Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laki-laki pecundang.
" Andai ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan karena bentuk tanggung jawabnya, bukan karena cinta, menurutmu itu bagaimana ? " Tanya Fikri sambil memeluk erat tubuh semampai istrinya dari samping.
Sepasang suami istri itu, sedang duduk di depan tenda camping sekarang. Keduanya mewujudkan rencana mereka beberapa hari lalu untuk camping di danau Tambing yang berlokasi di Kabupaten Poso.
Dilara mengangkat kepalanya yang sedang bersandar di bahu Fikri lalu menoleh sekilas ke arah suaminya dengan dahi berkerut. " Bertanggung jawab ? Apa penyebabnya ? Penilainya tergantung alasan kenapa dia harus bertanggung jawab. " Jawab Dilara diplomatis, dia mencoba mencerna apa yang akan disampaikan suaminya.
Fikri menellan salivanya yang terasa kelat. " Si laki-laki tidak sengaja telah merampas kebahagiaan si perempuan, sehingga mau tidak mau dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. " Tutur Fikri terbata.
Dilara terkesiap. Seketika dadanya terasa sesak. Perlahan dia mengurai rangkulan Fikri di bahunya. Dia mengambil posisi duduk tegap. " Apa yang sudah dilakukan oleh abang ?! " Batinnya menjerit. Wanita cantik itu sudah bisa menebak, siapa yang dimaksud oleh sang suami.
" Ta-tapi laki-laki itu sudah beristri dan laki-laki itu sangat mencintai istrinya. " Imbuh Fikri lagi membuang pandangannya menembus kabut yang semakin menebal seiring terbenamnya matahari.
" Deg. " Dada Dilara bertalu kencang. " Apakah laki-laki itu memang dirmu, bang ? " Batinnya.
" Apakah istri laki-laki itu tahu tentang pernikahan suaminya ? " Tanya Dilara dengan suara bergetar. Dadanya terasa nyeri.
" Tidak ! Istrinya tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. " Jawab pria penuh kharisma itu.
" Sungguh, dia adalah laki-laki pecundang ! " Ucap Dilara penuh emosi. Emosi Dilara seketika tersulut.
" Ya Allah, kenapa sakit sekali ? Padahal aku sudah berjanji untuk ikhlas. " Batinnya berbisik pilu.
" Abang diam-diam menikah lagi ? " Celetuk Dilara to the point setelah sesaat hening. Udara dingin yang semakin menusuk kulit, menambah perih di sudut hati terdalam Dilara. Dunia seakan mau runtuh ketika dia harus menerima kenyataan pahit saat ini.
" Bu-bukan ! Laki-laki itu bukan abang. Ini kisah teman abang. Kemarin dia curhat ke abang, dia takut istrinya akan meninggalkannya kalau sampai istrinya tau kalau dia sudah menikah lagi. " Tukas Fikri cepat dengan tergagap.
Dilara tersenyum miris. " Kau semakin pandai berbohong, bang. Apakah aku senaif itu di matamu sehingga dengan entengnya kau membodohiku ? " Lagi-lagi Dilara hanya mampu berteriak dalam hati. Jika kemarin dia sudah berjanji akan kuat menghadapi kenyataan pahit sekalipun, ternyata itu tidak semudah dengan apa yang dibayangkan. Nyatanya mentalnya tidak siap saat ini. Dia terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.
" Ooh..itu teman abang ? " Ujar Dilara berusaha untuk tenang. Dipeluknya tubuhnya yang semakin terasa dingin meskipun berbalut jaket tebal.
" Bilang ke teman abang, bahwa dia adalah laki-laki pecundang. Manusia paling brengsek di dunia ini. Kalau dia laki-laki sejati, kenapa dia tidak melepas istri pertamanya dulu sebelum menikah lagi. Apapun alasannya, dia sudah menyakiti hati istrinya. " Dilara mengusap lembut setetes cairan bening yang menetes tanpa sadar dari sudut netranya.
" Katakan pada teman abang, segera lepaskan istri pertamanya, sebelum dia menyakiti terlalu dalam hati istrinya. Sejatinya tidak ada perempuan di dunia ini yang rela berbagi, apalagi telah dicurangi. Saya pribadi sebagai perempuan sangat mengutuk hal itu. "
" Deg.." perasaan Fikri kian resah. Tatapan tajam penuh kebencian terlihat dari sorot mata teduh milik Dilara.
