Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Kok Sakit?
Kaki Nala terlihat memerah, tapi bagusnya tidak sampai melepuh. Gaza membantu Nala duduk di sofa, ia mengambil salep luka bakar yang tadi di bawah oleh Rey.
Zanna dan Rey, duduk berjongkok tak jauh dari Nala. Keduanya menatap penuh khawatir pada Nala, terlebih Rey yang kini diliputi rasa bersalah.
Nala memejamkan matanya saat Gaza mulai mengoleskan salep. “Pelan-pelan, Mas.”
Gaza menatap sekilas. Ia kembali mengoles pelan, sesekali ia meniup lembut agar rasa perih yang Nala rasakan sedikit berkurang.
Rey menatap penuh rasa khawatir, wajah jahilnya kini terlihat serius bercampur takut, ia melirik Nala kemudian berpindah ke Gaza. Ia sudah siap untuk di marah oleh suami dari temannya itu.
“Maaf,” bisiknya pelan tapi masih bisa didengar oleh Nala.
Iskandar dan Maya yang tadinya khawatir kini duduk di sofa bersama Ratih dan Anggia. Mereka membiarkan Gaza mengobati Nala.
“Kamu kalau bercanda liat-liat kondisi dan situasi, Rey.” Iskandar memperingati keponakannya itu.
“Iya Om, tadi gak liat kalau Nala lagi bawain minuman,” ucap Rey dengan rasa bersalah.
Zanna kesal, ia memukul Rey kesal. “Makanya, punya mata dipakai. Nampan segede itu masa gak liat.”
Rey meringis saat tangannya mendapat pukulan dari Zanna.
“Maaf, Na. Aku kira tadi Nala lagi nguping sambil liatin Kak Gaza dan Kak Anggia ketawa di ruang keluarga, takutnya kesurupan soalnya diam gak gerak-gerak. Makanya aku inisiatif kagetin.”
Gaza menghentikan gerakan tangannya saat mendengar ucapan Rey, ia melirik sekilas pada Nala yang terus menunduk. Ia kemudian menatap Anggia.
Anggia memalingkan wajahnya saat menyadari Gaza dan orang tua Gaza menatap ke arahnya.
“Masih sakit? Mau ke kamar?” tanya Gaza lembut.
Nala menggeleng, “cuman kena air panas kok,” ucap Nala pelan. Ia menyingkirkan tangan Gaza yang masih mengusap lembut kaki Nala.
“La, serius kamu diemin aku? Kamu marah?” tanya Rey yang dari tadi tak mendapat tanggapan apapun dari Nala.
Nala tersenyum, kemudian menggeleng pelan. “Kamu ‘kan gak sengaja, jadi gak apa-apa. Aku juga yang salah tadi, harusnya langsung pergi.Tapi aku mau sesuatu…” Nala diam sejenak, ia melirik Gaza yang juga meliriknya tajam. Nala mendekat ke arah Rey dan Zanna. “Aku mau es krim, boleh?” bisiknya.
Rey dan Zanna mengangguk bersamaan, mereka mengacungkan jempolnya tanda setuju.
“Rey yang traktir,” ucap Zanna semangat.
“Hmmm.” Gaza menatap mereka bertiga secara bergantian dan berakhir pada Rey. “Jangan bawa istri saya makan sembarangan,” ucap Gaza penuh peringatan.
“Gak, Kak. Jangan berburuk sangka,” bantah Rey.
“Lalu tadi, istri saya bisikin kalian berdua apa?”
Zanna dan Rey saling melirik kemudian melirik Nala yang kini menunduk seolah tak ingin terlibat.
“Mau ikut Rey bikin vlog buat kontennya,” jawab Zanna cepat.
Gaza menarik nafasnya panjang, ia tahu ketiga orang ini sedang berbohong, tapi akan ia biarkan untuk sekarang, tak enak dengan keluarga Nala.
Gaza kembali melirik Nala, istrinya itu hanya diam dan terus menunduk, entah menatap kakinya yang memerah atau sedang menghindari tatapan dari Gaza.
