Bercerita tentang seorang permaisuri bernama Calista Abriella, yang telah mengabdi pada kekaisaran selama 10 tahunnya lamanya. Calista begitu mencintai Kaisar dan rela melakukan apa saja untuknya, namun cinta tulus Calista tak pernah berbalas.
Sampai suatu peristiwa jatuhnya permaisuri ke kolam, membuat sifat Calista berubah. Ia tak lagi mengharap cinta kaisar dan hidup sesuai keinginannya tanpa mengikuti aturan lagi.
Kaisar yang menyadari perilaku Calista yang berbeda merasa kesal. Sosok yang selalu mengatakan cinta itu, kini selalu mengacuhkannya dan begitu dingin.
Akankah sifat Calista yang berbeda membuat kaisar semakin membencinya atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kleo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Bertemu Kaisar
Pagi yang cerah menyambut Calista, terlihat ia telah di sibukkan kembali dengan berkas-berkas di meja kerjanya. Setelah bersiap dan mengantarkan putranya kembali ke istana pangeran, Calista langsung mengerjakan semua berkas tersebut, tak ada waktu baginya untuk keluar.
Sedangkan di luar ruangannya, Calista tak tahu bahwa pertengkaran dirinya menjadi topik hangat di istana dalam semalam. Baik para pelayan dan bangsawan semua membicarakannya.
Hingga ketika pintu terbuka ketiga pelayan Calista datang menghadap sambil menunduk memberi hormat.
“Salam, Yang Mulia. Kami datang menghadap untuk menyampaikan perintah baginda,” terang Alie.
Calista menatap ketiganya, menanti perkataan yang keluar dari mulut pelayannya itu.
“Yang Mulia, baginda meminta Anda untuk segera datang ke ruang kerjanya,” lanjut Alie terbata-bata.
“Oh, Baiklah, kalau begitu Alie tolong kau pisahkan berkas penting dan undangan yang datang padaku di meja ini,” Perintah Calista yang mulai beranjak dari tempat duduknya.
Calista merapikan gaunnya, dan kembali menatap dua pelayannya yang tersisa. “Daisy kau pergilah ke dapur, siapakan makan siangku. Dan untukmu Elisha, tolong pisahkan baju-baju yang kukatakan kemarin,” Perintah Calista lagi.
Ketika ketiga pelayannya mulai melakukan tugas masing-masing, Calista pun pergi dengan santainya ke ruang kerja sang kaisar.
“Salam Yang Mulia, saya datang atas perintah Anda!” ucap Calista.
Leonardo yang tadinya sibuk mencatat mulai melirik Calista, tatapan tajamnya menatap Calista dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sosok wanita yang selalu menegakan tubuhnya dengan wajah datar tanpa ekspresi, dialah Calista yang kini berdiri di hadapan kaisar.
“Apa yang membuat Anda memanggil saya kemari, Yang Mulia?” tanya Calista lagi.
“Kau tahu apa yang terjadi sekarang? Akibat ulahmu banyak orang membicarakan peristiwa kemarin.”
“Kau seorang permaisuri Calista, seharusnya kau menjaga etikamu. Bukannya malah menyerang Selene, ikutilah aturan istana,”
“Selene dia wanita yang tak tahu menahu apa pun tentang kekaisaran. Maka seh—“
“Maka seharusnya saya menjaga sikap! Bukan begitu, Yang Mulia?” sela Calista.
“Saya tegaskan sekali lagi pada Anda, Yang Mulia. Saya seorang permaisuri di kerajaan ini, posisi saya lebih tinggi dibandingnya. Saya tidak akan tunduk pada seseorang yang posisinya lebih rendah.” Tegas Calista penuh penekanan.
“Jika tidak ada yang Anda bicarakan lagi, maka saya akan pergi. Saya tidak bisa membuang waktu lebih banyak, untuk berita tak penting!” ucap Calista lagi.
“Calista, jangan bersikap kekanakan. Aku tak suka dengan sikapmu itu, sejak kau sadar kau jadi banyak berubah!” tegur Leonardo.
“Saya tidak bersikap kekanakan, saya bersikap sesuai seperti apa orang itu memperlakukan saya.”
Untuk sejenak keheningan menguasai.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi . Saya tak ingin mengulur waktu lebih lama.” Calista berbalik dan mulai melangkah pergi, tetapi kaisar menahannya.
“Berhenti di tempatmu Calista. Aku belum menyuruhmu untuk pergi.”
Calista menghentikan langkahnya sedikit pun ia tak menengok, “Apa yang ingin Anda bicarakan lagi?”
“Aku ingin membicarakan tentang mahkota milikmu yang hancur kemarin. Aku membuatkan yang baru untukmu, Kemari dan ambillah mahkota ini,” perintah Leonardo.
“Saya tak memerlukan mahkota baru. Lagi pula mahkota yang hancur itu bukanlah mahkota resmi. Anda tak perlu menggantinya,” balas Calista sambil menekan ganggang pintu.
Melihat kepergian permaisuri, Leonardo terdiam. Dalam benaknya ia begitu kesal akan sikap Calista, tapi di sisi lain perasaannya terasa hampa ketika melihat sikap Calista yang begitu dingin dan acuh terhadapnya.
Entah mengapa ia merindukan sosok Calista yang selalu menyapa dan membawakannya teh setiap pagi. Sosok yang begitu hangat padanya, kini berganti dengan sosok dingin yang selalu memasang wajah datar.
‘Aneh, seharusnya aku senang wanita itu tak mengganggu hari-hariku lagi. Tapi mengapa rasanya begitu hampa?’ Leonardo.
“Fokuslah Leon, jangan memikirkan wanita itu,” gerutunya pada diri sendiri.
