Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Mobil mewah Shaka membelah padatnya jalanan Ibu Kota di jam pulang kerja. Jihan, wanita berparas ayu alami itu masih komat kamit sejak masuk ke mobil Shaka.
Aksi protesnya masih berlanjut, menuntut ganti rugi karna first kissnya di ambil oleh Shaka, suaminya sendiri. Jika di dalam surat perjanjian tidak ada larangan menyentuh atau kontak fisik lebih jauh, mungkin Jihan tidak akan protes seperti ini. Kalau sudah begini, tidak salah kalau Jihan merasa dirugikan.
"Aku nggak mau tau, pokoknya Pak Shaka harus kasih kompensasi.!" Gerutu Jihan kesekian kalinya. Walaupun di acuhkan oleh Shaka, tapi Jihan pantang menyerah, membuat suasana di dalam mobil cukup berisik karena ocehannya yang tiada henti.
"Diam Jihan, kamu bikin saya nggak konsen nyetir." Tegas Shaka dengan wajah datarnya. Sedikitpun tidak melirik, apalagi menoleh.
Pria tampan dengan setelan kanebo kering dari kutub utara itu benar-benar kaku. Membuat Jihan geram sendiri dan memilih mengunci mulutnya rapat-rapat. Bicara dengan Shaka hanya buang-buang energi.
"Nanti berhenti dulu di hallo bakery.! Saya mau beli kue buat Kak Tasya.!" Seru Jihan sewot.
Shaka hanya menoleh tanpa berkomentar. Tapi langsung membelokkan mobilnya ke arah toko roti yang tadi jaraknya hanya 10 meter saja saat Jihan memerintah.
"Pakai ini." Shaka tiba-tiba menyodorkan kartu atm ke arah Jihan. Tanpa pikir panjang, Jihan mengambilnya dengan gerakan secepat kilat. Rejeki tidak boleh di tolak. Apalagi atm dari tangan Shaka, pasti isinya tidak sedikit.
"Kirim pinnya." Kata Jihan sembari keluar dari mobil.
Shaka tampak geleng-geleng kepala melihat tingkah Jihan. Tadi marah-marah tidak jelas, tapi saat di sodorkan kartu atm, langsung di ambil tanpa basa basi. Memang dasar perempuan, kalau sudah lihat duit jadi lupa segalanya. Begitu pikir Shaka. Namun pria itu sama sekali tidak berfikir buruk tentang Jihan. Toh Jihan tidak pernah menuntut apapun. Uang 500 juta sebagai imbalan nikah kontrak, sepertinya sudah cukup bagi Jihan.
...******...
"Kenapa banyak sekali.?" Shaka melongo melihat banyak paper bag yang dibawakan oleh pelayan toko ke mobilnya.
Jihan menyengir kuda tanpa ada beban setelah menghabiskan hampir 2 juta hanya untuk membeli kue dari toko roti terkenal itu.
"Sebagian buat Mama sama Juna. Mampir ke rumah sebentar ya." Pinta Jihan dengan tatapan memohon. Dia juga menyodorkan kartu atm pada Shaka.
Shaka berdecak pelan.
"Pegang saja." Katanya sambil masuk kedalam mobil. Jihan sempat bengong dengan kartu atm yang masih ada di tangannya.
"Sudah saya masukan semua Mbak." Kata pelayan toko sembari menutup pintu mobil belakang.
"Oh iya, terimakasih banyak Mas." Sahut Jihan. Dia kemudian bergegas masuk ke dalam mobil, menyusul Shaka.
"Jadi kartu ini untuk kompensasi ciuman tadi pagi.?" Tanya Jihan.
"Apa isinya sesuai untuk dijadikan kompensasi.?" Cerocos Jihan.
Shaka memutar malas bola matanya.
"Kamu perhitungan sekali sama suami sendiri.! Itu kan hanya ciuman." Balas Shaka sedikit jutek.
"Ck.! Tapi di luar perjanjian.! Aku yang rugi kalau begini.!" Jihan mengerucutkan bibirnya.
"Kamu bisa cium saya biar sama-sama rugi." Jawab Shaka datar, lalu melajukan mobilnya.
Jihan membulatkan mata. Sama-sama rugi katanya.? Yang ada Shaka untung dua kali kalau Jihan benar-benar menuruti perkataannya.
Jelas Jihan menolak keras dan kembali melayangkan protes.
