"Ketika cinta dan kesetiaan diuji oleh kebenaran dan darah, hanya hati yang tahu siapa yang benar-benar layak dicintai." - Kenzie William Franklyn.
•••
Vanellye Arch Equeenza, atau Ellyenza. Perempuan nakal dengan masa lalu kelam, hidup dalam keluarga Parvyez yang penuh konflik. Tanpa mengetahui dirinya bukan anak kandung, Ellyenza dijodohkan dengan Kenzie, ketua OSIS yang juga memimpin geng "The Sovereign Four." Saat rahasia masa lalunya terungkap—bahwa ia sebenarnya anak dari Sweetly, sahabat yang dikhianati ibunya, Stella—Ellyenza harus menghadapi kenyataan pahit tentang jati dirinya. Cinta, dendam, dan pengkhianatan beradu, saat Ellyenza berjuang memilih antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang tidak pasti.
Akan seperti apakah cerita ini berakhir? mari nantikan terus kelanjutan untuk kisah Kenzie dan Ellyenza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meka Gethrieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ZIELL 6 ; Luka Lama Dan Rahasia.
...
..."Saya bisa jadi Good boy untuk semua orang. tapi hanya bisa jadi bad boy untuk kamu."...
...- Kenzie for you Ell -...
...•••...
Sore itu, matahari mulai tenggelam, dan warna oranye keemasan menyelimuti tempat parkir sekolah. Suasana yang biasanya ramai dengan siswa yang baru pulang, kini mulai lengang. Beberapa mobil tersisa di tempat parkir, termasuk mobil Ellyenza yang terparkir di sudut, jauh dari pintu masuk sekolah.
Ellyenza berjalan dengan cepat menuju mobilnya, ingin segera meninggalkan sekolah. Hari ini sudah cukup melelahkan baginya, dan dia tidak sabar untuk segera beristirahat di rumah. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sosok familiar muncul di depannya, menghadang jalan.
Kevin, mantan kekasihnya, berdiri di sana, dengan postur tegap dan tatapan dingin. Tangan kirinya menyelip di saku jaketnya, sementara tangan kanannya memegang secangkir kopi yang hampir habis. Ellyenza terdiam sesaat, terkejut oleh kemunculannya yang tidak diharapkan.
"Ell," panggil Kevin, suaranya dalam, penuh dengan beban yang tak terkatakan.
Ellyenza menghela napas, matanya langsung memandang Kevin dengan tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini, Kevin?" tanyanya dengan nada dingin, berusaha untuk tetap tenang meskipun di dalam hatinya mulai muncul perasaan tidak nyaman.
Kevin tersenyum tipis, tetapi senyum itu lebih terlihat seperti ejekan daripada sapaan hangat. "Aku cuma ingin bicara," jawabnya dengan santai, meskipun Ellyenza tahu bahwa ini bukan sekadar percakapan ringan.
"Kita nggak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan," potong Ellyenza cepat, lalu mencoba melangkah melewatinya. Tapi Kevin tidak mundur. Dia tetap berdiri di tempatnya, memblokir jalan Ellyenza.
"Apa kamu benar-benar percaya itu?" tanya Kevin, suaranya mulai serius. Tatapannya menatap lurus ke arah mata Ellyenza, seakan mencoba mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam.
Ellyenza berhenti lagi, merasakan ketegangan yang mulai meningkat. "Kevin, aku sudah selesai denganmu. Sudah lama. Aku nggak mau mengingat semua itu lagi."
Namun, Kevin tidak menyerah. "Tapi kamu belum selesai dengan masa lalumu, kan?" tanyanya dengan nada lebih tajam. "Anak itu—kita bahkan tidak pernah membicarakannya."
Ucapan Kevin menghantam Ellyenza seperti pukulan keras. Kata-kata itu membangkitkan luka yang sudah lama berusaha dia lupakan, luka yang tidak pernah sepenuhnya sembuh. Dia merasakan hatinya berdegup kencang, kemarahan mulai membara di dalam dirinya.
"Kamu nggak pantas ada di sini, Kevin!" seru Ellyenza dengan nada marah, suaranya mulai bergetar. "Aku sudah selesai denganmu, dengan semuanya! Aku nggak mau lagi mengingat apa yang terjadi."
Kevin mengerutkan kening, merasa bahwa Ellyenza sedang melawan perasaannya sendiri. "Kamu bisa bilang itu sebanyak yang kamu mau, Ell. Tapi aku tahu, di dalam sana, kamu masih belum bisa lari dari kenyataan."
Ellyenza menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai memenuhi matanya. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Kevin, tidak lagi. Tapi kata-kata Kevin terus menghantam pertahanan yang dia bangun selama ini.
"Aku nggak perlu kamu untuk mengingatkanku," kata Ellyenza, suaranya lebih pelan tapi penuh dengan kemarahan. "Anak itu ... semua yang terjadi ... Itu semua sudah berlalu."
