Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09
Dan di sinilah Sebastian berada.. Di kamar yang ditempatinya bersama Almira setelah pengusiran keras Cassandra terhadapnya.
"Kak Tian..! Aku hanya sulit untuk berjalan! Bukan sakit hingga tak bisa makan sendiri!" ujar Almira sedikit merengek.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Buka mulutmu dan makanlah. Lebih baik Kau carilah cara, bagaimana caranya agar lekas pulih," Sebastian men jeda sejenak ucapannya, sebelum kembali berucap dengan cara berbisik tepat di telinga Almira. "Agar bisa bertempur kembali."
"Hais!! Apakah semua pria hanya itu-itu saja dalam pikirannya? Berfikiran mesum??!" Sebal Almira sembari bersedekap tangan.
"Entahlah, tapi yang Kakak tau.. Kakak hanya mesum pada istri Kakak saja," ucap Sebastian. "Ayo makan," lanjutnya sembari mengulurkan roti selai kacang ke depan mulut Almira. Almira pun kali ini menerima suapan itu, dengan muka hingga telinga yang terasa memanas hanya karena mendengar kata istri yang keluar dari mulut Sebastian.
"Kak Tian!!" Tiba-tiba Almira berseru.
"Kenapa?" Tanya Sebastian dengan pipi yang menggembung akibat mulut yang juga terisi makanan.
"Kakak tidak merasa jijik makan di bekas gigitan ku?" Tunjuk Almira ke arah roti yang dipegang Sebastian. Ya, Almira berseru karena melihat Sebastian yang menggigit roti tepat di bekas gigitannya.
"Tidak, mengapa harus merasa jijik jika itu hanya pada bekas gigitan mu saja? Sedangkan yang lebih dari sekedar gigitan saja, Kakak tidak merasa jijik," ucap Sebastian vulgar seraya kembali menyodorkan roti tersebut pada Almira, namun diujung lainnya yang bukan bekas gigitannya.
Almira tersenyum menerima suapan itu. Akan tetapi, bukannya menggigit ujung yang di depan mulutnya, Almira justru membelokkan wajahnya dan menggigit roti bekas dari gigitan Sebastian.
Sementara Sebastian yang melihatnya seakan tak berkutik, menatap Almira dengan tatapan tak terbaca.
Almira tak tahu saja jika apa yang baru saja dilakukannya membuat naluri kelaki-lakian Sebastian bangkit. Sebastian melepas roti yang dipegangnya dan kemudian menerjang Almira hingga terbaring.
"Kak Tian..!!!" Jerit Almira.
"Kau menggodaku, Sayang?! Padahal sedari tadi aku sudah susah payah menekan hasrat ini.. Tapi Kau justru memancingnya. Jadi, Kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah Kau perbuat," ucap Sebastian dengan nafas memburu.
"Apa yang ku perbuat?? Aku hanya mengikuti apa yang Kak Tian lakukan tadi..," elak Almira.
"Berarti Kau juga harus mengikuti apa yang akan Kakak lakukan sekarang. Mengerti, Istriku?!" Ucap Sebastian.
"Kak.. Tapi masih sakit..." Rengek Almira.
"Aku akan melakukannya pelan-pelan."
Dan apa yang diinginkan Sebastian pun terjadi tanpa penolakan dari Almira yang memang sangat ingin segera ada benih yang tertanam di rahimnya.
***
Disisi lain, Cassandra tengah berbicara sendiri di kamarnya yang sunyi. Sunyi , tanpa ada lagi canda dari suami yang dulu selalu menemaninya.
"Tidak, aku tak boleh menangis lagi. Karena wanita itu adalah adikku sendiri."
Karena sebenarnya Cassandra mengerti saat Sebastian mengatakan jika Almira sakit.
Sakit, akan tetapi dirinya tak diperbolehkan untuk melihatnya.. Apa Cassandra bahkan orang lain yang sudah lebih dulu berpengalaman tidak akan curiga??
"Syukur-syukur jika Almira akan cepat hamil, dan aku akan secepatnya melihat anak Bastian," sambungnya seraya tersenyum kala membayangkan wajah dan tubuh mungil tengah berada dalam pangkuan dan dekapannya. Membayangkan hal itu membuat Cassandra tak sabar untuk segera akan mengalami hal itu.
Cassandra pun membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur seraya terus mengkhayalkan hari esok yang membahagiakan, hingga diapun tanpa sadar kembali terlelap di pagi menjelang siang di hari itu.
***
"Aku merindukanmu..." Ucap Sebastian seraya memeluk tubuh ringkih Cassandra yang tengah berbaring memunggunginya. Tubuh yang dulunya sehat dan berisi.. Kini lemah, kurus, tak bertenaga, dan.... Dingin.