" Tap-tapi suaminya sangat mencintai istrinya. Dia tidak ingin kehilangan istrinya. " Lirih suara Fikri memelas.
Dilara terkekeh sinis. " Bulshit ! Cinta seperti apa yang tega menyakiti ? " Umpat Dilara. " Kenapa seolah abang lah laki-laki brengsek itu ? " Ucap Dilara menelisik wajah sang suami, nada suaranya bergetar menahan lupan emosi yang tertahan.
Fikri gelagapan. " Ti-tidak sayang. Abang cuma prihatin sama teman abang. " Tukas Fikri cepat sambil menggoyangkan tangannya di depan wajah Dilara.
Dilara terkekeh sinis. " Hhff.. Trus kenapa Lara harus capek-capek memikirkan teman abang yang brengsek itu ? Kenal saja tidak. " Sarkas Dilara lalu bangkit mendorong kayu api unggun yang sudah mulai redup nyalanya.
Fikri mematung. Pikirannya berisik penuh dilema. " Apa aku harus jujur padanya saat ini ? " Gumamnya dalam hati seraya menatap punggung Dilara yang sedang menghangatkan telapak tangannya di atas api unggun.
" Jika sudah ada kebohongan, rahasia, ataupun perselingkuhan, jangan pernah berharap rumah tangga itu akan baik-baik saja. " Celetuk Dilara tanpa mengubah posisinya, terdengar jelas di rungu Fikri.
" Jleb.. " Ibarat pisau yang dilempar tepat sasaran. Hati Fikri seketika mencelos mendengar ucaoan Dilara.
" Dan ketiga hal itu akan sangat sulit termaafkan. " Imbuh Dilara dengan suara tegas. Wajahnya merah padam menahan tangis, sehingga dia enggan membalikkan badannya menatap Fikri.
♡♡♡
Sudah seminggu sejak percakapan Dilara dan Fikri di Danau Tambing, sejak saat itu sikap Dilara berubah semakin dingin pada Fikri. Wanita anggun itu sedang menunggu kejujuran yang akan diungkapkan oleh sang suami. Dia penasaran, rahasia apa yang sedang disembunyikan laki laki tercintanya.
" Assalamualaikum, sayang ! " Pekikan khas terdengar familiar di telinga Dilara yang sedang duduk santai menikmati sore di gazebo belakang rumahnya.
Sudah tiga hari Fikri berangkat ke Makassar, Dilara baru pulang dari meninjau cafe-nya. Otaknya yang penuh dengan masalah membutuhkan penyegaran, dan dia memilih menyegarkan otaknya di belakang rumah mewahnya. Dia duduk menghadap kolam ikan koi peliharaan Fikri.
" Umi ! " Gumam Dilara menoleh ke arah pintu belakang. Nampak olehnya wanita paruh baya berwajah Arab dengan tubuh sedikit subur sedang berjalan ke arahnya. Senyum sumringah terukir jelas di wajah keibuan itu.
Dilara bangkit dari duduknya. " Umi !! " pekiknya penuh antusias sambil merentangkan kedua tangannya menyambut sang mertua.
"Umi kapan datang ? Lara rindu ! " Rengek wanita anggun itu mencium takzim punggung tangan Umi Fatimah.
Umi Fatimah terkekeh. " Tadi siang. Kalau rindu kenapa tidak menyusul Umi ke Toraja ? " Tukas wanita berjilbab lebar itu lalu memeluk erat tubuh sang menantu.
Kedua mertua Dilara memang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di Toraja. Sebab di daerah wisata itu, banyak hotel milik mereka di bangun di sana.
Dilara mengerucutkan bibirnya. " Lara sibuk. Abang tidak punya waktu. Gimana bisa nyusul Umi sama Abi ?! " Keluhnya setengah merengek sambil mengajak mertuanya duduk di gazebo.
" Mana Abi ? " Tanya Dilara tiba-tiba ketika menyadari sang mertua laki-laki tidak ada bersama dengan istrinya.
" Itu di depan, lagi temani Cilla main sepeda. " Jawab wanita berumur lima puluh tahun itu sambil mengelus lembut pipi sang menantu.