Di lorong istana, Calista bertemu dengan para pelayan yang memberi hormat padanya. Wajah mereka melukiskan ketakutan untuk menatap Calista.
“Lakukan pekerjaan kalian dengan benar,” perintah Calista.
Kata-kata singkat yang keluar dari mulut Calista begitu membuat para pelayan itu merasa segan. Entah mengapa, kata singkat dengan pembawaan yang dingin itu, lebih terasa menakutkan dari pada perkataan keras Calista dulu.
“Aku tak punya waktu untuk berbicara lebih banyak, kalian lakukanlah pekerjaan seperti yang sudah di tugaskan,” ucap Calista lagi, sambil melanjutkan langkahnya.
Saat Calista hampir sampai menuju istana putih, matanya teralih menatap sosok tak asing di taman istana. Ya, itulah putranya, Theodore yang tengah berlatih pedang bersama sang guru.
Langkah Calista pun membawanya menemui Theodore. Menyadari kehadiran permaisuri, latihan itu pun terhenti.
“Salam Yang Mulia, hormat saya pada Anda,” sapa sang pelatih yang juga seorang marquis.
“Maaf menggagu pelajaranmu marquis Carlo, silakan lanjutkan saja pelatihannya,” ucap Calista.
“Tidak, Yang Mulia. Latihan hari ini memang telah usai, Anda bisa berbincang dengan pangeran,” balas marquis Carlo.
“Terima kasih, marquis Carlo, kau banyak mengajarkan teknik berpedang pada putraku. Entah bagaimana caranya membalas kebaikanmu,”
“Tidak perlu, Yang Mulia. Mengajarkan pangeran sudah menjadi kewajiban saya,” balas marquis Carlo lagi.
Calista tersenyum sambil mengangguk, “Sepertinya wanita yang menjadi istrimu di masa depan akan sangat beruntung, memiliki suami tampan, ahli senjata, dan baik sepertimu,” puji Calista.
Pujian Calista membuat Marquis Carlo tertawa kecil, “Anda terlalu memuji, Yang Mulia. Saya tak sehebat itu,” bantah Carlo.
“Baik, Yang Mulia. Kalau begitu saya undur diri, maaf banyak mengganggu waktu Anda,” ucap Carlo sambil menunduk, dan pergi dari taman.
Calista kembali mengangguk, ia mendekat ke arah putranya. “Bagaimana latihanmu, Theo? Apa ada yang sulit?”
“Tidak, ada, Bu. Aku mengerti semua teknik yang di ajarkan marquis.”
“Bagus, putra ibu sangat padai. Ini sudah siang, apa kau sudah makan Theo?”
“Belum, Bu.”
“Nah, kalau begitu. Ayo, kita makan bersama, Theo, dan ya, jangan lupa lanjutkan ceritamu yang kemarin, ibu ingin sekali mendengar lanjutannya,”
Theodore mengangguk senang, ia segera meletakkan pedang kayunya dan menggandeng lengan Calista. Permaisuri pun membawa putranya itu ke istana putih, keduanya memutuskan untuk makan siang bersama di taman.
Calista menatap lekat Theodore yang memakan makanannya.
“Ibu kau tidak makan?” tanya Theodore.
Calista tersenyum, “Nanti, ibu masih merasa belum lapar.”
“Ibu kau kan baru sembuh, jika ibu telat makan nanti ibu jadi sakit lagi.”
“Iya, iya, ibu akan makan,” balas Calista sembari menyuap sepotong daging ke mulutnya.
“Theodore jika ibu memasakkan makanan untukmu apa kau akan memakannya?”
“Tentu saja, apa pun makanan yang ibu berikan padaku pasti akan aku makan.”
“Bahkan jika makanan ini tidak enak, kau akan tetap memakannya?”
Theodore mengangguk.
“Theodore apa kau menyukai kehidupanmu sebagai putra mahkota?”
Untuk sesaat Theodore terdiam, “Sulit untuk mengatakan tidak, walaupun aku harus melewati banyak hal karena itu, Ibu.”
“Sejak lahir aku sudah mendapatkan gelar putra mahkota, dan karenanya aku dididik untuk menjadi kaisar sempurna di masa depan, ancaman bahaya dari segala arah dan tuntutan orang-orang untuk menjadi sempurna dalam semua hal membuatku merasa lelah, ibu.”
“Putra mahkota harus begini, putra mahkota harus begitu semuanya membuatku merasa kesal, tidak adakah waktu bagiku untuk menjadi diriku sendiri?
“Tapi Ibu, aku bisa menjadi seperti yang orang-orang inginkan tentangku itu semua karenamu.”
“Kau membuat semua itu seolah tak berarti apa pun. Mungkin memang dulu ibu menunjukkan sikap tegas ibu padaku, tapi di balik semua itu ibulah yang paling memperhatikanku dari yang lain.”
“Setiap aku menunjukkan sisi lemahku, hanya ada kata-kata bahwa putra mahkota tidak boleh begini dan putra mahkota tidak boleh begitu, tapi kau berbeda kau selalu mendukungku di setiap situasi.”
Mendengar perkataan Theodore, membuat buliran air tanpa sadar jadi dari balik kelopak matanya. Betapa putranya selalu berpikiran baik tentangnya.
“Dulu ibu pernah meracunimu hanya karena rasa iri, apa kau tidak membenci ibumu ini, Theodore?”
Theodore menggeleng, “Aku tidak bisa membencimu ibu,”
Air mata Calista keluar semakin deras, membuat putranya yang melihat itu pun Khawatir.
“Ibu jangan menangis, jika kau menangis aku juga ikut menangis,” ucap Theodore sembari menghapus air mata sang ibu.
Aku adalah ibu yang paling bodoh, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri atas apa yang kulakukan padamu. Calista.
sblmnya aku mendukung Aaron, skrg males banget