ZIELL

ZIELL

ZIELL ; The Prologue.

Malam itu hujan turun deras, menciptakan suara gemuruh yang menyelimuti kota seperti alunan simfoni yang suram. Kilatan petir sesekali menerangi langit malam, diiringi oleh gemuruh guntur yang memecah kesunyian. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah sakit berdiri megah, tapi kehangatan yang biasanya memancar dari tempat seperti itu lenyap, digantikan oleh ketegangan yang terasa di setiap sudut ruangan beraroma antiseptik.

Di dalam ruangan bersalin yang remang, tangisan seorang bayi memecah suasana hening. Bayi perempuan itu baru saja lahir, namun bukan kebahagiaan yang menyambutnya. Di pelukan ibunya, bayi tersebut menangis sejadi-jadinya, seakan mengetahui betapa kelamnya dunia yang baru saja dia masuki. Wanita yang menggendongnya, Sweetly Vivienne Svetlana, menatap anak itu dengan mata sembab, tanda betapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan selama beberapa hari terakhir. Pipinya masih basah, wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah.

Sweetly baru saja melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kematian Anzel Rafendra Pratama, suami yang dia cintai, menghantam dirinya seperti badai yang menghancurkan segalanya. Dia merasa seakan hidupnya telah hilang seiring dengan kepergian pria yang telah memberinya kebahagiaan sesaat. Kini, hanya bayi kecil yang dia lahirkan ini yang tersisa—buah cinta dari Anzel, satu-satunya yang membuatnya tetap bertahan.

Sweetly menarik napas panjang, berusaha meredakan gemuruh di hatinya. Meski lelah dan hatinya dipenuhi kesedihan yang mendalam, dia tahu bahwa dia harus segera pergi. Tidak ada waktu lagi untuk bersedih, karena dunia di luar sana tidak pernah memberi tempat bagi mereka yang lemah. Di luar ruangan, langit menumpahkan hujan deras, seolah turut berduka bersama Sweetly.

Tanpa banyak bicara, dia bergegas keluar dari ruangan bersalin, membawa bayi itu dalam dekapannya yang penuh cinta, tapi juga ketakutan. Rintik hujan mulai membasahi pakaiannya begitu dia keluar dari rumah sakit, namun Sweetly tidak memedulikannya. Di dalam hatinya, hanya ada satu keinginan—melindungi anaknya dari semua bahaya yang ada. Dia berjalan cepat menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan, berusaha melawan rasa cemas yang semakin mencekam.

Namun, di kejauhan, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti, mesinnya masih menyala, lampu depannya menerangi jalan basah yang diguyur hujan. Di dalam mobil itu, seorang wanita duduk dengan ekspresi yang dingin dan tak terbaca. Tatapannya tertuju pada satu titik—sosok wanita yang sedang menggendong bayi di dekapan eratnya, berlari menembus hujan.

Wanita itu adalah Stella Victoria Parvyez, mantan tunangan Anzel, pria yang kini telah tiada. Tatapan matanya begitu tajam, hampir seperti predator yang mengintai mangsanya. Wajahnya yang cantik tak menunjukkan emosi apa pun, namun di balik kesunyian itu, dendam lama berkecamuk hebat di dalam dadanya. Stella telah lama menyimpan kemarahan yang mendidih terhadap wanita yang kini ada di depannya, Sweetly. Wanita yang dulu dia anggap sebagai sahabat baiknya, kini telah menjadi musuh terbesarnya. Sweetly, yang telah merebut Anzel, pria yang seharusnya menjadi miliknya.

Dulu, Stella dan Sweetly seperti saudara. Mereka berbagi banyak hal, termasuk mimpi-mimpi mereka tentang cinta dan masa depan. Tapi semuanya berubah ketika Anzel, tunangan Stella, memilih untuk bersama Sweetly. Saat itu, Stella tidak hanya kehilangan pria yang dia cintai, tapi juga kehilangan harga dirinya. Anzel meninggalkan dirinya untuk wanita yang dia pikir hanya sahabat, dan itu adalah pengkhianatan terbesar yang pernah Stella rasakan.

