Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Wildan Yang Malang
Wildan mengemudikan mobilnya membelah jalanan kota, tak tahu arah dan tujuan yang harus disinggahi. Dirinya benar-benar ditimpa kemalangan yang tak ada hentinya. Setelah digugat cerai Hanna, papanya menelepon dan mengatakan jika jabatannya di perusahaan diturunkan menjadi karyawan biasa. Semua fasilitas yang diberikan papanya pun turut diambil, hanya tersisa sebuah mobil dan ATM yang entah berapa isi saldonya saat ini.
Dia mengira jika setelah menikah dengan Novita yang dianggapnya dapat memberikan keturunan yang akan menjadi pewaris di keluarganya, ternyata harus berakhir sebaliknya.
" Mas, kita mau ke mana sebenarnya? Dari tadi cuma keliling jalanan," protes Novita.
"Diamlah! Jangan membuatku semakin pusing karena mendengar ocehanmu itu!" sentak Wildan.
Novita langsung terdiam tanpa berani membantah ucapan sang suami. Hatinya terasa sakit karena sikap sang suami yang kini menjadi pemarah setelah Hanna menggugat cerai dan mengusirnya dari rumah.
Andai tahu hidup yang dijalaninya akan seperti ini, mungkin dia akan berpikir seribu kali untuk menjadi istri kedua. Dulu dia beranggapan bahwa setelah menikah dengan Wildan dan bisa memberikan keturunan, hidupnya akan semakin terjamin tanpa harus susah payah dia bekerja. Namun, pada kenyataannya hal sebaliknya yang dia rasakan, semua berawal dari postingannya di sosmed.
Setelah lelah mengelilingi jalanan kota, Wildan pun menepikan mobilnya di sebuah kedai makanan. Dia ingin membeli minuman dingin sekalian mencari info rumah kontrakan. Karena tak mungkin juga dia harus menginap di hotel dengan jangka waktu yang tak bisa ditentukan.
Novita lebih banyak diam dan mengikuti ke mana pun suaminya pergi, dia tak ingin membuat suaminya marah hanya karena dia membuka suara. Suami yang selalu meratukannya, memanjakannya dengan penuh kasih sayang, kini telah berubah.
Puas melegakan dahaga, Wildan menuju kasir untuk membayar minumannya dan bertanya tentang rumah kontrakan yang ada di sekitar sana. Seolah semesta mendukungnya, kasir kedai itu memberitahu jika ada rumah yang dikontrakkan tak jauh dari kedai tersebut. Jaraknya sekitar 500 meter dari kedai.
Tak ingin membuang waktu lama, Wildan segera menancap gas menuju alamat yang ditunjukkan kasir tadi. Setelah menempuh jarak 500 meter, dia bisa melihat ada sebuah rumah yang tak terlalu besar. Di depan rumah itu terdapat tulisan jika rumah tersebut dikontrakkan. Dia segera menghubungi nomor yang tertera di papan tulisan itu.
Panggilannya langsung mendapat jawaban dari orang yang dia hubungi, Wildan pun menjelaskan maksudnya yang ingin mengontrak rumah tersebut. Si pemilik rumah pun meminta Wildan untuk menunggu kedatangannya. Dan benar saja, 15 menit kemudian seorang pria paruh baya mendekati Wildan.
Mereka berbincang-bincang mengenai rumah yang akan dikontrak. Pemilik rumah mengatakan jika rumah itu sudah lengkap dengan perabotan, listrik, dan air PAM. Setelah menentukan harga perbulannya, Wildan pun setuju untuk mengontrak rumah itu. Setidaknya dia ada tempat untuk berteduh sampai dia bisa membeli rumah sendiri, meski dia tak tahu kapan bisa membelinya.
...****************...
Di kediaman Hanna, Atika dan suaminya berkunjung menemui Hanna. Karena sejak dia memberi tahu perihal postingan Novita, Atika merasa tak tenang saat adiknya pamit pulang dengan memendam amarah.
"Kakak kenapa nggak bilang kalau mau ke sini? Aku 'kan jadi bisa masak buat kalian," ucap Hanna.
"Kita tadi kebetulan lewat sekitar sini, makanya mampir sekalian," jelas Atika yang tak sepenuhnya benar, lebih tepatnya beralasan.
