Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 7
"Rin, ibuk kemana?
Dari tadi aku gak lihat ibu, apa masih ke pasar?" Tanya Ningsih saat berpapasan dengan Rina di depan kamar mandi.
"Ibuk masih di kamarnya, mbak. Ibuk sakit." Sahut Rina dengan wajah lesunya.
"Sakit? Kok gak kasih tau aku, Rin. Kemarin ibu kelihatan baik baik saja, apa yang terjadi sama ibu, Rin?" Sahut Ningsih dengan perasaan cemas.
"Semalam badan ibu panas, dan ngeluh kepalanya pusing. Sudah aku kasih obat penurun panas, tapi belum sembuh juga. Habis ini, mau aku bawa ke puskesmas buat periksa. Semoga ibu gak kenapa kenapa." Balas Rina dengan menghembuskan nafasnya dalam.
"Astagfirullah, kenapa kamu diem saja Rin?
Harusnya kasih tau aku kalau ibu sakit. Yasudah, kamu siap siap, biar aku panggil pak Sugeng buat antar periksa." Balas Ningsih dengan perasaan campur aduk. Sebelum pergi, Ningsih masuk ke kamar ibunya, untuk memastikan keadaan wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Buk, ibu kenapa, apa yang sakit?" Ningsih memegang kening dan tangan Bu Yati, terasa badan Bu Yati panas. Matanya sayu dengan bibir yang sudah terlihat kering dan pucat.
"Ibu pusing, nduk. Dan dada ini terasa sesak." Sahut Bu Yati dengan suara hampir tidak terdengar.
"Ibu periksa ya, biar nanti ditemani Rina naik becak. Aku akan naik motor sama Salwa ngikuti dari belakang. Ibu jangan banyak pikiran, Bismillah semoga segera sehat lagi ya, Bu." Sahut Ningsih yang berusaha untuk menguatkan sang ibu.
"Mbak, biar aku ganti dulu baju ibu. Mbak Ningsih panggil saja pak Sugeng. Mumpung masih pagi, biar nanti antri nya gak terlalu banyak." Rina masuk dengan membawa ember berisi air hangat untuk membersihkan tubuh ibunya.
Dan Ningsih segera pergi untuk memanggil tetangganya yang tukang becak untuk mengantar ke puskesmas.
***************************************
"Rin, apa ibu sakit karena memikirkan masalahku dengan mas Wandi ya?
Aku jadi ngerasa bersalah, karena aku ibu jadi begini." Lirih Ningsih dengan tetesan bening yang sudah mengalir di pipinya.
"Sudahlah, mbak. Lebih baik kita doakan saja yang terbaik untuk ibu. Jangan menyalahkan diri sendiri begitu, tidak baik. Kita harus kuat untuk menjaga dan merawat ibu. Kata dokter ibu kena stroke ringan. Jadi kita harus saling bahu membahu untuk merawat ibu." Balas Rina yang menatap dalam wajah kakaknya yang masih menangis.
"Aku bingung, Rin. Kalau ibu sakit, bagaimana dengan Salwa kalau aku tinggal kerja. Apalagi dia juga akan masuk sekolah." Ningsih semakin terisak, dadanya terasa sesak oleh beban yang begitu berat berada di pundaknya.
"Insyaallah, kita bisa melewati ini semua mbak. Insyaallah." Sahut Rina berusaha untuk tetap tenang, agar tidak semakin merasa sesak.
Karena keadaan sang ibu yang membutuhkan banyak biaya, Ningsih mengurungkan niatnya untuk mengurus surat cerai. Karena uangnya untuk biaya pengobatan Bu Yati. Ningsih bekerja keras untuk bisa mencukupi semua kebutuhan. Sedangkan Rina bagian merawat dan menjaga Bu Yati juga Salwa.
Sudah enam bulan berlalu, kesehatan Bu Yati berangsur membaik. Bu Yati sudah mulai bisa berjalan kembali, meskipun belum bisa melakukan pekerjaan berat. Setidaknya sudah bisa melakukan semua sendiri. Sedangkan Salwa tumbuh jadi anak yang mandiri. Dia tidak pernah rewel sama sekali, meskipun sekolah tidak pernah ditunggu seperti teman temannya yang lain.
Saat Ningsih tengah berkumpul bersama keluarga, tiba tiba Wandi muncul seperti jailangkung yang datang tak diundang dan pergi tak diantar. Seperti biasa, dia muncul dengan wajah tanpa berdosa nya. Padahal sudah enam bulan lebih tidak pernah ada kabar dan tidak memberikan nafkah, Wandi datang seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa kamu kesini, mas?" Sambut Ningsih dengan tatapan tak suka. Begitu juga dengan Bu Yati, Rina dan Salwa yang menatap heran ke arah Wandi yang tiba tiba saja muncul dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Aku masih suami kamu, jadi tidak ada masalah kalau aku kesini menemui anak istriku. Masalah buat kamu?" Sahut Wandi yang langsung duduk di kursi ruang tamu tanpa menegur ibu mertuanya. Benar benar tidak punya etika sama sekali.
"Anak istri kamu bilang?
Gila ya, gak pernah pulang selama enam bulan lebih, gak pernah ada kabarnya sama sekali, bahkan tidak pernah memberikan nafkah. Tapi bisa bisanya kamu mengakui kami anak istri kamu, kamu waras mas?" Sahut Ningsih dengan senyum sinis tercetak di bibirnya.
"Ini aku pulang buat kasih uang, gak usah banyak bacot kamu!" Sungut Wandi sambil melemparkan uang lembaran merah sebanyak sepuluh lembar ke arah Ningsih.
"Astagfirullah, keterlaluan kamu ya, mas. Apa kamu pikir, uangmu ini bisa menebus kesalahan kamu dan sikap lalai kamu selama ini. Bahkan anak kamu sekolah saja kamu tidak mau tau. Pergilah, aku tak butuh kamu lagi." Sentak Ningsih dengan dada kembang kempis, hatinya terluka dengan perlakuan Wandi yang memang tak memiliki hati.
"Aku sudah cerai dengan Irma. Aku lebih memilihmu dan Salwa. Jadi tidak usah banyak drama kamu. Harusnya kamu bersyukur, karena aku lebih memilih kalian." Sahut Wandi dengan santainya. Seolah kedatangannya kembali adalah yang diharapkan.
"Itu urusan kamu sama perempuan itu. Aku tidak perduli dengan urusan kamu yang sudah cerai dengan dia. Jangan pikir, aku sudi menerima kamu lagi, pergilah karena aku tidak Sudi melihatmu lagi." Balas Ningsih dengan tatapan tajam.
"Kamu masih istriku, jangan harap aku akan pergi." Balas Wandi yang langsung masuk ke dalam kamar, seolah tidak terjadi apa-apa.
Ningsih meraung sesak, tak tau harus bersikap seperti apa lagi untuk menghadapi laki laki gila seperti Wandi. Bu Yati hanya diam saja, sedangkan Rina bingung harus berbuat apa. Karena memang antara Wandi dan Ningsih masih suami istri. Ningsih benar benar terpuruk dan tertekan, untuk mengurus surat cerai pun dia belum ada uang.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
gabung bcm yu
..
follow me ya thx