Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 16
Beberapa menit kemudian, Rangga dan Manda sudah menyelesaikan makan mereka.
"Sekarang kamu mau membicarakan apa dengan ku Mas?" Tanya Manda dan membuat Rangga kembali gugup.
"Emmm sayang, ini kan aku sedang proses perceraian dengan Jia. Dan setelah aku sah bercerai dengan Jia, kamu meminta ku untuk segera melangsungkan pernikahan kita." Ucap Rangga perlahan dan di angguki oleh Manda walau dengan perasaan biasa saja.
"Emm kamu juga sudah tahu apa yang terjadi bukan?" Tanya Rangga yang membuat Manda jengkel.
"Buruan dong Mas. Mau berbicara apa? Jangan bertele-tele seperti ini dong." Ucap Manda yang sudah jengkel dengan Rangga.
"Gini ehem. Kalau seandainya aku gagal mendapatkan mobil yang dipakai Litta. Dan Litta meminta mobil pada ku lalu aku belikan. Apa kamu juga akan meminta mobil juga pada ku?" Tanya Rangga dengan ragu dan gugup.
Manda terdiam sejenak mendengar ucapan Rangga, lalu dia menggelengkan kepala yang membuat Rangga tertegun.
Entah harus bahagia atau merasa aneh kalau Manda tidak meminta hal yang sama dengan Litta.
"Aku tahu Litta itu adik perempuan mu satu-satunya. Jadi, aku gak masalah kalau dia minta mobil dari kamu." Ucapan Manda membuat Rangga tersenyum.
"Makasih sayang kamu sudah mau mengerti akan kondisi ku saat ini. Aku jadi lega mendengar jawaban mu ." Ucap Rangga.
Manda menganggukkan kepalanya dan Manda menatap Rangga lalu tersenyum.
"Kamu jangan terlalu senang dahulu. Aku memang tidak meminta mu untuk membelikan aku mobil kalau hanya untuk bergaya saja." Ucapan Manda kini membuat Rangga bingung.
Rangga mengerutkan keningnya heran.
"Maksudnya?" Tanya Rangga dengan singkat.
Manda tersenyum sebelum menjawabnya.
"Aku minta setelah kamu bercerai dengan Jia, kamu harus langsung menikahi ku dengan mahar yang aku inginkan." Jawab Manda, namun jawabannya berhasil membuat Rangga tersenyum.
"Oh kalau masalah itu sudah pasti sayang. Setelah aku berpisah dari Jia, aku akan menikahi mu dan akan menjadikan kamu ratu satu-satunya di hati ku." Ucap Rangga yang sedikit memberi gombalan. Tapi tak membuat Manda terpengaruh sama sekali.
Manda pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya ia senang dengan jawaban Rangga.
"Bodoh, padahal aku belum selesai dengan ucapan ku dan mau minta mahar apa." Batin Manda dengan senyuman licik.
Rangga yang belum paham dengan ucapan Manda pun hanya memberikan senyuman lega ke arah Manda.
Melihat Rangga yang masih tersenyum, Manda beranjak pergi sebentar dari Rangga. Dan beberapa menit kemudian Manda kembali dengan membawa lima lembar kertas dan pena kehadapan Rangga.
"Sebagai perjanjian kita. Silahkan kamu tanda tangan di sini." Ucap Manda seraya menyerahkan kertas yang sudah dia tempeli materai kepada Rangga.
Rangga yang melihat kertas kosong bermaterai dan pena di depannya pun terheran.
"Ini untuk apa sayang?" Tanya Rangga yang masih belum mengerti akan maksud Manda.
"Kan sudah aku bilang kalau ini untuk surat perjanjian kita Mas. Berhubung kita bertemu sekarang, jadi kamu tanda tangan dulu biara nanti setelah pulang dari sini aku bisa langsung mencatat isi perjanjiannya. Masa iya aku harus catat sekarang disini ? Pasti akan membuang banyak waktu."
Jawaban Manda masih membuat Rangga terdiam.
"Kamu tidak mau? Ya sudah kalau begitu aku akan meminta mobil saja kalau Litta di belikan mobil sama kamu." Ucap Manda lagi saat dia melihat Rangga terlihat ragu.
"Eh iya iya sini biar aku tanda tangan." Ucap Rangga dan dengan cepat mengambil kertas dan pena tersebut.
Manda tersenyum melihat Rangga yang menandatangani 5 kertas kosong tersebut.
Setelah menandatangani kertas itu. Rangga memberikannya kembali kepada Manda.
Manda menerimanya dengan senang hati.
"Oke. Aku sengaja menyiapkan lebih banyak kertas, karena aku takut kalau nanti aku salah nulis. Jadi kalau salah aku bisa menulisnya lagi di kertas yang lain." Ucapan Manda membuat Rangga mengangguk tanpa rasa curiga.
"Dasar pria bodoh." Batin Manda menghina Rangga seraya tersenyum meremehkan.
Rangga bernafas lega sekarang, masalah satu sudah selesai karena mengira Manda bisa di ajak kompromi.
"Huuhhh." Rangga menghela napas berat lalu menyenderkan punggungnya di sandaran Kursi.
Manda yang menatap Rangga pun pura-pura iba melihatnya.
"Kamu sabar ya Mas, mungkin memang jalan hidup mu seperti ini." Ucapan Manda membuat Rangga mengangguk.
"Sebentar lagi, kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi Rangga." Batin Manda dengan senyuman samar.
***
Pagi hari di kediaman keluarga Jia, semua sedang sarapan bersama tanpa terkecuali.
