Biarkan Aku Pergi

Biarkan Aku Pergi

Bab 1. Kenyataan Pahit

Suara tamparan terdengar menggema di sebuah ruangan. Syarifa Hanna, atau yang lebih akrab disapa Hanna, tak kuasa menahan amarah pada suaminya.

Suami yang membersamainya selama dua tahun telah tega menodai pernikahan mereka. Ya, Wildan Gustian yang tak lain suami dari Hanna, diam-diam telah menikah dengan wanita lain.

"Kurang apa aku selama ini, Mas? Aku rela mendampingi kamu berjuang dari nol hingga sukses seperti sekarang, tapi dengan seenaknya kamu menikah tanpa izin dariku!" teriak Hanna.

"Aku ingin punya anak, Hanna. Sementara sampai sekarang kamu tak kunjung hamil," sergah Wildan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Harus berapa kali aku bilang, Mas? Semua itu atas kehendak Tuhan, bukan kita yang menentukan," balas Hanna.

"Lalu harus sampai kapan aku menunggu, Hanna? Usiaku semakin bertambah dan aku tak kunjung memiliki anak. Sementara teman-temanku sudah punya anak," tukas Wildan.

"Jadi, mau tak mau kamu harus menerima Novita sebagai madumu. Dia juga akan tinggal di sini bersama kita," imbuh Wildan sebelum dia pergi meninggalkan Hanna yang masih tergugu.

Rasa sakit yang menggerogoti hati tak dapat disembunyikan, pernikahan yang diimpikan akan berjalan harmonis nyatanya menjadi buah simalakama.

Wanita mana yang tak hancur, jika belahan jiwanya telah menggoreskan luka yang amat dalam? Apakah dia akan sanggup tinggal satu atap dengan sang madu? Yang sudah bisa dipastikan akan semakin menambah besar luka di hatinya.

**

Di lain tempat, Wildan sedang berada di apartemen milik Novita. Dia mengatakan jika akan memboyong istri mudanya itu untuk tinggal bersama dengan Hanna.

"Kamu yakin, Mas? Apa mbak Hanna mengizinkan aku tinggal di sana?" tanya Novita.

"Dengan atau tanpa izin dari Hanna, aku tetap akan membawamu untuk tinggal di sana. Kamu juga istriku dan berhak tinggal di rumah itu," tegas Wildan.

Setelah membereskan perlengkapan dan keperluan milik istri mudanya, dia dan Novita langsung keluar dari apartemen.

Wildan berencana, setelah mengantar Novita ke rumah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya. Dia sangat yakin jika mama dan papanya mendukung tindakannya untuk menikah lagi, demi mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus keluarga besar mereka.

***

"Dasar anak kurang ajar!" teriak pak Riswan uang kemudian melayangkan satu pukulan di pipi kiri Wildan.

"Pa, sudah! Jangan terbawa emosi!" Bu Ginan mencoba menenangkan sang suami yang sangat murka.

"Lepaskan papa, Ma! Papa ingin menghajar anak tak tahu diri ini," tukas pak Riswan.

"Apa kamu lupa, jika dulu kamu yang mengemis dan memohon untuk merestui pernikahanmu dengan Hanna? Dan sekarang dengan seenaknya kamu malah menikah lagi tanpa sepengetahuan Hanna," cecar pak Riswan.

Bu Ginan mengajak pak Riswan untuk duduk agar tenang. Sementara Wildan hanya menunduk sambil memegangi sudut bibirnya yang berdarah.

"Mama nggak habis pikir sama kamu, Dan. Sebenarnya apa maumu? Apa kamu tidak sadar? Jika yang kamu lakukan itu sama saja dengan menyakiti mama sebagai perempuan," ujar bu Ginan.

"Wildan ingin punya anak, Ma. Namun, sampai sekarang Hanna belum juga hamil," sanggah Wildan.

Bu Ginan menghembuskan napas dengan kasar seraya memijit pangkal hidungnya.

"Andai kamu tahu perjuangan mama dan papa dulu, mungkin kamu akan berpikir seribu kali untuk menikah lagi," ucap bu Ginan dengan tatapan sendu.

"Dulu mama sudah divonis dokter akan sulit hamil karena ada kista yang bersarang di rahim mama. Berbagai cara telah kami lakukan, hingga di tahun kelima pernikahan barulah kamu hadir," ungkap bu Ginan.

Hati Wildan serasa tersayat sembilu, melihat sang mama yang menangis karena tindakannya yang terlalu buta akan kuasa Tuhan.

"Lebih baik kamu pergi dari sini! Jangan pernah menyesal jika suatu saat nanti kamu akan kehilangan sebagian duniamu," ujar pak Riswan dengan dingin.

Akhirnya, Wildan memilih untuk pulang. Semua yang dia pikirkan nyatanya tak terjadi, berharap mama dan papa setuju dengan pernikahan ini, tapi justru malah sebaliknya.

Mobil yang dikendarai Wildan berhenti di halaman rumah, dia segera keluar dari mobil dan bergegas masuk rumah.

Setibanya di dalam, dia langsung disambut Novita yang khawatir karena melihat kondisinya. Sudut bibir yang berdarah dan pipi yang terlihat lebam.

"Mas, kamu kenapa? Kok, bisa jadi kayak gini," ujar Novita lalu menuntun sang suami agar duduk di sofa.

Setelah Wildan duduk, Novita beranjak ke dapur untuk mengambil air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan luka.

Ketika akan kembali ke ruang tamu, Novita berpapasan dengan Hanna yang baru keluar dari kamar.

"Mbak, bisa minta tolong ambilkan obat pereda nyeri?" pinta Novita dengan pelan.

"Untuk siapa?" tanya Hanna dengan wajah nyaris tanpa ekspresi.

