Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LAPAR TENGAH MALAM
Ayra mengamati sekelilingnya. Ternyata tidak ada suaminya di kamar. Lalu matanya melihat jam dinding di kamar, masih terlalu dini untuk ia bangun. Namun perutnya seolah berdemo minta diisi.
Ayra lalu segera bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati. Ia mengikat rambutnya asal lalu berjalan keluar kamar, berniat menuju dapur untuk memasak mi instan. Mengabaikan keberadaan Arsal yang entah ada dimana, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Namun, langkahnya terhenti begitu mendengar suara berisik dari arah dapur. Bunyi dentingan sendok beradu dengan piring. Suara lemari dapur dibuka, lalu ditutup lagi dengan agak keras.
Kening Ayra mengernyit. Apa mungkin itu tikus? Ah, semenjak ia berada di sini, Ayra belum pernah melihat tikus berkeliaran di dapur. Ia menajamkan pendengarannya. Pencuri? Tapi itu lebih tidak mungkin. Ayra jelas tahu bahwa keamanan di apartemen sangat baik.
Hati-hati, Ayra melangkah mendekat. Ia mengintip dari ambang pintu dapur dan alisnya langsung naik begitu melihat sosok yang berdiri di sana.
Ternyata Arsal yang ada di sana. Ekspresinya begitu serius, padahal itu hanya membuka bungkus mie instan. Tampaknya Arsal juga kelaparan.
Perlahan Ayra berjalan mendekat. Lalu dengan santainya ia berdiri di samping Arsal, berdirinya ia disana tentunya membuat Arsal berjengit kaget.
"Kamu ngapain disini?" tanya Arsal kaget. Pergerakan tangannya yang sedang mengaduk mie di dalam panci terhenti.
"Kamu lapar juga?" tanya Ayra balik. Matanya melihat mie instan yang dimasak Arsal, lalu beralih menatap Arsal.
Arsal yang tadinya menatap Ayra langsung mengalihkan pandangannya. "Hmmh...." gumaman tidak jelas itu Ayra anggap sebagai jawaban.
"Masakin aku juga dong. Aku lapar juga." pinta Ayra dengan nada memelas.
Kapan lagi bisa menyusahkan Arsal dan menikmati pemandangan Arsal memasak. Bukankah itu terdengar romantis? Setidaknya berbagai adegan romantis di dapur yang biasa Ayra lihat di drama korea favorit Helen bisa Ayra rasakan sendiri. Tentunya dengan pasangan halalnya.
Arsal meliriknya sekilas. “Buat sendiri.” jawab lelaki itu datar. Kini ia sudah selesai memasak mie untuknya.
Ayra mendelik. "Pelit." kata Ayra lalu segera mengambil panci lain dan mulai memasak mie untuk dirinya dengan jengkel.
Sementara itu, Arsal segera ke meja bar untuk menikmati makanannya. Namun melihat wajah kesal dengan bicaranya Ayra dengan nada kesal tersebut membuat Arsal menarik ujung bibirnya. Menciptakan senyum samar di bibir tersebut, tanpa diketahui Ayra tentunya.
Ayra mendengus kesal saat melihat Arsal menikmati mi instan buatannya sendiri tanpa merasa bersalah. Ternyata selain jutek, Arsal juga pelit. Itulah yang Ayra nilai tentang Arsal.
Lalu dengan jengkel, ia segera menyiapkan bahan untuk mi instannya sendiri. Setelah air mendidih, ia mengambil daun bawang dan cabai merah kecil untuk menambah rasa. Pisau di tangannya mulai bekerja, mengiris daun bawang dengan cepat, lalu beralih ke cabai.
Namun, karena pikirannya masih dipenuhi kekesalan pada Arsal, tangannya sedikit terpeleset. Tepatnya, bukannya memotong cabai, potongan tersebut justru nengenai jari telunjuknya.
