Pasangan rumah tangga Kisman dan Mawar kehilangan anak satu-satunya karena sakit. Mereka tidak bisa menerima kenyataan pahit dan menginginkan putri mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah di dalam Hutan
Kisman dan Mawar mulai berjalan memasuki hutan. Hanya sekejap saja mereka sudah hilang dari pandangan.
Setapak demi setapak,
Kisman dan Mawar saling berpegang tangan supaya tidak tersesat.
Sesuai panduan, jalan terus lurus dan jangan berhenti sampai menemukan sebuah rumah.
Di dalam hutan di waktu dini hari benar-benar gelap gulita.
Pandangan mata mereka memerlukan waktu yang lama untuk bisa menyesuaikan. Dan yang dapat mereka lihat dari dekat hanyalah jalan setapak yang penuh belukar. Ranting-ranting dan daun-daun kering yang berasal dari pohon-pohon besar yang telah jatuh berguguran.
Jika melihat sesuatu maka diamkan saja. Itu lah pesannya.
Tidak ada penampakan sosok menyeramkan di dalam hutan itu. Sama sekali tidak ada wujud setan-setan yang mencoba menakut-nakuti mereka.
Yang membuat Kisman was-was justru kalau semisal ada hewan buas atau ular berbisa yang tiba-tiba menyerang mengancam keselamatan nyawa mereka.
Setelah cukup lama berjalan hingga tubuh merasakan gerah di tengah lembab nya udara di dalam hutan yang dinginnya menusuk. Mulai ada perbedaan,
Baik Kisman mau pun Mawar melihat titik-titik merah menyala yang berjumlah banyak.
Mawar dan Kisman sama-sama mempererat genggaman tangan mereka. Memberikan sebuah tanda bahwa keduanya sama-sama melihat hal yang serupa.
Titik-titik merah menyala bagai lampu-lampu itu berada di depan sana. Di atas. Terletak di jalur jalan setapak yang Kisman dan Mawar tuju.
Tentu saja mental keduanya menciut sampai membuat hati bergetar dan kaki gemetar hebat. Apa itu merah-merah?
Tapi tujuan pasangan suami istri itu datang kemari bukan untuk mematuhi rasa takut. Mereka datang untuk Seroja.
Sesudah titik-titik merah itu berada di dekat jarak padang mata. Baru lah semuanya menjadi terang.
Mereka adalah burung-burung gagak hitam bermata merah yang sedang berada di atas atap sebuah rumah. Jumlah mereka begitu banyak sampai-sampai genteng-gentengnya tidak terlalu terlihat.
Akhirnya Kisman dan Mawar menemukan sebuah rumah yang mengharuskan langkah kaki mereka untuk berhenti.
Di situ lah rumah orang sakti.
Rumah itu sebagaimana rumah pada umumnya. Yang kurang wajar hanya burung-burung itu saja.
Teras rumah itu mempunyai satu penerangan berupa lampu minyak. Jika cahayanya dari listrik maka akan ketahuan terlalu mengada-ngada karena lokasinya yang berada di dalam tengah hutan belantara.
Kisman dan Mawar yang sejenak bingung mau apa tiba-tiba mendapat petunjuk langkah apa yang harus mereka lakukan.
Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya. Dan bilang;
“Masuk masuk”, ada suara dari dalam rumah yang mempersilahkan mereka untuk masuk.
Suara itu terdengar begitu ramah seperti di hari pertama ketika berkunjung ke rumah siapa pun di kala hari raya.
Kisman dan Mawar masuk ke dalam rumah itu.
“Permisi”,
“Assalamualaikum”, Kisman menjaga tata krama.
“Waalaikumussalam”,
“Silahkan masuk, duduk dulu”,
“Aku ganti pakaian sebentar”, jawab suara pemilik rumah itu.
Isi rumah ini pun sama seperti rumah-rumah biasa. Kisman dan Mawar duduk di ruang tamu sambil menunggu.
Kursinya antik. Kursi rotan model lama yang sudah jarang beredar di pasaran.
Dari dalam keluar seorang kakek berpenampilan layaknya manusia.
Badannya kurus tapi terlihat masih perkasa. Ia hanya memakai kain sarung dan kaos oblong putih yang sudah dihiasi dengan beberapa lubang-lubang kecil.
Kakek berwajah bersih tanpa kumis dan jenggot itu juga mengenakan peci berwarna hitam yang tampak sudah usang.
Tuan rumah itu keluar menjamu tamunya dengan menyuguhkan kendi berisi air putih dan juga sesisir pisang.
“Silahkan diminum dulu, pasti kalian haus habis berjalan lumayan jauh”,
“Dimakan pisangnya tidak perlu sungkan”,
“Ini pisang dari kebun sendiri”,
“Silahkan silahkan”, kata kakek tuan rumah.
“Terima kasih kek”, balas Kisman dan Mawar yang begitu tertolong dengan datangnya air putih dingin yang menyegarkan.
“Kita kenalan dulu biar tidak canggung”,
“Namaku Tanse, aku tinggal di sini bersama nenek. Tapi nenek sudah tidur”,
“Nama kalian siapa?”,
“Namaku Kisman kek”,
“Namaku Mawar kek”,
“Dia istriku kek”,
“Siapa yang membawa kalian kemari?”,
“Bandi kek”,
“Oh Bandi”,
“Bandi sudah lama ikut aku, dia orangnya ulet dan jujur”,
Sungguh diluar nyana. Rumah ini jauh dari bayangan Kisman dan Mawar sebelumnya. Tidak ada kesan mistis atau pun klenik di dalamnya.
Atau belum?
Kakek yang bernama Tanse selaku tuan rumah pun sikapnya ramah dan enak untuk diajak bicara.
“Apa kalian sudah membawa syarat-syaratnya?”,
Tiba-tiba Tanse bertanya dengan seksama.
“Sudah kek, kami sudah siapkan semuanya”, jawab Kisman.
“Sebaiknya kita segera mulai ritualnya sebelum menjelang pagi”,
“Kalian sudah yakin dan siap bukan?”,
“Kami yakin dan siap kek”, kata Kisman tanpa ragu-ragu.
“Bagus lah kalau seperti itu”,
“Karena kalau sudah dimulai, tidak ada lagi jalan untuk kembali”, ucap Tanse.
Entah karena apa, tiba-tiba saja suasana di ruang tamu yang baru saja mencair berubah menjadi mencekam.
Kisman dan Mawar pun sama-sama berdiri bulu kuduknya. Merinding setengah mati tidak tahu apa yang selanjutnya akan mereka hadapi.
Tepat di depan ruang tamu di rumah itu.
Ada sebuah kamar yang hanya ditutup menggunakan sebuah kain gorden berwarna merah muda berenda-renda.
Dari dalam kamar itu berhembus angin.
Kain itu melambung. Terbang sendiri.
Kakek Tanse bangkit dari duduknya lalu berjalan masuk ke dalam kamar itu sambil berkata kepada Kisman dan Mawar;
“Ikuti aku”,