" Kamu agak kurusan, nak. Kenapa ? Apa kesibukanmu membuatmu lupa makan ? " Ucap Umi Fatimah menelisik wajah Dilara.
Dilara terkekeh pelan. " Mungkin Lara stres menyelesaikan tesis Lara. " Sahut istri Fikri itu sambil membuang pandangan, menghindari tatapan sang mertua.
Umi Fatimah menangkup wajah cantik sang menantu. " Astagfirullah, nak. Jangan terlalu memaksakan diri. Tesismu memang harus diselesaikan, agar cita-citamu segera tercapai. Tapi jangan juga jadi abai dengan kesehatanmu. Sehat itu sangat penting, sayang. Jangan sampai kamu sakit. " Nasihat lembut Umi Fatimah.
Dilara menunduk haru. Dia sangat terharu dengan perhatian mertuanya. Dari dulu sampai sekarang, kasih sayang kedua mertuanya tidak pernah berubah.
Meskipun Dilara belum memberi mereka cucu, tak sekalipun keduanya menyinggung akan hal itu. Kedua pasangan paruh baya itu, sebisa mungkin membuat Dilara nyaman. Kasih sayang mereka layaknya orang tua kandung.
" Fikri ke mana ? " Celetuk Umi Fatimah seiring datangnya Mba Ina yang datang mengantar minuman dan cemilan.
" Terima kasih Mba Ina. " Ucap Umi Fatimah tersenyum ramah pada art anaknya.
" Sama-sama, Bu. Silahkan diminum, bu ! " Sahut Mba Ina menunduk hormat lalu mengundurkan diri.
" Bang Fikri lagi ke Makassar. Abang sudah tiga hari di sana. " Jawab Dilara setelah Mba Ina pergi.
" Ooh...sekali-kali ikutlah bersama Fikri mengunjungi hotel-hotelnya. Anggaplah kalian lagi berbulan madu keliling Sulawesi. " Usul mertua Dilara yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh Dilara.
" Insyaa Allah, Mi. Kalau Lara ada waktu. Lara akan sempatkan. " Ucapnya pelan.
Umi Fatimah sedikit tertegun saat menatap sekilas netra sang menantu. " Kenapa sorot mata Dilara seperti sedang menyimpan kesedihan ? " Batin wanita yang masih terlihat cantik di usia setengah abad itu.
" Ken--- "
" Bunda !! " Pekikan suara cempreng anak kecil menghentikan ucapan Umi Fatimah.
" Astagaa..ini anak " Gerutu nenek Cilla mendelik ke arah cucunya yang sedang bergandengan tangan dengan sang suami.
Dilara bangkit mencium takzim punggung tangan mertua laki-lakinya. " Assalamualaikum, Bi. ! Apa kabar ? Sehat, Bi ? " Sapa Dilara ramah.
" Waalaikum salam. Alhamdulillah sehat nak. Lara apa kabar juga ? " Sahut mertuanya sambil mengusap pelan pucuk kepala Dilara.
" Alhamdulillah, Lara baik, Bi. " Jawab Dilara mempersilahkan mertuanya untuk duduk.
" Napa Cilla tanya kabal tidak ? Cilla cini ada, bunda ! " rengek bocah lucu itu merajuk.
Semua orang terkekeh lucu. " Masyaa Allah. Apa kabar anak cantiknya, bunda ? " Tanya Dilara berlutut untuk menyamakan tingginya dengan ponakan lucu itu.
Cilla tersipu malu. " Cilla baik, bunda. Tapi lapar Cilla punya pelut. " Ucapnya polos dengan mata mengerjap lucu.
" Aahh..anak bunda lapar ? " Tanya Dilara mencubit pelan pipi gembul Cilla.
Gadis kecil itu mengangguk cepat. " Lapal sangat bunda. Cacing demo pelut Cilla. " Sahutnya polos seraya mengelus perutnya membuat ketiga orang dewasa spontan terbahak.
" Assalamualaikum ! " Suara bariton khas suami Dilara menginterupsi keceriaan sore itu.
" Wa-alaikum salam warrahmatullahi wa baraka--- tuh ! " Suara Dilara tercekat di tenggorokan melihat kedatangan seseorang.
lanjut thor
..