Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : BUKAN GADIS KECIL
Raungan Yura semakin keras, membuat Zefon mengembuskan napas beratnya. Ia bingung melihat Yura yang begitu cepat berubah. Awal pertemuan terlihat sangat lemah, lalu tiba-tiba berubah tegas, kuat, pemarah dan sekarang justru menangis hebat. Zefon sungguh tak mengerti apa yang membuat gadis itu mudah berubah-ubah.
Dalam diamnya, Zefon menerka-nerka. Manik matanya tak lepas dari Yura, meski ia hanya membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.
'Tunggu! Sebelum pingsan, bukankah dia menyebut nama Sarah? Apakah yang ia maksud ibu tirinya? Mungkinkah semua yang dia alami ini adalah ulah ibunya sendiri?’ batin Zefon bertanya-tanya. Ia berdiri di samping ranjang, kaki menyilang dengan pandangan menunduk pada Yura.
Zefon bergerak keluar tanpa berpamitan. Ia merogoh ponsel dan menekan tombol darurat yang langsung terhubung pada Calvin, tangan kanannya di Klan Black Stone.
“Saya, Tuan!” ucap Calvin menjawab dengan cepat.
“Ambil ponsel mereka dan cek satu per satu isinya! Siapa yang terlibat di dalamnya!” perintah Zefon.
“Maaf, Tuan. Tapi semua sudah lenyap tak bersisa. Termasuk alat komunikasi mereka.” Calvin berucap tanpa ragu.
“Ays, bodoh! Kenapa tidak kalian amankah dulu?!” sentak Zefon.
“Maaf, Tuan. Tapi Anda tidak ber....” Ucapan Calvin terpotong.
“Harusnya kalian bisa menerka sendiri tanpa perintah!” pekik Zefon lagi begitu kesal. Ia langsung mematikan telepon sepihak.
Calvin menghela napas kasar. Mengedikkan bahu sembari menatap nanar benda pipihnya, usai mendengar semburan sang bos. “Siapa yang mengerti isi hati dan pikiran orang? Memangnya aku peramal?” gerutu lelaki muda itu kembali melanjutkan aktivitas. Meski sebenarnya berdebar, bersiap untuk menerima amarah bosnya ketika bertatap muka nanti.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat kembali masuk ke ruang rawat Yura. Gadis itu sudah lebih tenang sekarang. Hanya saja, tubuhnya masih menegang dengan kepalan kedua tangan yang kuat. Sorot matanya memendarkan kebencian.
Zefon semakin mendekat, ia duduk di tepi ranjang dan menatap gadis itu lekat-lekat. Jemarinya terulur menyeka sisa-sisa air mata Yura. “Maaf kalau membuatmu takut,” ucap Zefon pelan walau wajahnya datar tanpa ekspresi.
Kening Yura mengernyit dalam, ia menggerakkan manik matanya agar pandangan tepat pada netra sendu lelaki itu. “Percaya diri sekali! Aku tidak menangisimu,” tutur Yura dengan sebelah alis yang terangkat.
Dalam hati Zefon menggeram kesal. Bisa-bisanya dia dipermalukan seperti ini. Untung saja tidak ada orang lain selain mereka berdua. Bibirnya kembali merapat, namun ia bergerak semakin mengikis jarak di antara mereka. Dua lengannya mengunci pergerakan tubuh Yura.
“Lalu? Apa yang membuatmu menangis sampai seperti itu?” tanya Zefon dengan suara yang penuh penekanan. Tatapannya mengintimidasi, membuat Yura menahan napasnya sesaat.
“Bu ... bukan kamu. Tapi ada hal lain. Beneran!” sahut Yura terbata-bata.
Zefon masih tak beranjak, ia bisa melihat detail garis wajah yang begitu cantik walau disertai banyak luka di sana. “Lalu?” pertanyaannya begitu menuntut.
“Tuan, bisakah jangan seperti ini? Aku....” Yura menelan salivanya berulang, tenggorokannya tiba-tiba mengering. “Aku sulit bernapas,” ucapnya menahan dada Zefon dengan kedua tangannya. Apalagi dari tadi tatapan Zefon tertuju pada bibir ranumnya.
Zefon memundurkan punggungnya. Wajah dingin tanpa ekspresi itu tetap terjaga, sekalipun sebenarnya bergejolak ingin melahap bibir mungil itu.
Entah kenapa, ia sangat tertarik dengan gadis yang masih belia seperti Yura. Padahal selama ini, tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan mana pun, selain karena tidak ada yang membuatnya tertarik, Zefon juga takut akan menjadi incaran para musuhnya. Akan tetapi, kehadiran Yura terasa berbeda.
“Dengarkan aku! Ini adalah terakhir kalinya kamu menangis. Aku sangat membenci perempuan cengeng. Jadilah perempuan tangguh dan tidak mudah menyerah. Agar tidak ada satu pun orang yang bisa menginjak-injak harga dirimu. Mengerti, gadis kecil?” tutur Zefon bersungguh-sungguh.
“Aku bukan gadis kecil lagi!” sanggah Yura tidak terima, sejak pertemuan awal mereka, Zefon selalu menyebutnya seperti itu.
Zefon menatapnya intens dari ujung kepala hingga kakinya. “Lalu aku harus sebut kamu apa? Bocah? Kurcaci?”
“Sembarangan kalau ngomong. Aku itu sudah dewa ... sa ....” Yura tak melanjutkan kalimatnya, sadar jika sekarang memang raganya kembali remaja lagi. Ia lalu tersenyum canggung, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sepertinya lukamu cukup parah. Sampai-sampai, kamu mengigau menjadi dewasa. Tidurlah aku akan menjagamu. Oh ya, sebutkan permintaanmu. Aku akan mengabulkan semuanya!” ucap Zefon membuat Yura membeliak. Dadanya tiba-tiba kembali berdebar kuat.
“Apakah kamu jin?” celetuk Yura menusuk-nusuk dada bidang Zefon dengan jari telunjuknya.
Kedua alis Zefon saling bertautan, ia sungguh dibuat bingung oleh gadis yang menurutnya labil itu. Zefon menepis tangan Yura, karena sentuhannya membuat darah pria itu berdesir kuat, ia berdehem untuk menutupinya, kembali memasang wajah datarnya, “Hentikan! Tidurlah sekarang juga. Sepertinya otakmu sedikit bergeser.” Zefon hendak bergerak tapi buru-buru Yura menahan lengannya.
“Tunggu. Tapi ... kenapa kamu melakukan itu semua? Menyelamatkanku berulang kali, mau melindungiku bahkan sekarang ingin mengabulkan semua keinginanku. Apa kamu mencintaiku?” tanya gadis itu penasaran.
Bersambung~