Tiga tahun menjalin hubungan pernikahan, Gempita mengetahui kalau suaminya telah berselingkuh dengan wanita yang lebih muda.
Dalam situasi seperti ini, ia menghadapi kebingungan. Satu alasan yang tidak bisa diungkap. Apakah bercerai atau mendiamkan perbuatan Melvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renita april, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelabakan
"Berengsek!"
Gempita kaget lantaran Sifa yang tiba-tiba menggebrak meja. Piring dan gelas bergetar, pandangan pengunjung kafe yang lain, memusatkan mata mereka ke meja nomor 9.
"Apaan, sih?" Gempi menundukan kepala, menangkup kedua tangan dan tersenyum kepada para tamu karena ketidaknyamanan ini. "Kamu kaget enggak bisa, ya, kalau enggak nepuk meja."
Sifa mendengkus, lalu meraih gelas dan meneguk airnya. "Aku terbawa emosi. Kenapa enggak kamu susul aja, sih, Melvin di toilet? Tuh, laki pengen aku tendang. Berani banget, sih, main sama pacar gelapnya di kamar mandi. Enggak tahan lagi sampai di mana aja enggak peduli."
"Ini cuma dugaanku aja." Gempi pun menyeruput minumnya.
"Halah! Udah pasti lah. Mereka, tuh, berbuat yang enggak senonoh. Ya, aku, sih, enggak masalah. Karena dari foto yang dikirim si Lakor itu, udah sangat jelas kalau mereka sering tidur bersama. Tapi, ya, enggak di depan kamu juga, kan?"
"Malah kamu yang marah-marah. Kemarin, siapa yang suruh aku buat diam aja. Terus, siapa yang bilang kalau laki-laki mendua itu sudah biasa, apalagi kaya. Kamu, kan?"
"Itu memang aku. Tapi, Melvin, tuh, udah keterlaluan sampai main depan istrinya. Emang cantik banget lakornya?" tanya Sifa, penasaran jika Nindi dilihat secara langsung.
Gempi mengangguk. "Muda, cantik dan seksi."
"Rata-rata pelakor, ya, begitu penampilannya. Kalau enggak jual penampilan, memangnya laku? Tapi, aku seneng, deh." Sifa tertawa. "Biar mampus, tuh, lakor!"
"Kalau parah gimana?"
"Bodoh amat! Kenapa bola itu enggak kena mata aja, sih? Biar buta sekalian." Saking geramnya, Sifa sampai mengatakan itu.
"Jaga mulutmu. Karma bisa aja datang. Aku beneran enggak sengaja."
Sifa mencibir, "Anggap aja demikian. Ah, kamu cantik, Gempi. Tapi, kamu masih berada di masa lalu. Lihat, badan aja tinggal tulang. Wajahmu kusam, kantong mata gelap begitu. Masih mikirin si berengsek Cal itu? Dia udah bahagia. Malah kabarnya udah punya cewek baru."
"Kamu selalu mengaitkanku dengan Cal. Aku dan dia udah berakhir. Melvin adalah hidupku sekarang. Aku begini karena lelah kerja aja. Kamu tahu, kan, aku enggak mau sia-siain pemberian Melvin. Aku begini karena siapa, karena dia. Makanya aku bingung dan biarin aja dia selingkuh."
Setelah lulus kuliah, Gempi bekerja di kantor penerbitan. Selain itu, ia sempat menjajal sebagai custumor service di sebuah bank. Gempi yang notabene adalah lulusan mahasiswa komunikasi memang tidak masalah dengan pekerjaan yang ia dapat.
Namun, kehidupannya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sementara Cal, yang merupakan sang mantan kekasih, telah menjadi seorang penyanyi sekaligus aktor internasional. Cal menetap di Amerika dan memang pria itu berasal dari sana.
Gempita menemukan Melvin dalam hidupnya. Pria yang memberinya status sebagai istri dan selama ini selalu mengatakan cinta padanya. Laki-laki itu juga yang memberikan Gempi modal untuk membuka usaha sendiri.
Awal mula memang tidak berjalan lancar dan selalu mengalami kerugian. Namun, modal yang Melvin suntikan, membuat usaha Gempi tidak terancam bangkrut, dan sekarang wanita ini menikmati hasilnya. Sebagai Event Organizer yang mengadakan acara-acara besar. Saat ini saja, Gempi tengah dalam proses mendatangkan band luar negeri untuk konser di Indonesia.
"Ya, itu sudah tugasnya sebagai suami. Malah mau itung-itungan. Kamu melayani dia siang dan malam, memberikan yang terbaik. Wajar, dong, dia manjain kamu."
"Aku cuma menyesal aja saat sama Melvin, udah enggak virgin lagi. Semua udah kukasih sama Cal."
"Memangnya Melvin peduli. Dia pria bebas. Sebelum sama kamu juga Melvin udah banyak tidur sama perempuan lain. Kita ini tinggal di kota besar. Masih ngaruh soal begituan? Kamu jangan anggap Melvin malaikat hanya karena dia udah bikin kamu sukses."