Kevin melangkah maju, mendekati Ellyenza dengan tatapan yang lebih lembut, meskipun kata-katanya tetap menusuk. "Tapi kamu nggak pernah benar-benar melupakannya, kan? Kita masih punya sesuatu yang belum selesai, Ell."
"Pergi!" Ellyenza berteriak, air mata akhirnya jatuh dari sudut matanya. "Aku nggak mau melihat kamu lagi. Kita selesai, Kevin. Selesai!"
Kevin terdiam sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia akhirnya melangkah mundur. "Baiklah," katanya pelan. "Tapi ingat ini, Ell. kita belum benar-benar selesai. Aku akan kembali."
Dengan itu, Kevin berbalik dan pergi, meninggalkan Ellyenza yang berdiri terpaku di tempatnya. Ellyenza merasakan tubuhnya gemetar, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—kemarahan, kesedihan, dan trauma lama yang kembali menyeruak. Dia tahu bahwa kehadiran Kevin tidak hanya mengganggu pikirannya, tetapi juga membangkitkan kembali luka lama yang selama ini dia pendam.
...•••...
Malam itu, di rumah keluarga Parvyez, suasana tampak tenang di luar, tetapi di dalam, ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi. Ellyenza berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu ketika dia mendengar suara bisikan yang samar. Langkahnya melambat ketika dia menyadari bahwa itu adalah suara ibunya, Stella, sedang berbicara dengan orang lain.
Ellyenza berhenti di ambang pintu, bersembunyi di balik dinding. Rasa penasaran mulai menguasai dirinya. Dia bisa mendengar suara ibunya, tapi tidak begitu jelas siapa yang menjadi lawan bicaranya. Namun, beberapa kata yang terdengar sudah cukup untuk menarik perhatiannya sepenuhnya.
"Perjodohan ini harus segera diumumkan," kata Stella dengan nada tegas. "Kita tidak bisa menunda lebih lama lagi. Ini sudah direncanakan sejak lama."
Ellyenza merasa darahnya berdesir mendengar kata "perjodohan". Perjodohan? Dengan siapa? Apakah ini tentang dirinya?
Kemudian, suara lain terdengar, lebih berat dan dalam. Orang tua Kenzie, yang tak lain adalah keluarga yang cukup dekat dengan keluarganya. "Kami setuju, Nyonya Parvyez. Kenzie sudah siap. Kita hanya perlu memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana."
Ellyenza tertegun. Nama Kenzie disebutkan. Dadanya mulai berdebar kencang. Dia mencoba mengendalikan napasnya agar tidak terdengar, tapi pikirannya berputar-putar dengan cepat, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar.
"Ini untuk kebaikan bersama," lanjut suara Stella. "Ellyenza mungkin belum tahu, tapi ini adalah takdirnya. Dia harus menerima kenyataan bahwa dia akan dijodohkan dengan Kenzie. Kami akan mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya."
Ellyenza merasa kakinya lemas. Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seolah-olah dia akan jatuh kapan saja. Kenzie? pikirnya dalam hati, matanya terbuka lebar dengan keterkejutan yang sulit dia kendalikan. Aku dijodohkan dengan Kenzie?
Dia merasa dunianya berputar. Kenzie—pria yang selama ini selalu dia anggap sebagai rival, pria yang selalu membuatnya marah dengan sikap seriusnya—sekarang ternyata adalah tunangannya? Bagaimana mungkin?
Ellyenza menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan suara keterkejutannya agar tidak terdengar oleh orang-orang di ruang tamu. Dia tidak tahu harus merasa apa. Marah, kecewa, atau bahkan mungkin ketakutan. Perjodohan ini tidak pernah dia bayangkan, dan sekarang, kebenaran itu menghantamnya seperti badai besar yang tak bisa dihindari.
Dengan pelan, Ellyenza mundur dari tempatnya, melangkah kembali ke tangga dengan hati yang kacau balau. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Rahasia yang baru saja dia dengar telah mengubah segalanya—terutama hubungannya dengan Kenzie.
"Jadi dia ... Kenzie?" bisik Ellyenza dalam keterkejutan yang masih belum bisa dia percaya. Kata-kata itu bergema di dalam pikirannya, semakin memperdalam rasa kebingungan yang dia rasakan.
Ketika Ellyenza akhirnya sampai di kamarnya, dia menutup pintu dengan pelan, lalu duduk di tepi tempat tidur, merenung. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia harus melawan? Atau menerima nasibnya sebagai tunangan Kenzie? Ellyenza tahu bahwa apa pun keputusan yang dia ambil, itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya—dan dalam hubungan yang selama ini dia jaga tetap dingin dengan Kenzie.
...• Bersambung •...