"Tunggu dulu, dingin??" Gumam Sebastian seraya langsung bangkit dan kembali memastikan apa yang di sentuhnya saat ini adalah salah. "Iya, kenapa tubuh Sandra dingin sekali???" Tanyanya pada diri sendiri dengan tangan yang masih tertempel di kening Cassandra. "Sayang, Sandra.. Bangunlah," ucapnya seraya mencoba membalikkan dan menelentangkan tubuh Cassandra. Tubuh yang selama hampir dua bulan ini tak diperbolehkan dipeluknya saat akan tidur.
"Tidak, ini pasti tidak mungkin," ucapnya dalam hati.
"Sandra, Sayang... Hey, bangunlah. Kau pasti sedang bercanda kan, Sayang..? Hey, bangunlah. Kita ke rumah sakit, ya..., Sandra... Bangunlah, hey!" Akan tetapi, sebesar apapun Sebastian berusaha.. Tetap saja, Cassandra tak kunjung terbangun dan membuka matanya. Tak hanya itu.. Nafas serta detak jantungnya pun tak ada, namun Sebastian menampik hal itu dan terus berusaha untuk membangunkan Cassandra.
"CASSANDRA.....!!!!!!!!" Teriaknya seraya memeluk tubuh Cassandra yang kini tak bernyawa. Hanya tinggal raga namun tak berjiwa.
"Maafkan aku. Maafkan aku yang tak bisa memenuhi keinginan terakhirmu. Maafkan aku...," ucapnya sembari terus memeluk tubuh Cassandra dengan diiringi air mata mengalir begitu saja tanpa diminta.
***
Berita kematian Cassandra membuat seluruh keluarga bersedih, termasuk juga Almira yang kini hanya dirinya, Sebastian, dan papa Gilang yang masih berada di pemakaman. Almira merasa sangat terpukul atas kepergian sang Kakak, dan menyalahkan diri sendiri karena tak bisa memenuhi satu lagi permintaan terakhir sang kakak.
Di atas gundukan tanah yang menyembunyikan jasad sang kakak, Almira menangis sejadi-jadinya. "Kakak... Mengapa, mengapa harus secepat ini Kakak meninggalkan, Al..., maafkan Al, Kak..., Maafkan Al karena tak bisa memenuhi permintaan terakhir dari, kak Sandra... Maafkan Al, Kak... Maafkan Al..., semua ini adalah salah, Al..., Al adalah wanita pembawa sial. Al__"
"Al!!!" Sentak papa Gilang saat mendengar pernyataan Almira yang mengatakan jika dirinya pembawa sial. "Dengarkan Papa, Al.., tak ada manusia di dunia ini yang pembawa sial. Istilah itu ada karena kita manusia yang membuat istilah itu. Jadi, Al jangan pernah menyalahkan diri sendiri lagi," ucap papa Gilang seraya merangkul pundak Almira dari samping.
Almira tak merespon ucapan papa Gilang dan justru kembali meracau tak jelas, "Kakak, bawa Al bersama dengan Kakak, ya! Agar Al tak terus merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.. Bawa Al, Kak... Bawa__"
"Al!!!" Kali ini suara Sebastian lah yang terdengar memekakkan telinga. "Mengapa Kau berkata seperti itu, hah?! Apa Kau juga ingin pergi meninggalkanku? Apa Kau tak menyayangi ku? Tak peduli denganku, iya?" Seru Sebastian dan kemudian meraih tubuh Almira dari dekapan Papa Gilang dan memeluknya. "Dengar, Al... Biarlah semua orang berkata apa tentangmu. Tapi satu hal yang pasti, aku akan selalu ada untukmu, aku menyayangimu, dan aku akan menjagamu segenap jiwa dan ragaku. Masih ada aku, Al.. Masih ada Papa Gilang yang akan selalu ada untukmu. Jadi Kau jangan pernah berkata seperti itu lagi, ya.." Ucapnya.
"Kepalaku pusing," ucap Almira lirih saat masih dalam pelukan Sebastian. Belum juga Sebastian mengurai pelukannya untuk mendengar lebih jelas gumaman Almira, Almira sudah lebih dulu tak sadarkan diri.
"Al, Almira," panggil Sebastian seraya menepuk-nepuk pipi Almira.
"Dia pasti kelelahan karena terlalu lama menangis. Sebaiknya kita bawa pulang saja," ucap papa Gilang memberikan pendapat.
"Tidak, Pa. Aku akan membawanya ke rumah sakit. Aku tak ingin mengambil resiko," buru-buru Sebastian menggendong Almira dan berjalan menuju mobilnya diikuti papa Gilang dibelakangnya.
***