"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Upaya pembunuhan Mariana
"Aku ingin perempuan itu mati malam ini!" desis Sandra memberi perintah kepada seorang pria yang duduk dihadapannya.
Sebuah foto dan alamat langsung dia serahkan kepada pria itu. Dan, pria berjaket hitam itu langsung menerimanya dengan senyuman miring.
"Nyonya Sandra sanggup bayar berapa untuk nyawa perempuan ini?" tanyanya.
"Seratus juta," jawab Sandra.
"Tiga ratus juta," balas pria itu dengan cepat.
Sandra langsung mengerutkan alisnya. "Kenapa mahal sekali?" protesnya.
Pria itu pun tertawa. "Untuk ukuran seorang Nyonya kaya sepertimu, harga tiga ratus juta seharusnya terbilang murah."
"Yang benar saja, Petra!? Kamu sedang memeras ku atau bagaimana?" ucap Sandra dengan nada tertahan.
Pria yang dipanggil Petra itu mengendikkan bahunya. "Mau atau tidak?" tanyanya.
Sandra mengepalkan tangannya dibawah meja. Dia berhitung cepat dengan situasi.
"Kamu jangan lupa! Perempuan yang ingin kamu lenyapkan adalah satu-satunya batu sandungan yang paling besar untuk dirimu. Jika dia menghilang dari dunia ini, maka keluarga Permana akan benar-benar berada dalam genggamanmu."
Yang dikatakan Petra memang ada benarnya. Satu-satunya penghalang bagi Sandra untuk benar-benar menguasai keluarga Permana hanya Mariana.
Selama perempuan gila itu menyandang status sebagai Nyonya sah keluarga Permana, maka dia yang hanya Nyonya palsu, tak akan pernah naik kasta.
Orang-orang akan terus menganggapnya sebagai seorang selir. Dianggap sebagai pengganti selama sang istri sah masih menderita sakit seperti yang selalu Anton katakan pada orang-orang.
"Baiklah! Aku setuju!" angguk Sandra. "Tapi, kamu harus ingat! Malam ini, kabar tentang kematian Mariana harus sampai ke telingaku. Kalau tidak, awas saja!"
"Membunuh perempuan gila seperti dia sangatlah mudah. Nyonya Sandra tidak perlu khawatir. Sekarang, transfer dulu uangnya!"
Sandra mau tak mau harus menuruti permintaan Petra. Dia segera mentransfer uang sebesar tiga ratus juta ke rekening pria itu.
Setelah bayarannya masuk, Petra langsung tersenyum puas. "Terimakasih atas uangnya, Nyonya Sandra. Malam ini, tunggu kabar baik dariku."
Lelaki itu pun berdiri dari kursinya. Dipasangnya topi jaket parasut yang ia kenakan lalu pergi meninggalkan kafe itu tanpa membiarkan CCTV kafe merekam wajahnya.
Sementara, Sandra masih duduk di sana. Gesturnya terlihat sangat anggun. Dia tersenyum miring sambil meminum espressonya dengan perasaan tak sabaran.
"Mariana, Mariana! Akhirnya, kamu akan mati juga."
****
Sore harinya, Anjani pulang dari kantor dengan berjalan kaki. Jarak antara apartemen dan juga perusahaan tempatnya bekerja memang tidak jauh. Jika berjalan kaki, mungkin butuh waktu sekitar tujuh sampai sepuluh menit.
Saat sampai, Anjani cukup dikejutkan dengan keberadaan Enzo yang ternyata sudah tiba lebih dulu. Bahkan, pria itu sudah berada didalam lift saat Anjani baru hendak memasuki ruangan berbentuk kotak tersebut.
"Kenapa malah melamun? Cepat masuk!" titah Enzo.
Anjani mengangguk. Buru-buru, dia masuk ke dalam lift sebelum sang atasan mengomel lagi.
"Apa Pak Enzo mau menginap di tempatku lagi?" gumam Anjani dalam hati.
Keduanya hanya diam saja saat lift bergerak naik ke lantai atas. Dan, benar saja, ketika lift terbuka, Enzo juga ikut keluar bersama Anjani.
Lelaki itu berjalan santai dibelakang Anjani. Membuat Anjani merasa terbebani dan hendak bertanya namun tidak berani.
Tadi, saat di kantor, Anjani sempat ketakutan karena melihat Enzo yang benar-benar marah kepada salah satu petinggi perusahaan akibat satu kesalahan yang sebenarnya tidak terlalu fatal.
Hal itu, membuat nyali Anjani tiba-tiba menciut untuk mengajak pria itu berbicara lebih dulu seperti kemarin-kemarin.
"Ehm... Maaf, Pak!"
Karena sudah tak tahan diikuti terus, Anjani memberanikan diri untuk angkat bicara.
"Hm? Ada apa?" tanya Enzo. Dia ikut berhenti saat wanita dihadapannya juga berhenti.
