Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: "Langkah yang Terlupakan"
Hari demi hari berlalu di Mahkota Cahaya, dan Leonel mulai merasa betah. Setiap pagi, ia mengikuti kelas menulis, membiarkan pikirannya tumpah dalam kata-kata yang menenangkan. Dalam kata-kata yang ia tulis, Leonel mulai menemukan potongan dirinya yang hilang.
Di kelas, ia bertemu dengan berbagai macam orang. Ada Ravi, seorang pria ceria dengan mimpi menjadi novelis, yang sering membagikan cerita-cerita kecil tentang kehidupannya. Lalu ada Sinta, perempuan muda yang pendiam namun penuh semangat dalam menulis puisi-puisi pendek. Bersama mereka, Leonel merasa ia tidak lagi sendiri.
Pada suatu sore yang cerah, saat mereka duduk di taman setelah kelas, Ravi mengajukan sebuah ide. "Gimana kalau kita buat grup kecil buat saling berbagi tulisan? Aku yakin kita bisa banyak belajar dari satu sama lain."
Sinta langsung mengangguk antusias, matanya berbinar. “Aku setuju! Kita bisa bertemu seminggu sekali, mungkin sambil ngopi di kafe dekat sini.”
Leonel awalnya ragu, namun ia akhirnya setuju. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman berbagi pikirannya dengan orang lain. Mereka menyebut grup itu “Langkah yang Terlupakan,” sebuah nama yang mereka pilih bersama, untuk mengingat bahwa setiap orang punya langkah yang mungkin terlupakan, namun berarti.
Pertemuan Pertama
Pada pertemuan pertama mereka, Sinta membacakan puisi pendek tentang kesendirian dan harapan. Puisi itu begitu menyentuh hati Leonel; ia merasakan setiap kata, seolah menggambarkan apa yang selama ini ia rasakan.
Kemudian giliran Leonel. Ia membaca sepotong cerita tentang seorang anak yang merasa terasing di rumahnya sendiri, berusaha menemukan arti kebebasan. Ia menulis cerita itu tanpa menyebut nama atau detail yang spesifik, namun kata-katanya cukup untuk menggambarkan kesedihannya.
Ravi dan Sinta mendengarkan dengan seksama. Setelah Leonel selesai, Sinta tersenyum lembut, berkata, “Cerita ini kuat sekali, Leonel. Kamu berhasil menangkap perasaan terasing dengan sangat dalam.”
Ravi menambahkan, “Ini kisah yang punya potensi besar, Nel. Kamu harus terus kembangkan. Mungkin kamu bisa buat versi panjangnya.”
Leonel mengangguk perlahan, merasa terharu. Pujian mereka membuatnya percaya diri bahwa ia bisa mengekspresikan perasaannya lewat tulisan, sesuatu yang sebelumnya ia takuti.
Langkah yang Terlupakan Maju ke Depan
Setiap minggu, grup kecil mereka bertemu, berbagi tulisan, dan saling mendukung. Leonel menemukan kebebasan dan kepuasan dalam menulis yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan setiap cerita yang ia tulis, ia menggali lebih dalam perasaan-perasaan yang selama ini tersembunyi. Ia mulai menemukan kekuatan dalam dirinya, dan perlahan-lahan, bayangan rasa sakit masa lalunya memudar.
Suatu hari, Sinta berbicara kepada mereka tentang sebuah kompetisi menulis. “Ada lomba menulis esai dengan tema ‘Kebebasan dan Makna Hidup.’ Hadiahnya lumayan, dan ini bisa jadi kesempatan bagus buat kita menunjukkan karya kita ke dunia luar.”
Leonel merasa gugup, tapi Ravi menyemangatinya. “Ayo, Nel! Ini kesempatan kamu. Karyamu punya kekuatan. Jangan biarkan rasa takut menghalangi.”
Leonel akhirnya setuju. Dia menghabiskan malam-malam berikutnya merangkai esainya, menumpahkan seluruh perasaannya tentang kebebasan, pencarian jati diri, dan harapan yang ia temukan. Di akhir esainya, ia menuliskan kalimat, “Kadang kita harus tersesat untuk menemukan jalan kembali ke diri kita yang sebenarnya.”
Esai itu tidak hanya menjadi karya yang ia kirimkan ke kompetisi, tetapi juga sebuah deklarasi baru dalam hidupnya.
Kabar Gembira
Beberapa minggu kemudian, Leonel mendapat kabar bahwa esainya berhasil meraih juara kedua. Ia tidak pernah membayangkan bisa mendapatkan pengakuan untuk sesuatu yang ia tulis dari lubuk hatinya yang terdalam.
Pada malam perayaan kemenangan kecil itu, Raehan datang mengunjunginya di pusat komunitas. Mereka duduk di bawah pohon besar di taman, dengan langit malam penuh bintang di atas mereka.
“Bangga sama kamu, Nel,” kata Raehan, memeluknya erat. "Akhirnya kamu menemukan suaramu.”
Leonel tersenyum, merasa lebih hidup dari sebelumnya. "Ini semua karena kamu, Rae. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku nggak akan pernah berani melangkah."
Raehan menepuk pundaknya. “Ini semua hasil dari keberanian kamu, Nel. Kamu yang memilih untuk melangkah dan berjuang.”
Di malam itu, Leonel menyadari bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Ia tidak lagi hanya sekadar bayangan yang tak dianggap; ia adalah seorang individu dengan kekuatan dan harapan untuk menciptakan jalan hidupnya sendiri. Dengan keyakinan yang lebih besar, ia bertekad untuk terus menulis, terus berjuang, dan terus berjalan—tidak lagi sendirian, tetapi dengan dukungan orang-orang yang menyayanginya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu bahwa masa depannya adalah miliknya sendiri untuk ditentukan.