Puspa yang baru turun terkejut melihat Rey dan Zanna yang jongkok di hadapan Nala, kembali tatapan Puspa berpindah, warna merah di kaki Nala sangat kontras dengan kulit putihnya.
“Astagfirullah, Nala. Kaki kamu kenapa?” tanya Puspa khawatir.
Wanita tua itu menarik Rey agar menjauh dari Nala, ia duduk tepat di samping Nala.
“Nek, astaga. Aku cucumu juga.” Protes Rey tapi tak mendapat respon apapun selain Zanna yang tertawa mengejeknya.
Tangan Puspa bergerak menyentuh kaki cucu menantunya itu, kekhawatiran jelas terlihat dari wajahnya.
“Gak apa-apa, Nek.” Nala menjawab sembari tersenyum.
“Gak apa-apa, bagaimana? ini merah kayak kepiting rebus.” Ucapan Puspa sontak membuat Rey tertawa nyaring.
“Rey!” Iskandar memanggil dengan suara tegas.
Sontak saja Rey diam, ia melirik Zanna yang menyuruhnya diam.
“Sudah diobati?” tanya Puspa lagi, ia menyentuh pelan kaki Nala.
“Sudah, Nek. Tadi sudah di kasih salep sama Mas Gaza,” jawan Nala pelan.
Nala tersenyum tipis, Puspa yang terlihat sangat khawatir, bahkan kerutan di wajahnya semakin terlihat jelas.
“Sakit?” tanya Puspa lagi.
“Gak, Nek.” Nala menjawab singkat.
Wanita tua di hadapannya ini, kadang membuatnya kesal setengah mati. Tapi perhatian yang diberikan selalu membuat Nala terharu.
“Kamu bagaimana sih, Za. Jagain istri aja gak bisa.” Puspa kini menatap Gaza yang dari tadi diam.
“Iya, Gaza yang salah.” Demi kewarasan dirinya, Gaza hanya bisa mengakui kesalahan yang tiba-tiba dituduhkan padanya.
“Sudah-sudah.” Maya yang tadi asik berbincang dengan besannya menengahi. “Rey dan Zanna, kalian siapkan bahan-bahan untuk bakar-bakar di halaman belakang,” perintah Maya.
Rey dan Zanna serentak berdiri, mereka merasa lebih baik menghindar sekarang ketimbang terlibat obrolan orang dewasa.
Nala ikut berdiri. “Tunggu, aku ikut,” ucapnya.
Tapi belum sempat Nala melangkah tangannya ditahan oleh Gaza. “Kaki kamu sakit, diam aja di sini.”
Nala melepas tangannya dari Gaza. “Gak apa-apa, Mas. Ini sudah sembuh kok. Cuman air panas, sudah kebal. Mas temani Kak Anggia aja ke halaman belakang.”
Setelah mengucapkan itu, Nala langsung mengejar Rey dan Zanna yang sudah berada di dapur.
“Loh, Nala? Beneran sudah sembuh?” teriak Puspa, tapi Nala sudah menghilang di balik pintu dapur. “Istrimu itu, keras kepalanya ngikutin kamu,” lanjut Puspa sembari menatap Gaza kesal.
“Gaza, tadi Nala nyuruh kamu temani Anggia ‘kan?” tanya Maya lembut. “Ajak ke taman belakang, Za.”
Anggia terkejut sebab namanya di sebut, ia yang tadi sibuk menatap ponsel nya beralih ke arah Gaza yang juga menatapnya.
“Ayo, kita juga ke belakang,” ajak Iskandar membuat mereka akhirnya berdiri dan berpindah tempat, hari sudah semakin malam dan mereka sudah mulai lapar.
Nala meringis pelan saat ia sampai ke dapur, ia melihat Rey dan Zanna yang kini sibuk mengangkat bahan makanan yang akan mereka bakar-bakar malam ini.
“Loh kok di sini?” tanya Zanna heran, ia melihat Nala yang duduk sambil menatap kakinya.