"Dasar laki-laki.! Selalu curi kesempatan." Jihan melengos, membuang pandangan ke arah jendela.
Sedangkan Shaka, pria itu diam-diam mengulum senyum tipis. Sangat tipis, sampai tidak ada perubahan di wajahnya yang datar.
...******...
Mama Dewi menerima kue dengan senyum merekah di wajahnya yang sudah sedikit berkeriput. Anak dan menantunya sering datang ke rumah, siapa yang tidak bahagia. Setidaknya meskipun menantunya orang kaya dan sangat sibuk, masih mau menyempatkan datang ke gubuknya.
"Lain kali nggak usah repot-repot nak Shaka. Kalian mau datang kesini saja Mama sudah senang." Kata Mama Dewi sambil menerima beberapa paper bag dari Shaka. Dan sisanya langsung dibawa masuk oleh Jihan.
Shaka tersenyum kikuk. Walaupun makanan itu dibeli pakai uangnya, tapi Jihan yang berinisiatif membeli dan ingin mengantarkan langsung ke rumah. Shaka juga tidak mengira kalau Jihan akan mengatakan pada Mama Dewi kalau semua kue itu dari Shaka.
"Juna dimana mah.?" Jihan keluar dari dalam, dia bergabung di ruang tamu dengan Mama Dewi dan Shaka.
"Sudah dua hari ini kerja paruh waktu di kafe. Katanya buat tambahan uang jajan biar nggak ngerepotin kamu lagi." Sahut Mama Dewi.
"Jihan nggak pernah merasa direpotkan. Seharusnya Juna fokus kuliah saja. Kalau sekedar bayar kuliah dan uang jajan, Jihan masih bisa ngasih Mah. Lagipula sekarang ada Mas Shaka, nanti uang gajiku buat Mama sama Juna semua. Semua keperluanku di tanggung Mas Shaka. Iya kan Mas.?" Jihan menyikut Shaka yang sejak tadi diam saja. Diam karna menyimak dan membaca kondisi keluarga Jihan.
Shaka yang di beri kode oleh Jihan, langsung mengangguk cepat. Bagi seorang Shaka, uang bukan masalah. Apalagi untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup Jihan yang terlihat sangat sederhana. Sudah pasti tidak akan menguras isi atmnya.
Sekitar 20 menit mengobrol santai, keduanya pamit pulang karna sudah di tunggu mertua dan kakak iparnya.
"Titip Jihan ya nak Shaka. Maaf kalau anak Mama merepotkan. Seandainya Jihan melakukan kesalahan, tegur dan nasehati baik-baik. Jihan sangat berarti dan berharga untuk kami." Lirih Mama Dewi dengan suara bergetar menahan tangis.
Tadi Mama Dewi buru-buru menghampiri Shaka saat Jihan masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil ponsel yang tertinggal.
Shaka tertegun, bukan karna tidak bisa memenuhi permintaan sederhana dari Mama mertuanya. Hanya saja ada perasaan rumit yang tiba-tiba mengusik hatinya.
Permintaan dan ungkapkan dari seorang Ibu terdengar begitu tulus. Shaka memahami situasi, bahwa selama 2 tahun terakhir ini, Jihan telah berjuang mati-matian demi orang tua dan adiknya.
Seorang wanita, anak sulung dan menjadi tulang punggung keluarga, tentu bukan perkara yang mudah untuk di jalani. Terlebih tinggal di Ibu Kota dengan biaya hidup serba mahal.
Shaka akhirnya mengangguk karna tidak tega melihat gurat kesedihan di wajah mertuanya.
"Jihan sangat mandiri, dia tidak pernah merepotkan saya. Mama jangan khawatir, saya akan menjaga dan melindungi Jihan dengan baik." Kata Shaka lirih.
Keduanya langsung diam saat Jihan kembali, membuat wanita 25 tahun itu menatap heran pada suami dan Mamanya. Terlebih Jihan sempat melihat Mamanya tampak sedih.
"Kalian hati-hati di jalan, sering-sering datang kalau ada waktu." Kata Mama Dewi. Dia mencegah Jihan yang terlihat ingin menanyakan sesuatu.
"Tentu saja. Saya dan Jihan akan sering berkunjung. Kami pamit dulu, Kakak saya sudah menunggu." Shaka menggandeng tangan Jihan dan membawanya pergi dari sana.
Tindakan Shaka membuat Jihan semakin penasaran dengan apa yang terjadi sebelumnya.