Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Ketidaknyamanan yang Manis
Adara masih merasakan getaran dalam hatinya ketika mengingat kejadian tadi malam. Tak ada yang luar biasa, tak ada yang melanggar batas, hanya sebuah percakapan yang seharusnya tidak membawa efek besar. Namun, entah bagaimana, saat tatapan dingin dan tajam Arga berubah lembut ketika menatapnya, sesuatu dalam dirinya ikut berubah.
Ketika jam di dinding kantor menunjukkan pukul delapan pagi, Adara baru saja selesai menyiapkan laporan mingguan yang harus diserahkan kepada Arga. Namun, hari ini rasanya berbeda, dia gugup tanpa alasan. Biasanya, bertemu Arga adalah hal yang biasa baginya, tetapi pagi ini terasa asing dan menegangkan. Apalagi setelah percakapan singkat yang mereka lakukan semalam di luar kantor.
Adara memandang cermin kecil di meja, memastikan dirinya tampak profesional. Ia mengenakan blus putih yang disetrika rapi dengan blazer abu-abu, pilihan pakaian yang selalu ia pakai agar terlihat formal. Namun, hari ini, dia merasa cemas, seolah tatapan tajam itu masih menelanjangi dirinya. Ketika ia mengetuk pintu ruang kerja Arga, sebuah suara berat terdengar dari dalam, “Masuk.”
Ia membuka pintu dan melihat Arga sedang duduk di balik meja kerjanya, dengan pandangan serius pada layar laptop. Ia bahkan tidak menoleh ketika Adara masuk, seolah kehadirannya tak terlalu penting. Namun, Adara tahu, ada yang berubah sejak percakapan mereka kemarin. Meski ia berusaha menutupi, hatinya tetap saja berdetak lebih kencang setiap kali melihat pria itu.
"Saya membawa laporan mingguan yang Anda minta," ujar Adara, berusaha terdengar sesantai mungkin.
Arga akhirnya mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tajam. Ada keheningan beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam bagi Adara. Tatapan itu bukan tatapan biasa, seolah Arga mencari sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang mungkin tersembunyi di balik ekspresi formalnya.
“Letakkan di meja,” ucap Arga singkat.
Adara mengangguk dan melangkah mendekat, meletakkan berkas di atas meja. Saat itu, jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan kehadiran Arga yang begitu dekat, menciptakan ketidaknyamanan manis yang sulit dijelaskan. Ketika ia hendak berbalik, tanpa diduga, Arga memanggilnya lagi.
“Adara, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.”
Ia berhenti sejenak, menahan napas. “Ya, Pak?”
“Apa kamu selalu bekerja sepenuh hati, bahkan ketika tidak ada yang memperhatikan?”
Pertanyaan itu membuat Adara tercenung sejenak. Arga tidak pernah menanyakan hal-hal pribadi, apalagi sesuatu yang berhubungan dengan komitmen dan ketulusan bekerja. Ia menatapnya, mencoba memahami maksud pertanyaan itu.
“Ya, Pak. Saya selalu berusaha memberikan yang terbaik, tak peduli apakah ada yang melihat atau tidak,” jawabnya jujur.
Tatapan Arga melunak. Ia mengangguk pelan sambil berkata, “Bagus. Itu yang membuatmu berbeda.”
Kalimat itu membuat hati Adara berdesir. Ada sesuatu yang hangat dalam cara Arga mengucapkannya, seolah kata-kata itu lebih dari sekadar pujian. Namun, sebelum ia bisa mencerna lebih lanjut, Arga kembali fokus pada pekerjaannya, meninggalkan Adara yang bingung dan terhanyut dalam suasana yang sulit dijelaskan.
Setelah percakapan singkat itu, Adara kembali ke meja kerjanya. Sepanjang hari, pikirannya terus melayang pada kejadian tadi pagi dan percakapan singkat dengan Arga. Meskipun hanya beberapa kalimat, ada sesuatu dalam cara Arga memandangnya yang membuat perasaannya bercampur aduk.
Pukul lima sore, ketika kantor mulai sepi, Adara merasa butuh udara segar untuk menenangkan pikirannya. Ia memutuskan untuk turun ke taman kecil di samping gedung kantor. Taman itu adalah tempat favoritnya untuk meredakan stres, dan sore ini, ia berharap bisa merenungkan perasaannya tanpa gangguan.
