Kanaya Nadhira.Perempuan berparas cantik berusia 28 tahun.Menikah dengan pria pilihannya,Bayu Bagaskara.Namun pernikahannya harus berakhir,karena hadirnya orang ketiga yang tak lain adalah sekretaris sang suami diperusahaan.Dan mengejutkannya lagi,perempuan tersebut sedang mengandung benihnya.Bayu menceraikannya karena ia belum bisa memberikan keturunan.Namun Bayu melupakan satu hal yang membuatnya harus kehilangan semua asetnya.Bagaimanakah kelanjutan kisah Bayu dan Kanaya?Yuk ikuti terus ceritanya..
Dikarenakan ini karya pertamaku , mohon bimbingannya ya😍
Terima Kasih🍒
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diandra Deanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 35
Kanaya baru saja membuka matanya ketika mendengar suara gaduh dari dapur.
Brakk!
“Aduh! Sayang!telurnya jatuh!”
Ia menghela napas panjang. “Alex lagi eksperimen di dapur. Ini pasti bakal berantakan.”Dengan langkah malas, ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke dapur.Pemandangan pertama yang ia lihat?
Alex, dengan celemek yang terikat asal-asalan, berdiri di depan kompor dengan ekspresi panik. Tangannya memegang spatula, sementara penggorengan di depannya… berisi sesuatu yang dulunya telur, tapi kini mirip arang.
Kanaya menyilangkan tangan. “Kamu bikin sarapan atau nyoba ritual pemanggilan setan?”
Alex menoleh dengan senyum kaku. “Aku… hanya ingin mencoba masak buat istriku tercinta.”
Kanaya mendekat, menepuk bahu suaminya. “Aku menghargai niatmu.Tapi mari kita sepakati satu hal… kamu dilarang masuk dapur tanpa pengawasan.”
Alex menghela napas. “Baiklah. Tapi minimal coba dulu?”
Kanaya menatap telur gosong itu dengan skeptis. Lalu, dengan sangat hati-hati, ia mencuil sedikit dan memasukkan ke mulut.Lima detik kemudian,Ia langsung minum segelas air putih. “Ini lebih keras dari batu nisan.”
Alex memasang wajah sedih. “Aku gagal jadi suami idaman…”Kanaya tertawa sambil menariknya ke dalam pelukan. “Tapi kamu tetap suami kesayanganku.”
Alex langsung sumringah. “Berarti aku boleh masak lagi?”
“TIDAK.”
---
Setelah insiden dapur, Kanaya kembali ke ruang kerja pribadinya di rumah. Laptop terbuka, tumpukan dokumen ada di meja, dan segelas kopi siap menemani.Ia baru mulai membaca laporan ketika…
Alex tiba-tiba duduk di pangkuannya.
“Sayang…” suara Kanaya peringatan.Alex menempelkan kepalanya ke bahu istrinya. “Aku bosan.”
Kanaya mencoba tetap fokus. “Sayang, aku kerja.”
“Tapi aku kangen.”
Kanaya menghela napas. “Kita baru bareng tadi pagi.”
Alex mengerucutkan bibir. “Iya, tapi sekarang aku kangen lagi.”Kanaya menoleh, menatapnya dengan tatapan seriously?Alex malah semakin melunjak, memeluknya erat seperti koala.
“Sayang…”
“Hmmm?”
“Lepas.”
“Enggak mau.”
Kanaya menghela napas panjang. “Aku kasih waktu lima detik buat turun sebelum aku batal masakin makan siang.”
Alex langsung berdiri tegap. “Baik, Bos!”
Kanaya tersenyum puas. “Pintar.”
Tapi belum lima menit ia kembali fokus ke kerjaan, Alex sudah duduk di sofa sambil menatapnya dengan wajah penuh harap.
“Abis ini kita nonton film, ya?”
Kanaya mengangkat alis. “Aku sibuk.”
“Terus, kapan selesainya?”
Kanaya pura-pura berpikir. “Hmmm… sekitar empat jam lagi.”
Alex dramatis menjatuhkan diri ke sofa. “Empat jam?! Aku bisa mati karena kurang perhatian!”
Kanaya tertawa, lalu bangkit dan berjalan ke arahnya. Ia menarik dagu suaminya, menatapnya lembut.
“Dengerin aku. Aku juga kangen kamu, tapi aku harus kerja.”
Alex menggenggam tangannya. “Aku ngerti. Tapi aku tetap mau ada di dekat kamu.”
Kanaya tersenyum dan mencium keningnya. “Kalau gitu, duduk manis. Jangan ganggu. Tapi boleh nemenin di sini.”
Alex langsung sumringah. “Siap, Nyonya Bos!”