Gempi menenguk minumannya lagi. "Aku enggak tahu lagi. Biarin aja Melvin mau melakukan apa."
"Istirahat, Sayang. Kamu, tuh, lelah. Kasih hadiah buat diri kamu sendiri. Biarin si Melvin nikah lagi, biar dia ada yang urus. Kamu santai aja. Liburan, rawat diri dan mending kita belanja sekarang." Sifa menjentikan jari setelah menemukan ide paling briliant.
Gempita malah tertawa. "Aku belum mandi dari main tenis."
"Nanti aja. Kita belanja dulu. Habiskan uang suamimu."
"Ya, enggak gitu juga." Tapi, Gempi setuju karena ia sudah diberi uang bulanan oleh Melvin.
Keduanya beranjak dari kafe dengan Sifa yang mendapat giliran traktir kali ini. Karena Gempi tidak bawa mobil, ia menumpang pada sahabatnya.
Sekitar 35 menit, keduanya sampai di mal internasional Jakarta. Ada banyak merek ternama di sini dan menjadi surga para sosialita.
"Aku mau belanja tas, deh. Kita ke Cyanel, yuk!" Sifa menunjuk salah satu merek ternama yang sama sekali tidak asing di telinga.
"Kemarin kamu baru beli tas juga, kan? Masa beli lagi," kata Gempi.
"Kemarin itu, pacarku yang beliin. Sekarang, aku yang mau beli sendiri. Ada model yang kutaksir dan aku udah nabung selama enam bulan buat dapat itu barang."
"Ya, udah. Kita ke sana."
"Kamu mau beli apa?" tanya Sifa.
Gempi mengedikan bahu. "Enggak tahu, deh. Lihat aja nanti."
Telepon berdering. Gempi melihat nama si pemanggil yang merupakan asisten pribadinya.
"Kamu duluan, aku angkat telepon dulu."
"Oke! Kamu nyusul, ya!" jalan Sifa cepat menuju toko itu. Namun, ia hampir saja terpeleset lantaran berhenti mendadak, lalu lekas bersembunyi sebelum ketahuan. Dari kaca besar, ia mengintip. "Astaga! Mereka lagi belanja rupanya."
Melvin dan Nindi ada di dalam dan tengah melakukan pembayaran. Terlihat sekali wanita yang hidungnya tertempel plester luka, merasa senang karena menenteng dua tas belanja.
"Pantes, sih, Melvin kepincut sama, tuh, cewek. Memang cakep kayak yang Gempita bilang." Sifa lekas lari sebelum Melvin dan Nindi keluar dari toko. Ia menarik Gempi ke pojok tembok agar tidak ketahuan.
"Ada apa?" Gempit lekas menutup telepon. "Main tarik aja."
"Ada Melvin sama pacar gelapnya lagi belanja tas."
"Serius?"
"Lihat aja sana. Jangan sampai ketahuan."
Gempi tahu apa yang ia lakukan. Dari balik sudut ruang, ia mengintip. Pakaian olahraga yang Melvin pakai masih sama. Hanya Nindi yang telah berganti baju.
"Jangan mau kalah, Gempi. Itu cewek dapat tas mahal. Kamu minta yang dua kali lipat. Bodoh amat kalau Melvin jadi miskin." Saking Sifa kesalnya. Ternyata bagian seperti ini yang membuat wanita merasa tidak adil.
"Kamu diam dulu, aku mau telepon Melvin." Gempi men-dial nomor telepon suaminya.
Sementara Melvin yang menerima panggilan telepon, berhenti melangkah sejenak. Ia menempelkan jari telunjuk ke bibir agar Nindi diam dan si kekasih gelap tahu apa artinya.
Melvin menerima panggilan itu. "Sayang, kamu udah pulang?"
"Aku lagi di mal Internasional. Kamu di mana? Aku mau belanja perhiasan, kamu ke sini, ya."
"Kamu di mal?" Melvin melihat ke sekeliling. Ia lekas menarik Nindi, membawanya masuk ke outlet yang menjual make up.
"Iya, aku sama Sifa. Barusan nyampe."
"Sayang, aku lagi di ...." Melvin bingung. Tiba-tiba otaknya tidak bisa berpikir. "Aku juga di sini, ngopi. Aku susul kamu, ya. Tunggu aku di tempat biasa. Kamu mau beli perhiasan di Tiffany, kan?"
"Iya, sayang. Aku tunggu kamu."
Telepon diputus. Melvin menarik napas panjang, ia mengusap wajah karena baru kali ini merasa bersalah. Gempi tiba-tiba saja menelepon, dan mendadak ingin bertemu.
"Nindi, kamu duluan, ya. Pakai taksi aja. Aku harus temani Gempi dulu."
"Kamu mau beliin dia perhiasan?"
"Kamu mulai lagi."
Nindi tidak boleh marah karena Melvin bisa saja meninggakan dirinya. Ia ingin hubungan ini seperti awal mereka pacaran. Tapi, hati ini penuh dengan keserakahan.
"Oke! Aku pulang sendiri."