"Kenapa Anda terus mengikuti saya? Apa Anda ingin menginap di sini lagi?" tanya Anjani.
Enzo pun menggeleng. "Aku..."
"Maaf, Pak," potong Anjani. "Tapi, saya sudah sembuh. Saya sudah tidak apa-apa. Jadi, Pak Enzo tidak perlu menginap lagi."
"Tapi, aku..."
"Saya paham jika Pak Enzo masih mengkhawatirkan saya. Tapi, saya benar-benar sudah sangat sehat. Jadi, lebih baik Pak Enzo pulang saja! Tidak usah menginap lagi. Nanti, kalau orang-orang salah paham, bagaimana? Walau bagaimanapun, saya adalah perempuan yang sudah menikah."
Mengumpulkan semua nyali yang dia punya, barulah Anjani bisa mengucapkan kalimat sepanjang itu.
"Oke," angguk Enzo. "Aku memang tidak berniat menginap di tempatmu. Aku hanya ingin pulang ke rumahku sendiri."
"Lalu, kenapa Anda malah datang ke sini? Apa karena unit yang saya tempati ini adalah milik Anda? Jadi, Anda mengatakan hal seperti itu? Menganggap jika tempat ini adalah tempat yang bebas Anda datangi kapan saja?"
"Kalau begitu, kenapa Anda tidak bilang dari awal jika tak ingin meminjamkan apartemen ini untuk saya?" lanjut Anjani.
Enzo mengangkat sebelah alisnya. Dia kembali melangkah maju hingga membuat Anjani merasa gugup.
"Anda... kenapa malah mendekat?" tanya Anjani.
Enzo tak mengucapkan apa-apa. Dia mendorong Anjani ke arah samping agar perempuan itu tak lagi menghalangi jalannya.
Tiba didepan pintu apartemen yang berada disamping unit yang ditinggali Anjani, dia langsung menekan kode keamanan lalu membuka pintu dengan santainya.
"Maaf!" ucap Enzo. "Sebenarnya, aku sudah tinggal di sini selama dua tahun lebih. Rumahku ya di sini."
Klek!
Pintu kembali ditutup dari arah dalam. Anjani yang masih berdiri ditempat tampak mematung dengan mulut menganga lebar.
"Jadi, sebenarnya aku dan bos ku yang galak itu bertetangga?"
Hahaha! Anjani tertawa sumbang. Sepertinya, hari-hari stres akan dimulai dari sekarang. Sang atasan tak mungkin membiarkan dia hidup dengan tenang begitu saja.
****
Pukul tiga pagi, Sandra yang tak bisa tidur sama sekali karena sudah tak sabar mendengarkan kabar kematian Mariana akhirnya mendapatkan angin segar.
Sedikit mengendap-endap, dia keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja sang suami saat nomor Petra tampak menghubungi ponselnya. Disana, dia pun segera mengangkat telepon dari Petra.
"Bagaimana? Apa perempuan gila itu sudah kamu lenyapkan?"
Hah! Hah! Hah!
Suara napas yang terengah-engah terdengar dari seberang sana.
"Dasar perempuan sialan!! Kamu berani menjebakku, hah?" tanya Petra dengan penuh emosi.
Kening Sandra pun sontak mengerut heran. "Apa maksud kamu?" tanya Sandra tak mengerti.
"Perempuan gila itu tidak ada di sana," jawab Petra. "Dan, apa kamu tahu? Saat ini, aku sedang diburu oleh beberapa pasukan terlatih yang sepertinya memang ditugaskan untuk menjaga rumah itu."
"Pasukan terlatih apa?" Sandra semakin dibuat bingung.
"Kamu benar-benar perempuan j@lang, Sandra!" geram Petra dengan napas terengah-engah. "Apa kamu sengaja ingin menjebakku, hah? Kamu sengaja mengirimku kemari hanya untuk membunuhku. Iya, kan?" lanjutnya sambil tertawa sinis.
Dia terluka parah dibagian dada dan perut akibat tusukan pisau yang terjadi karena perkelahian jarak dekat. Pata pasukan terlatih itu sepertinya pembunuh bayaran juga, sama seperti dirinya.
"Demi menutupi rahasia tentang identitas Luna, kamu benar-benar berani untuk membunuhku?" Lagi, Petra tertawa. "Dengar ini baik-baik, perempuan j@lang! Jika aku selamat malam ini, maka aku akan langsung mencarimu untuk membuat perhitungan. Pegang janjiku!"
Panggilan terputus. Sepertinya, Petra benar-benar sibuk di sana.
Sementara, wajah Sandra mendadak pias. Tanpa sadar, ponselnya jatuh dari genggaman begitu saja.
"Apa maksud Petra? Kenapa Mariana tidak ada di sana? Dia kemana? Dan, siapa orang-orang yang dimaksud Petra tadi?"
"Apa maksudnya dengan Mariana tidak ada?"
Degh!
Jantung Sandra hampir copot saat sang suami tiba-tiba muncul dari balik pintu.
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