---
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, Kanaya dan Alex akhirnya pindah ke rumah baru mereka—tempat yang sudah lama mereka impikan. Rumahnya modern, minimalis, dan cukup luas untuk masa depan… siapa tahu nanti ada anggota keluarga tambahan, entah anak atau kucing liar yang nyasar.
Begitu berdiri di depan rumah, Alex merangkul pinggang Kanaya sambil tersenyum penuh kebanggaan. “Gimana, Sayang? Udah siap menjalani hidup baru di sini bersamaku?”
Kanaya melipat tangan di dada, pura-pura berpikir. “Hmm… siap sih. Tapi kayaknya rumah ini butuh sedikit perubahan.”
Alex langsung curiga. “Perubahan kayak apa?”
Kanaya menyeringai. “Mungkin cat kamar kita diganti pink?”
Mata Alex membelalak. “Pink?! Sayang, aku ini laki-laki! Aku nggak mau tidur di kamar yang bikin aku merasa seperti tahanan di dunia Barbie!”
Kanaya tertawa puas melihat reaksi suaminya. “Tenang, aku cuma nguji nyali kamu.”
Setelah drama kecil itu, mereka masuk ke dalam rumah dan mulai berkeliling. Ruang tamu luas, dapur dipenuhi peralatan canggih yang—dalam hati Alex—terasa seperti jebakan maut, dan kamar utama yang sudah siap ditempati.
Saat memasuki dapur, Alex langsung menarik napas panjang. “Oke, kita buat peraturan rumah. Aku nggak boleh masuk dapur kecuali untuk ambil air.”
Kanaya melipat tangan. “Lho, kenapa? Kan seru kalau kita masak bareng.”
Alex menggeleng tegas. “Seru buat kamu, stres buat alat pemadam kebakaran.”
Kanaya menghela napas. “Baiklah, baiklah. Minimal cuci piring?”
Alex berpikir sejenak. “Kalau itu masih bisa. Asal nggak ada yang pecah.”
Malam harinya, mereka duduk di balkon menikmati angin sepoi-sepoi sambil menyeruput teh.
“Aku senang banget kita akhirnya punya rumah sendiri,” ujar Kanaya dengan wajah sumringah.
Alex mengangguk penuh semangat. “Aku juga! Ini rumah impian kita. Tempat di mana kita akan membangun kenangan indah bersama.”
Kanaya menoleh dengan senyum menggoda. “Jadi… kapan kita mulai bikin kenangan itu?”
Alex menaikkan alis penuh arti. “Maksudnya?”
Kanaya pura-pura berpikir. “Mungkin… kita bisa masak bareng?”
Alex langsung panik. “Nggak! Aku dan dapur itu kayak mantan toxic. Kalau aku masuk ke sana, pasti ada yang terbakar, meledak, atau minimal panci melayang.”
Kanaya tertawa sambil mencubit pipinya gemas. “Oke, berarti kita mulai dengan nonton film pertama di rumah baru ini?”
Alex menghela napas lega. “Nah, itu ide yang nggak berpotensi menghancurkan rumah.”
Ketika mereka bersiap menyalakan TV, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari luar.
Kanaya menegang. “Kamu dengar itu?”
Alex ikut diam sejenak. “Iya… kayak suara langkah kaki.”
Mereka saling berpandangan, mulai merasa ada yang tidak beres.
“Jangan-jangan rumah ini angker?” bisik Kanaya, merapat ke Alex.
Alex menelan ludah. “Bisa jadi. Kita lupa nggak sih, sebelum beli rumah ini, cek sejarahnya dulu?”
Tiba-tiba, pintu utama terbuka sedikit karena angin, dan Kanaya langsung menjerit kecil.
“ALEX! KITA KELUAR AJA SEKARANG!”
Tapi Alex malah mengambil sandal dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Siapa pun di luar sana, gue udah siap! Berani masuk, hadapi sandal terbang!”
Kanaya menepuk jidat. “Tuhan… aku menikahi pria yang percaya diri berlebihan.”
Setelah dicek, ternyata suara tadi cuma kucing tetangga yang nyelonong ke teras mereka. Alex berdeham, memasukkan kembali sandalnya ke kaki.
Kanaya menyeringai. “Jadi, jagoan, masih mau pindah atau kita lanjut nonton?”
Alex merangkulnya erat. “Lanjut nonton aja, deh. Tapi kalau ada suara aneh lagi, kita langsung jual rumah ini.”
Malam itu, mereka duduk berdua di sofa, bersandar satu sama lain. Rumah baru, awal baru, dan Alex yang selamat dari kemungkinan dapur kebakaran dan serangan makhluk halus (yang ternyata cuma kucing).