“Hem, malas di luar.” Nala menjawab jujur.
Rey mendekat, ia menatap Nala serius. “Na… Sakit gak?”
Nala mengangguk, ia menatap kakinya lagi. “Sakit dikit,” jawabnya kemudian tersenyum lebar.
Rey tak ikut tersenyum, ia terus menatap Nala. Cukup lama hingga senyum di bibir Nala surut. Perempuan itu menunduk tak berani menatap Rey dan juga Zanna.
“Dasar perempuan, kalau bohong gampang banget ketahuan,” ucap Rey kemudian kembali sibuk dengan beberapa daging yang akan dibakar.
“Duduk aja dulu, nenangin isi otak. Kalau sudah, kamu nyusul ke belakang,” ucap Rey. Pria itu menarik Zanna yang tadinya ingin duduk di kursi samping Nala. “Ayo, jangan diganggu,” lanjut Rey.
Zanna menuruti, ia mengikuti langkah Rey dan meninggalkan Nala sendirian di dapur.
Wanita itu tersenyum miris, seolah mengejek dirinya sendiri. “Kok sakit?” tanyanya sambil mengusap dadanya pelan.
Setelah tenang, Nala memutuskan untuk menyusul keluarganya yang sudah berkumpul di halaman belakang.
Samar-samar suara tawa keluarganya terdengar. Ia berjalan pelan hingga berdiri di depan pintu keluar.
Nala mengedarkan pandangannya, Rey dan Zanna yang sibuk membakar tengah berdebat perihal daging yang sudah matang atau belum.
Mertuanya dan juga Bundanya sibuk bercerita hingga sesekali tawa terdengar.
Tapi ada yang mengusik pandangan Nala. Interaksi Gaza dan Anggia, keduanya berbicara cukup serius dan cukup terpisah dari semua keluarga, seolah pembahasan mereka cukup penting dan tak mau di ganggu.
“Dahlah, ntar juga pisah,” ucap Nala pada dirinya sendiri.
Ia memutuskan keluar setelah berapa kali menarik nafas.
“Nala, sini!” teriak Zanna. “Rey gak bisa bedain ini sudah matang apa gak. Punyanya sampai gosong gini!” Zanna mengangkat daging yang sudah berwarna kehitaman.
Nala tersenyum lebar, langkahnya dipercepat untuk menghampiri Zanna dan Rey. Tapi ia kesal, sebab harus melewati Gaza dan Anggia.
“Nala…’’ Gaza mencekal tangan Nala.
“Iya Mas?” tanya Nala, jangan lupa senyum yang ia buat selebar mungkin.
“Temani Mas di sini,” ucap Gaza pelan.
Nala diam, ia menatap Gaza cukup lama kemudian beralih ke Kakaknya.
“Kan ada Kak Anggia, Mas. Aku mau bakar-bakar sama Zanna dan Rey. Kalian ngobrol aja, mumpung bisa ketemu.” Nala berucap lembut. Ia menarik paksa tangannya.
“Kaki kamu masih sakit, Sayang.” Gaza kembali menarik tangan Nala, tapi Nala menepisnya.
“Aku duduk aja kok, Mas. Jadi gak usah khawatir. Aku juga gak teledor sampai-sampai kaki sendiri di bakar,” ucap Nala sarkas.
“La… Mas tadi gak bermaksud…”
“Iya Mas,” potong Nala cepat. “Aku paham.”
Setelah mengucapkan itu Nala dengan cepat pergi dari hadapan Gaza. Ia muak dengan semuanya, Gaza dan semua sandiwaranya. Nala ingin melepas semuanya.
Gaza menatap punggung Nala yang menjauh, ada perasaan kosong yang ia rasakan. Nala sudah mulai memperlihatkan dengan jelas bahwa merek tidak baik-baik saja. Sepertinya tekad untuk berpisah pun semakin kuat. Gaza menghela nafas lelah, sepertinya ia harus memikirkan ulang mengenai pernikahan merek.