Anzel sudah tiada sekarang, tapi dendam Stella tidak mati bersama kepergiannya. Dendam itu semakin membara di dalam hati Stella, dan dia tahu bahwa Sweetly harus membayar harga atas apa yang telah dia lakukan. Stella tidak bisa membiarkan Sweetly hidup dengan damai, tidak setelah semua yang terjadi. Dan malam ini, di tengah hujan deras, Stella akan memastikan Sweetly merasakan apa yang pernah dia rasakan—kehilangan segalanya.

Stella menatap tajam ke arah Sweetly yang berusaha masuk ke dalam mobilnya. Di dalam dekapan Sweetly, bayi itu menangis semakin kencang, seakan merasakan kecemasan yang ada disekelilingnya. Stella memperhatikan dengan teliti setiap gerakan Sweetly, seolah sedang menunggu momen yang tepat untuk bertindak.

Sopir di samping Stella menatapnya, seolah menunggu perintah. “Jangan sampai dia lolos,” perintah Stella dengan suara yang datar namun tegas. Sopir itu mengangguk tanpa bicara dan segera memacu mobilnya, memotong jalur mobil Sweetly yang baru saja keluar dari parkiran rumah sakit. Kejadian berikutnya terjadi begitu cepat—suara klakson yang panjang, ban yang berdecit di atas aspal basah, dan kemudian, tabrakan keras yang tak terhindarkan.

Suara benturan logam beradu terdengar menggema di jalanan yang lengang. Mobil Sweetly terlempar ke samping, menabrak tiang lampu jalanan sebelum akhirnya terbalik. Kaca mobil pecah berhamburan di jalan, bersama dengan dentingan suara hujan yang terus mengguyur tanpa henti.

Di dalam mobilnya, Stella duduk diam, memperhatikan kehancuran yang baru saja dia sebabkan. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, senyum yang dingin dan tanpa emosi. Dia membuka pintu mobilnya dengan perlahan, melangkah keluar ke dalam hujan deras yang membasahi tubuhnya. Stella tidak peduli dengan pakaian mahal yang kini kuyup oleh air hujan. Matanya tetap tertuju pada mobil Sweetly yang terbalik, tempat di mana semua dendamnya akan terbayar malam ini.

Dengan langkah mantap, Stella berjalan mendekati mobil yang hancur itu. Di antara puing-puing kaca yang berserakan di jalan, suara tangisan bayi masih terdengar—nyaring dan memilukan. Sweetly terbaring di kursi kemudi, tidak bergerak, darah mengalir dari pelipisnya, membasahi wajahnya yang pucat. Tapi bagi Stella, Sweetly sudah tidak lagi penting. Hanya satu hal yang menarik perhatiannya—bayi kecil yang masih berada dalam pelukan Sweetly.

Stella berhenti di depan mobil yang terbalik itu, memandang bayi yang menangis histeris di dalam dekapan ibunya. Dengan tangan dingin dan tanpa ragu, Stella membungkuk dan mengulurkan tangannya mengambil bayi itu dari pelukan Sweetly yang tidak lagi bisa melawan. Bayi itu menjerit lebih kencang saat tangan Stella menyentuhnya, seakan tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Stella mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya, menatap wajah kecil yang kini berada dalam genggamannya. "Vanellye Arch Equeenza," bisiknya, memberikan nama baru kepada bayi yang baru saja dia ambil dari ibunya. Bayi itu kini menjadi miliknya—bukan sebagai anak yang dicintai, tapi sebagai alat balas dendam. Dia akan membesarkan bayi ini di bawah pengaruh kebencian dan dendam, dan setiap kali dia melihat mata anak itu, Stella akan teringat akan pengkhianatan yang dilakukan oleh Sweetly.

Stella melangkah mundur, meninggalkan Sweetly yang terbaring tak bergerak di antara puing-puing kehancuran. Hujan terus turun deras, menyapu bersih darah yang mengalir di jalan, namun tidak ada yang bisa menyapu bersih dendam di dalam hati Stella. Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Dan Ellyenza, bayi kecil yang tidak bersalah, kini telah menjadi bagian dari permainan gelap yang Stella ciptakan.

...• Bersambung •...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!