Ayra terdiam sejenak. Rasa perih langsung menjalar dari jari telunjuknya. Ia segera melepaskan pisau sembarang tempat. Darah mulai muncul di ujung jarinya, mengalir kecil.
"Hah… ada-ada aja," gumamnya pelan.
Baru saja ia akan mencari tisu, tiba-tiba tangannya ditarik dengan cepat.
Ayra tersentak ketika melihat Arsal yang kini berdiri di depannya, menggenggam tangannya dengan ekspresi serius. Tanpa mengatakan apa-apa, Arsal langsung membawa jari Ayra ke mulutnya dan menghisap luka itu.
Ayra membeku di tempat. Matanya membulat, sementara detak jantungnya tiba-tiba terasa lebih kencang. Ah, mengapa perlakuan ini membuatnya seperti orang bodoh?
Setelah beberapa detik, Arsal melepas jari Ayra, lalu menatapnya tajam. "Dasar ceroboh," omelnya dengan suara rendah.
Ayra masih terdiam. Ia hanya menatap setiap pergerakan Arsal. Lelaki itu dengan sigap membersihkan luka Ayra tersebut. Ia juga dengan cepat pergi dari dapur dengan wajah panik. Ayra menatap punggung suaminya dengan tatapan tidak percaya.
Belum sempat pikirannya mencerna lebih jauh, Arsal kembali dengan plester di tangannya. Dengan gerakan cekatan, ia menempelkan plester itu di jari Ayra.
"Selesai," katanya datar, sebelum menatapnya dalam. "Hati-hati. Ini hanya luka biasa. Tapi kalau kamu ceroboh lagi, bisa jadi jarimu tidak hanya luka namun juga terpotong." ujar Arsal serius. Matanya menatap Ayra dengan tajam, namun juga ada sorot khawatir di sana.
Ayra masih terdiam, lalu tiba-tiba menyeringai kecil. "Kamu ternyata seperduli itu, ya?" goda Ayra. Lebih tepatnya, ia berusaha mengalihkan pikirannya tentang Arsal.
Arsal langsung mendengus. "Terpaksa," ucapnya pendek, lalu kembali ke kursinya untuk melanjutkan makan.
Namun Ayra tidak peduli dengan respon singkat dan ketus itu. Hatinya justru menghangat, seiring dengan senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia menatap Arsal yang kembali duduk dan menikmati mi instannya seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, perhatian Ayra kemudian kembali pada air di panci yang masih mendidih di atas kompor. Ia baru akan berbalik untuk melanjutkan memasak ketika tiba-tiba Arsal sudah berada di belakangnya.
“Udah. Duduk sana,” perintahnya sambil mengambil mi instan Ayra dari tangan Ayra.
Ayra mengerutkan kening. “Lho? Aku belum selesai masak.”
“Biar saya yang buatkan.” jawab Arsal datar, tanpa sedikit pun menatapnya.
Ayra menatapnya tak percaya. Mengapa lelaki ini begitu hangat malam ini? Ya, walaupun dengan ekspresi datar dan juteknya itu, namun perhatian kecil yang Arsal berikan padanya membuat jantung Ayra berdegup kencang.
Ayra tidak bisa menahan senyumnya. Ia melangkah ke meja dan duduk di sana, menyandarkan dagunya pada tangan, mengamati Arsal dengan tatapan penuh hiburan.
“Kamu perhatian juga, ya, ternyata?” godanya santai.
Arsal berhenti mengaduk sesaat, tapi tetap tak menoleh. “Terpaksa."
Ayra terkekeh. “Kamu udah nolongin aku dua kali malam ini. Pertama pas luka, kedua sekarang masakin mi. Jangan-jangan, kamu mulai jatuh hati lagi sama aku?”
Kali ini, Arsal menoleh dengan ekspresi datar. “Mimpi."
“Yaa kalau mimpiin suami seganteng kamu, sih, aku mau-mau aja." canda Ayra sengaja menggoda Arsal yang telinganya mulai memerah.