Namun, baru beberapa menit di taman, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan melihat Arga sedang berjalan ke arahnya, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, tampak tenang dan karismatik seperti biasanya. Adara terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini.
“Tidak biasanya kamu di sini sore-sore,” kata Arga, dengan senyum kecil yang jarang terlihat di wajahnya.
“Saya hanya butuh udara segar, Pak,” jawab Adara sedikit gugup.
Arga mengangguk dan berdiri di sampingnya, memandang ke arah langit yang mulai memerah karena matahari terbenam. Mereka berdiri dalam keheningan, namun keheningan itu tidak terasa canggung. Adara bisa merasakan kehadiran Arga yang begitu dekat, menciptakan perasaan yang sulit ia definisikan.
Setelah beberapa saat, Arga akhirnya membuka suara, “Apa kamu pernah merasa, bahwa hidup ini berjalan terlalu cepat, dan kadang kita kehilangan apa yang benar-benar penting?”
Pertanyaan itu terasa dalam dan menyentuh hati Adara. Ia mengangguk pelan, merasa memahami perasaan Arga, meskipun ia tidak tahu apa yang membuat pria itu merasakan hal tersebut.
“Saya pernah merasa seperti itu, Pak. Kadang, dalam kesibukan pekerjaan, kita lupa apa yang membuat kita benar-benar bahagia,” jawab Adara dengan suara lembut.
Arga menatapnya sejenak, lalu berkata, “Terkadang, dalam hidup, kita membutuhkan seseorang yang bisa mengingatkan kita tentang hal-hal sederhana yang berarti. Kamu, Adara, sering membuatku tersadar akan hal itu.”
Perkataan itu membuat wajah Adara memerah. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons, dan detak jantungnya semakin kencang. Ia merasa bahagia, namun juga canggung. Ada ketidaknyamanan yang manis, sesuatu yang membuatnya ingin tetap di sisi Arga, meskipun ia tahu batas antara mereka.
“Kamu orang yang istimewa, Adara,” lanjut Arga, kali ini dengan tatapan yang begitu dalam dan jujur. “Bukan karena pekerjaanmu, tetapi karena ketulusan yang kamu miliki. Itu yang selalu sulit aku temukan di dunia ini.”
Hati Adara semakin berdesir. Kata-kata Arga seperti sentuhan lembut yang menyentuh hatinya dengan cara yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, ia tahu bahwa segala perasaan yang muncul saat ini bisa menjadi rumit jika mereka biarkan berlarut-larut.
Setelah beberapa saat, Arga menarik napas panjang dan berkata, “Maaf, mungkin aku terlalu jauh bicara. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman.”
Adara menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Saya hanya… sedikit terkejut, itu saja.”
Arga tersenyum samar, lalu menatap ke arah langit yang semakin gelap. “Adara, kadang kita tidak bisa mengontrol perasaan kita. Tapi, kita bisa mengontrol apa yang kita lakukan dengan perasaan itu.”
Kalimat itu seakan menjadi penutup percakapan mereka, namun juga menjadi awal dari pemahaman baru bagi Adara. Ia menyadari bahwa ada batas yang harus ia jaga, dan meskipun ada ketidaknyamanan manis yang ia rasakan saat bersama Arga, ia tidak bisa membiarkan dirinya terhanyut.
Ketika mereka kembali ke kantor untuk mengambil barang masing-masing sebelum pulang, Adara merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketidaknyamanan yang ia rasakan bukanlah hal yang menakutkan, melainkan sesuatu yang menyadarkannya bahwa ada perasaan yang mulai tumbuh. Namun, ia harus tetap menjaga batas, baik untuk dirinya maupun untuk Arga.
Di perjalanan pulang, Adara mencoba merenungkan kembali apa yang mereka bicarakan tadi. Mungkin, Arga hanya sedang merasa rapuh dan membutuhkan seseorang untuk berbagi. Namun, di balik semua ketidaknyamanan ini, ada kebahagiaan kecil yang terselip, yang membuatnya merindukan percakapan hangat mereka meski belum ingin mengakuinya pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri.
Malam itu, saat berbaring di tempat tidur, Adara menyadari bahwa ketidaknyamanan manis ini akan menjadi bagian dari perjalanannya, dan ia tidak tahu apakah dirinya akan siap untuk menghadapi perasaan yang semakin dalam.