"Hari ini kamu jadi ke rumah Rangga, Jio?" Tanya Pak Alan pada anak bungsunya.
Jio hanya menganggukkan saja karena dia tengah mengunyah makanannya saat ini.
"Papa ikut ya." Ucapan Pak Alan membuat Jia dan Bu Dinda terkejut.
Jio menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab ucapan Papanya.
"Papa hari ini gak ke kantor?" Tanya Jio seraya menoleh ke arah Papanya.
Pak Alan menggelengkan kepalanya, dia tidak akan fokus berkerja kalau masalah anaknya belum benar-benar selesai.
"Papa udah minta cuti dan menyuruh Pak Bondan untuk menghandle perusahaan hari ini." Ucapan Pak Alan kini membuat Bu Dinda menatap kearahnya.
Pasalnya Pak Alan belum membicarakan tentang itu padanya.
"Maaf Ma, Papa belum sempat membicarakan hal ini sama Bunda. Papa hanya tidak bisa fokus kalau masalah Jia belum benar-benar selesai. Takutnya kalau Papa salah fokus dan gegabah mengambil keputusan malah akan membuat rugi perusahaan." Ucap Pak Alan saat mendapati tatapan penuh tanya dari Bu Dinda.
Bu Dinda pun hanya bisa menghela nafas dengan pelan.
"Terserah Papa saja, apapun yang menurut Papa terbaik buat perusahaan dan masalah anak kita saja." Ucap Bu Dinda pasrah.
Jia hanya terdiam dan enggan bicara, dia malu pada keluarganya karena mereka semua ikut memikirkan masalahnya dan membuat orang tua serta adiknya kerepotan.
Jia menunduk enggan menatap satu persatu wajah keluarganya. Dan Hal tersebut tak luput dari pandangan Jio.
Lagi dan lagi Jio merasa bersalah karena menatap wajah Kakaknya yang terlihat sendu. Dia merasa iba dengan apa yang kini tengah menimpa rumah tangga sang Kakak.
Suami yang tidak tanggung jawab pada Kakak dan keponakannya, mertua yang sering menghina dan menyepelekan Kakaknya. Hingga iparnya yang ikut mengucilkan Kakak perempuannya itu.
Jio berfikir sepertinya dia menyesal karena sudah menyetujui keputusan yang di ambil kakaknya dulu. Dimana Jia yang enggan membuka identitasnya dan memilih menyembunyikan kebenaran dari satusnya.
Kini Jio beralih menatap ke arah Amira. Gadis kecil yang cantik seperti ibunya. Tetapi takdir membuat gadis tersebut harus dewasa sebelum waktunya.
Baru berumur 5 tahun tetapi dia harus mengalami hal yang sangat tidak di peruntukan untuk anak seusianya.
Di tatapnya Amira yang sedang makan dengan lahap membuat hati Jio semakin terenyuh.
"Amira mau nambah makanannya lagi?" Tanya Jio yang membuat fokus Amira kini beralih ke arah Jio.
Menatap Jio sebentar lalu dia menatap ke arah sang Bunda. Jia yang paham pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
Melihat respon sang Bunda Amira kembali menoleh ke arah Omnya itu.
Amira mengangguk dan tersenyum, betapa cantiknya kini Amira yang tersenyum bahagia di hadapan Jio.
"Om ambilin ya. Mau yang mana ?" Tanya Jio memberi beberapa lauk untuk Amira.
"Aku mau telur dan ayam gorengnya saja Om." Jawab Amira yang menatap beberapa lauk di hadapannya.
Jio mengangguk dan dengan segera mengambilkan apa yang Amira minta.
Perbincangan Mereka berdua tak luput dari pandangan pak Alan dan Bu Dinda yang tersenyum tapi merasakan apa yang Jio rasakan.
"Di makan ya." Ucap Jio sembari mengusap lembut rambut keponakannya.
Amira mengangguk lagi.
"Amira kalau di rumah nenek gak pernah dikasih lauk seperti ini Om. Paling hanya di kasih lauk tempe satu, itu pun kalau tidak di minta oleh Zura. Padahal Zura makanannya selalu enak-enak." Ucapan Amira yang tiba-tiba membuat Jia kembali memejamkan matanya.
"Kenapa tidak minta sama Bunda?" Kini Bu Dinda yang bertanya kepada Amira.
Amira menggelengkan kepalanya sambil mengunyah makanannya.
"Bunda sering ikut kerja dengan Bu Wati, jadi Bunda jarang ada di rumah kalau siang hari. Lalu kalau Bunda pulang Amira gak tega minta sama Bunda . Karena tahu Bunda pasti lelah untuk mendapatkan uang. Kalau minta sama Ayah pasti selalu di bentak, kalau tidak di bentak pasti Ayah marah sambil bilang makan saja terus yang kamu pikirin. Amira juga takut sama Nenek. Amira takut kalau nenek menyuruh Amira untuk meminta-minta di jalan raya. Ucapan Amira yang polos, kini berhasil membuat air mata Jia terjatuh.
Padahal kalau Amira mau, tanpa Jia bekerja ikut Bu Wati pun Jia mampu membelikan apa pun yang di minta Amira.
Jia membayangkan betapa sakitnya Amira saat melihat Zura makan dengan lauk enak. Dan dirinya hanya di kasih tempe satu buah saja.
Pak Alan, Bu Dinda dan Jio yang mendengarnya pun terkejut. Mereka bahkan merasa sangat gagal dalam menjaga kelurga.
Mereka tidak tau banyak tentang apa yang terjadi pada kedua perempuan cantik itu.
********
********