia cari, Mia pun pulang. Ketika tengah berhenti di teras rumah dia terkejut karena suami istri sedang duduk di teras rumahnya.
...~Bersambung~...