"Mas Wildan, Mbak," jawab Novita.

Hanna mengangguk dan ber-oh ria, dia segera menuju tempat di mana biasa menyimpan obat-obatan.

"Ini." Hanna memberikan obat pereda nyeri pada Novita, lalu dia segera berbalik badan menuju dapur.

Tak ada sedikit pun rasa khawatir di hatinya, yang ada hanya rasa kecewa dan sakit karena pengkhianatan yang dilakukan sang suami.

Novita hanya diam memandangi punggung Hanna yang menghilang dibalik dinding dapur. Dia menghela napas sejenak, paham dengan apa yang dirasakan istri pertama suaminya.

Wanita mana yang rela berbagi suami? Tak ada satupun wanita yang sanggup berbagi jiwa dan raga, kecuali dia wanita yang berhati besar.

"Aku bersihkan dulu lukanya, Mas. Setelah itu minum obat dan istirahatlah," tutur Novita.

...****************...

Keesokan pagi, setelah Wildan berangkat ke kantor, Hanna sedang berkutat di dapur membuat kue untuk mertuanya. Dia berencana ingin mengunjungi sang mertua, juga ingin menghindar dari Novita.

Novita yang baru keluar dari kamar dengan rambut setengah basah, berjalan menghampiri Hanna. Namun, belum sempat dia menyapa sang madu, perhatiannya teralihkan dengan bunyi bel rumah.

Mengerti jika Hanna sedang sibuk, Novita pun menuju depan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, tampaklah seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan tatapan dingin.

"Nyonya mencari siapa, ya?" tanya Novita, dia memang belum tahu wajah orang tua Wildan.

Tanpa menghiraukan pertanyaan Novita, Bu Ginan lantas masuk ke rumah dan menemui sang menantu yang ada di dapur.

"Lagi bikin apa, Han?" tanya Bu Ginan membuat Hanna langsung menghentikan kegiatannya.

"Mama! Kok, nggak bilang kalau mau ke sini? Padahal tadinya aku mau ke sana sekalian bawain kue kesukaan papa," sahut Hanna lalu mencium tangan ibu mertuanya.

Tak berselang lama, Novita menyusul ke dapur. Hanna yang melihat kedatangan madunya langsung meminta untuk membuatkan minuman Bu Ginan.

"Dia siapa, Han? Kok mama baru lihat. Kamu punya ART baru?" tanya bu Ginan seolah tak tahu siapa Novita.

Hanna melirik ke arah Novita yang menunduk setelah mendengar pertanyaan bu Ginan.

"Dia istri barunya Mas Wildan, Ma," jawab Hanna dengan tenang.

"Jadi, dia perempuan yang berani mengusik rumah tangga kalian," ketus Bu Ginan.

"Ma!" Hanna menggelengkan kepala sebagai tanda agar mertuanya itu tak menyudutkan Novita.

Bu Ginan yang melihat isyarat dari sang menantu hanya bisa menghela napas dengan raut wajah masam.

Ingin sekali beliau memaki istri muda putranya itu. Sebagai sesama perempuan, apakah dia tak punya hati nurani? Hingga mau dinikahi pria yang sudah memiliki istri.

"Kita ke mall, yuk! Sudah lama mama nggak shopping bareng kamu," ajak Bu Ginan.

"Boleh, Ma. Aku siap-siap dulu, sekalian nunggu kuenya matang," jawab Hanna kemudian berlalu menuju kamarnya.

Sepeninggal Hanna, Novita membawa secangkir teh hangat untuk bu Ginan.

"Silakan, diminum, Ma!" ucap Novita dengan pelan.

Bu Ginan menatap tajam Novita, beliau merasa tak suka dipanggil dengan sebutan 'mama' oleh menantu barunya itu.

"Jangan pernah memanggil saya dengan sebutan mama! Karena sampai kapan pun, menantu saya hanya Hanna seorang, mengerti!" tukas bu Ginan kemudian beranjak pergi meninggalkan dapur.

......................

Usai makan malam, Hanna langsung mengurung diri di kamar setelah membereskan peralatan makan. Dia sengaja menghindari suami dan madunya.

"Han!" Tiba-tiba Wildan masuk kamar dengan wajah tak enak dipandang.

"Ada apa?" tanya Hanna melirik sekilas sang suami.

"Kenapa kamu pergi ke mall tanpa mengajak Novita? Ingat, Han! Dia sekarang menjadi bagian dari keluarga kita," cerca Wildan.

Hanna bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati Wildan yang berdiri tak jauh darinya.

"Oh, jadi dia ngadu sama kamu. Dia punya kaki, kan? Masih tahu jalan, kan? Kenapa aku harus repot-repot ngajak dia? Sementara mama sendiri yang melarangku untuk mengajak istri barumu itu," pungkas Hanna dengan ketus.

"Jika tak ada hal penting yang kamu bicarakan, silakan keluar dari sini! Nikmatilah, masa pengantin baru kalian!" imbuh Hanna.

Wildan tak menyangka, istri yang dulu bertutur dengan lemah lembut dan selalu bersikap sopan padanya, kini justru berubah menjadi istri yang berani berbicara panjang lebar.

Dia lantas keluar dari kamar yang pernah ditempati selama dua tahun terakhir ini. Bukan ini yang dia harapkan, perubahan sikap Hanna sekarang mampu membuat hatinya dilanda gelisah.

Terpopuler

Comments

Ageng Pangestu

Ageng Pangestu

/Drool//Drool/

2024-05-20

0

Vera Satriaty

Vera Satriaty

lanjut

2024-03-18

1

Riyanti Yanti

Riyanti Yanti

lanjut,,,mulai asikj nuhh

2024-03-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!