"Kamu baik-baik aja 'kan?" tanya Atika sambil menyentuh tangan sang adik.
"Seperti yang Kakak lihat, aku baik-baik aja," jawab Hanna sambil tersenyum.
"Suami kamu di mana? Kerja? Atau di rumah simpanannya?" tanya Atika lagi.
"Oh, dia nggak ada di rumah karena aku sudah mengusir mereka," jawab Hanna dengan tenang.
"Hah?" Atika dan suaminya terkejut dengan jawaban Hanna yang terlihat tanpa beban.
"Serius, kamu ngusir mereka?" tanya Andrean, sedangkan Atika masih menatap tak percaya adiknya bisa se-barbar itu.
"Iya, dong. Buat apa menampung orang-orang yang tak tahu diri? Yang ada aku malah rugi banyak. Sudah nasibnya ngenes, dijadiin omongan orang karena dipoligami, eh, tinggal seatap pula," tutur Hanna.
"Maksudku, ini rumah milik Wildan bukan?" tanya Andrean.
"Ya, awalnya memang rumah ini yang beli dia sebagai mahar pernikahan, tapi di dalam sertifikat nama pemilik sahnya adalah aku. Jadi, nggak salah 'kan kalau aku mengusir mereka dari rumah ini?"
Andrean menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan adik iparnya yang seberani itu.
"Mas, coba cubit tanganku! Aku lagi nggak mimpi 'kan?" pinta Atika.
"Aduh, sakit, Hanna," rintih Atika ketika pipinya justru dicubit oleh Hanna.
"Berarti Kakak nggak mimpi," ucap Hanna tanpa rasa bersalah telah mencubit sang kakak.
"Ya ampun, papa, mama, anak bungsumu yang dulu bagai bidadari sekarang seperti macan betina," celetuk Atika yang membuat Hanna langsung melotot, sedangkan Andrean tak dapat menahan tawanya karena celetukkan sang istri.
"Sadis sekali dirimu, Kak. Menyamakan aku dengan macan betina," ucap Hanna dengan ekspresi seolah bersedih.
"Dasar tukang drama," ujar Atika sambil melempar bantal sofa pada Hanna.
"Wle, nggak kena," ejek Hanna sambil sedikit menjulurkan lidahnya.
**
Pagi yang cerah, secerah suasana hati Hanna saat ini. Rumah yang beberapa waktu terakhir bak penjara kini sudah terasa tenang seperti dulu. Dia pun bisa leluasa melakukan aktivitas apa pun di rumah itu tanpa ada pemandangan dua manusia yang menganggu penglihatannya.
Pagi ini dia berencana akan bertemu Annisa karena sepertinya dia akan menerima tawaran dari teman kecilnya itu. Daripada hanya berdiam diri di rumah sendiri, lebih baik dia menyibukkan diri dengan bekerja, meski tanpa harus lelah bekerja dia pun punya penghasilan.
Tepat saat dia ingin mengunci pintu rumah, suara deru mobil yang tak asing mengusik pendengarannya. Sudah bisa ditebak siapa yang datang pagi ini.
"Hanna," panggil Wildan sambil berjalan ke arah Hanna yang hendak membuka pintu mobil.
"Tunggu, aku mau bicara!" pinta Wildan seraya mencekal pergelangan tangan Hanna.
"Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Jadi, jangan pernah menemuiku lagi," ucap Hanna.
"Han, aku mohon! Kita bicarakan baik-baik masalah kemarin. Aku janji akan bersikap adil dan aku pastikan Novita tidak akan berbuat ceroboh lagi."
Hanna tersenyum sinis lalu berkata, "Sayangnya aku tidak tertarik dengan ucapanmu itu, Tuan Wildan. Jangan membuang waktu berhargaku hanya untuk mendengar bualanmu itu! Karena itu sama sekali tak akan mengubah keputusanku untuk bercerai darimu."
"Silakan, pergi dari sini! Karena aku tak ada waktu untuk meladeni omong kosongmu," pungkas Hanna, mengusir Wildan dari rumahnya.
Mau tak mau Wildan pun pergi dari sana, harapannya dapat membujuk Hanna harus kandas. Karena Hanna tetap kukuh pada keputusannya untuk bercerai.