Arsal menghela napas, jelas tak berniat melanjutkan pembicaraan. Tapi Ayra tak berhenti di situ. Semakin Arsal enggan mengakui, semakin pula ia semangat menggoda Arsal. Suaminya itu memang sangat gengsi dalam mengakui perasaannya sendiri.
Ayra awalnya hanya berniat menggoda Arsal, tapi tiba-tiba tatapannya berubah.
Ia menatap pria itu lebih lama dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Ayra mengamati Arsal dari jarak dekat. Penampilan Arsal dengan wajah khas bangun tidurnya, terlihat berbeda. Rambut yang biasanya selalu tertata rapi kini berantakan namun terlihat semakin menarik. Apalagi dengan ekspresi seriusnya itu.
Kaos rumah berwarna gelap yang dikenakannya sedikit longgar, tapi tetap menampilkan garis otot lengannya yang jelas. Ayra yakin, lengan-lengan itu adalah bukti betapa rajinnya lelaki itu berolahraga.
Tanpa sadar, ia menelan ludah. Astaga, sejak kapan Arsal setampan ini? Mengapa ia baru menyadari hal itu?
"Kenapa?”
Suara Arsal yang terdengar datar membuat Ayra tersentak. Ia baru sadar bahwa pria itu sedang menatapnya dengan kening berkerut.
“Apanya?” Ayra buru-buru mengalihkan pandangan.
“Mata kamu kenapa nggak ngedip dari tadi?"
"Hah?!" Ayra merasa ketahuan melakukan hal buruk. Ah, itu memalukan. "Bisa kok, bisa." Ia langsung mengedipkan matanya dengan cepat.
Arsal mengangkat bahunya. Lalu menuangkan mie tersebut ke mangkuk. Setelah ia mengaduk itu, mangkuk tersebut beralih ke hadapan Ayra.
“Aaah aromanya menggoda sekali." Ayra memandang mie tersebut dengan berbinar. "Ayo duduk di sini." ajak Ayra sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.
"Nggak. Saya sudah selesai." tolak Arsal cepat.
Ayra mendengus kesal. Namun seolah tidak kehilangan akal, ia lalu turun dari kursinya dan berjalan mendekati Arsal. Tatapan tajam Arsal seolah hanyalah angin lalu bagi Ayra. Dengan santainya ia lalu menggamit lengan Arsal dan mengajak lelaki itu duduk.
"Temani aku sebentar, ya. Makan sendirian nggak enak."
Arsal tidak menjawab. Namun ia menurut ketika Ayra memintanya untuk duduk.
"Tadi itu romantis loh." kata Ayra dengan makanan yang masih ada di mulut.
"Telan dulu. Baru ngomong." sahut Arsal ketus.
Ayra tidak mengindahkan perkataan Arsal. "Tapi tadi beneran romantis. Kayak di film-film."
“Apanya?” tanya Arsal bingung.
“Perhatian kamu. Dari mulai kamu masukin jariku ke mulut kamu, terus bersihin dan nempelin plester. Itu romantis."
Arsal memutar bola matanya. "Nggak usah lebay. Saya terpaksa." jawabnya datar.
Ayra tertawa. Jelas-jelas itu alasan yang dibuat-buat. Melihat Arsal yang begitu sibuk menyangkal, Ayra justru semakin senang menggoda.
“Tapi kalau aku luka lagi kayak tadi, kamu bakal hisap lukaku lagi nggak?” tanyanya jahil.
Arsal menoleh tajam. “Saya potong sekalian buat nambahin toping." jawab Arsal dengan wajah kesal.
Alih-alih tersinggung, Ayra justru tertawa. Sementara itu, tanpa mengalihkan tatapannya pada Ayra, tanpa Arsal sadari, ia ikut tersenyum melihat respon Ayra.
berdebar dan selalu ternanti