“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7 ~ Tidak Boleh Bersama
Diajeng Sekar Ayu
“Lo gila ya? Apaan pake peluk-peluk gue?” aku bertanya dengan suara lirih karena kalau dia berteriak, seisi rumah akan terjaga dan kejadian barusan tidak mungkin Gio yang disalahkan. Bisa jadi Gio malah menuduh aku yang menggodanya. Males banget. Jangankan menggoda, dikasih gratis juga ogah. Fabian yang jelas-jelas ganteng aja aku tolak, masa Gio yang udah bekasan Vina mau aku terima.
Rasanya aku ingin memukul kepala Gio dengan ember sampai dia jadi Kakek ember. Bagaimana tidak, tiba-tiba dia memelukku dari belakang, padahal aku yakin tadi tidak ada orang. Apa Gio memang separuh manusia dan separuh setan ya.
“Aku kangen kamu Jeng.”
Wah, gila benar gila. Jelas-jelas dia sudah menikah dengan Vina karena mengkhianati aku, sekarang dia bilang kangen.
“Urusin aja Kak Vina, dia istri lo sekarang.”
“Kalau Vina sudah melahirkan, aku akan ceraikan dia. Kita balikan lagi ya?” pinta Gio memasang wajah yang menurutnya atau menurut Vina tampan.
“Balikan sama lo? Biar kata di dunia ini laki-laki tulen Cuma ada lo dan sisanya pria gemulai semua, aku nggak akan sudi balikan lagi sama lo.”
“Ajeng, please. Aku masih cinta sama kamu jeng,” ujar Gio dengan rayuannya.
“Kalau lo cinta sama gue, nggak akan ada Vina di antara kita. Nggak akan ada bayi dalam kandungan Vina dan nggak usah bilang kamu khilaf. Khilaf itu sekali bukan berkali-kali.”
“Gioooo.”
Suara Vina memanggil buaya di hadapanku. Lebih baik aku segera berangkat dari pada kepergok sedang berduaan dengan kakak ipar lakn4t.
“Ajeng, tolong pikirkan tawaranku,” ujar Gio.
Suasana di luar belum ramai, penghuni kompleks masih asyik bergelut dengan bantal dan gulingnya. Entah apa yang terjadi, yang jelas aku mendengar suara Vina yang berteriak.
“Kayaknya berantem lagi, bodo amatlah. Emang dasar lakinya yang ganjen.”
Pagi ini aku putuskan untuk kembali menggunakan KRL dan berharap tidak bertemu dengan Pak Gentala lagi. Jadi teringat dengan tugas yang diberikan pria itu. Dalam dua hari konsep program acara yang diinginkan olehnya harus sudah selesai. Aku bisa saja membuatnya dengan waktu singkat tapi akan diterima atau tidak.
Apalagi kalau ada revisi dan permintaan yang macam-macam, apalagi aku belum mengenal karakter GM yang baru.
Background pendidikannya apa ya? Paham dengan persiaran kah atau hanya pemimpin karena warisan.
...***...
Ketik, hapus, ketik hapus dan begitu terus. Inilah yang aku lakukan ketika membuat konsep program baru. Seharusnya aku mengerjakan ini dengan Fabian, tapi pria itu belum terlihat ujung hidungnya.
“Mbak Ajeng, dipanggil Pak Fabian.” Jojo berdiri tidak jauh dari meja kerjaku membawa baki dengan beberapa gelas berisi teh manis.
“Pak Fabian? Dia sudah datang?”
“Sudah bu, ada di ruang meeting C.”
Aku melipat laptop dan mencabut kabel catu daya, mengantongi ponsel lalu menuju ruang meeting. Terkadang aku merasakan tersiksa bekerja satu tim dengan Fabian, contohnya seperti saat ini. Seenaknya saja Fabian sudah menunggu di ruang meeting padahal sejak tadi aku menunggunya di ruang kerja kami.
Kelebihan Fabian selain tampan, dia tidak pelit pada rekan kerja apalagi kepadaku. Kemana pun bersamanya tidak akan lapar, bahkan kalau ada dinas luar kota untuk masalah oleh-oleh aku tinggal tunjuk.
Ruang meeting C adalah ruangan dengan kaca hampir di sekeliling ruangan. Digunakan untuk rapat terbuka dan bukan pertemuan yang sifatnya rahasia. Yang membuat aku terkejut adalah bukan hanya ada Fabian di sana, Gentala the New GM yang super menyebalkan ada juga di sana.
“Selamat pagi,” sapaku saat membuka pintu kaca.
Gentala menatapku dengan wajah sinisnya, begitupun Nella. Sedangkan Fabian sedang fokus pada layar laptopnya.
“Terlambat lagi. Ada yang melecehkan kamu lagi?”
Kan, kan, mulai lagi deh. Ucapan yang keluar dari mulutnya Gentala memang bikin telinga gatal atau memang mulut dia yang butuh digaruk.
“Saya tidak terlambat, mana tahu juga kalau ada pertemuan di sini,” sahutku dan Gentala sang malaikat pencabut nyawa masih menatapku.
Diskusi mengenai program kerja baru berlangsung cukup panjang. Draft konsep yang sudah dibuat sebelumnya di bahas, di ulas dan ditambahkan beberapa point. Paling tidak bisa menutupi cela diriku karena dianggap terlambat.
Saat sedang serius seperti ini, Gentala terlihat keren. Dewasa, cerdas dan macho, tanpa sadar aku menatapnya dengan salah satu tangan sebagai tumpuan wajahku. Aku tersadar karena pria itu melempar pulpen dan mengenai keningku.
“Untung ganteng, masih bisa termaafkan,” gumamku.
Fabian menoleh dan mengusap kepalaku. Sepertinya dia salah sangka, dipikir aku memuji dirinya.
“Apa?” tanyaku tanpa suara.
Fabian hanya tersenyum sambil mengerlingkan matanya. Interaksi aku dan Fabian tidak lepas dari pandangan Gentala yang kembali ke settingan awal, tajam setajam kapak wiro sableng.
...***...
Gentala
Pagi ini aku tiba di kantor diantar Pak Budi. Kejadian kemarin dengan bocah bar-bar membuatku lebih hati-hati memilih kendaraan umum. bukan masalah tuduhan dari gadis itu, mungkin saja ada orang jahat yang menjebakku dengan situasi seperti yang aku alami kemarin yang ujung-ujungnya mengajak damai dan meminta sejumlah uang.
Masalah lainnya adalah Natasha, sejak pertemuan kemarin dia berkali-kali menghubungiku bahkan tadi pagi. Aku tidak suka wanita agresif, seperti Natasha.
Jadwalku hari ini tidak terlalu penting. Sidak ke beberapa divisi yang bisa aku lakukan lain kali dan mendadak dibandingkan terjadwal. Aku minta Nella untuk mengajak Fabian dan asistennya si gadis bar-bar untuk meeting terkait program yang kemarin aku pinta.
“Semangat amat sih, harusnya Om Yasa tinggal duduk manis terima konsep dari kami dan poles-poles dikitlah." Usul Fabian saat kami bertemu di ruang meeting. Fabian adalah sepupuku, tapi dia sering memanggilku Om Yasa. Hanya Anton dan Nella yang tahu hubungan kami bersaudara.
Sudah lima menit berada di ruang meeting aku belum melihat gadis itu. Entah mengapa aku memang menantikan kehadirannya, bukan aku mulai menyukainya tapi aku mengakui keunikan tim ini. Fabian dan Ajeng, perpaduan sempurna dalam membuat konsep program. Mereka yang mengawali lalu mengembalikan pada tim produksi.
Mungkin bibirku kemarin merendahkan dan tidak mengakui kemampuan gadis itu, semata agar tidak sombong lalu mati gaya dan buntu ide.
“Selamat pagi.”
Akhirnya gadis itu datang. Wajahnya kembali merengut ketika aku menegurnya. Bahkan dia sempat bergumam yang tidak terdengar jelas olehku. Penampilan Ajeng bisa mengelabui orang yang belum mengenalnya. Tunggu, interaksi apa itu?
Fabian mengusap kepala gadis bar-bar, bahkan sambil senyum. Apa mereka ada hubungan? Tidak bisa dibiarkan, kalau mereka memang berhubungan salah satu harus mundur dari perusahaan. Aku akan buat mereka tidak bisa bersama, Fabian tidak akan sempurna tanpa asisten bar-barnya.
ato jangan-jangan .....