Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Heboh Heboh Heboh
Desi turun dari mobil dengan anggun, kacamata hitam besar bertengger di hidungnya. Tubuh mungilnya dibalut outfit kasual—hoodie oversized dan sneakers putih, membuatnya terlihat seperti remaja SMA yang sedang menikmati liburannya. Langkahnya ringan, namun aura percaya diri terpancar jelas dari wajahnya.
Ia melangkah menuju lantai atas sebuah mall megah, tujuannya jelas: toko ponsel terbaru yang menyediakan gadget impian banyak orang. Begitu memasuki toko, suasana langsung berubah. Karyawan toko yang sedang sibuk melayani pelanggan segera menoleh ke arah Desi, takjub dengan kehadirannya yang mencolok meski sederhana.
“Selamat siang, Kak! Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang karyawan perempuan dengan ramah, tersenyum lebar.
Desi hanya melirik sekilas, lalu mengangguk kecil. “Aku mau lihat ponsel terbaru,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.
“Oh, tentu! Mari ke sini, Kak!” ujar karyawan itu, mengarahkannya ke etalase yang penuh dengan ponsel mewah.
Karyawan lain, seorang pria muda, mendekat untuk membantu. “Adik mau lihat tipe yang mana? Ini ada seri terbaru yang lagi hits banget, kameranya canggih, RAM besar, baterai tahan lama...”
Desi hanya mengangguk sambil melihat-lihat. Ia menunjuk salah satu ponsel flagship dengan harga selangit. “Yang ini ada stoknya?” tanyanya singkat.
Karyawan pria itu tampak sedikit ragu. Ia mengamati Desi dari ujung kepala hingga kaki, memperhatikan hoodie oversized dan sneakers putihnya yang terlihat biasa saja. Namun, ia segera tersenyum lagi, mencoba profesional. “Ada, Kak! Tunggu sebentar, ya. Saya ambilkan di gudang.”
Sementara itu, karyawan perempuan tadi melirik Desi dengan penasaran. Ia memandang rekan kerjanya, lalu berbisik pelan. “Eh, dia itu beneran mau beli, nggak, ya? Kok kayak masih anak SMA gitu, ya?”
“Iya, kayaknya anak sekolahan deh. Tapi gayanya pede banget, sih. Siapa tahu emang sultan,” jawab rekannya sambil mengangkat bahu.
Tak lama, ponsel yang diminta Desi pun dibawa keluar dari gudang. Karyawan pria itu tersenyum lebar. “Ini dia, Kak! Unitnya baru banget, masih segel. Mau dicek dulu?”
Desi mengangguk. “Iya, buka aja,” ucapnya singkat.
Karyawan itu dengan cekatan membuka segel ponsel, menunjukkan setiap detail spesifikasinya. Ia menjelaskan fitur-fitur terbaru dengan antusias, sementara Desi hanya mengangguk-angguk tanpa banyak bicara.
“Gimana, Kak? Mau langsung diaktifkan di sini, atau nanti aja?” tanya karyawan itu.
Desi mengeluarkan dompet kecilnya, lalu menarik sebuah kartu kredit berwarna hitam dari dalamnya. Ia meletakkannya di atas meja kasir tanpa berkata apa-apa.
Karyawan perempuan tadi langsung terbelalak. “Wah, kartu hitam?! Serius, Kak?”
Rekan prianya juga tampak kaget. “Waduh, anak SMA sekarang udah pegang kartu hitam, ya? Sultan banget...” bisiknya, setengah bercanda.
Desi yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum tipis. “Cepat proses aja, aku buru-buru,” katanya datar.
Dengan sigap, karyawan itu memproses pembayaran. Namun, rasa penasaran mereka semakin menjadi-jadi. Bagaimana mungkin seorang gadis mungil seperti Desi bisa memiliki kartu eksklusif yang hanya dimiliki oleh kalangan atas?
Saat pembayaran selesai, karyawan perempuan tadi tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Adik sekolah di mana, ya? Kok keren banget, sih?”
Desi berhenti sejenak, menatap karyawan itu dengan alis terangkat. Kemudian, tanpa diduga, ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang jernih memenuhi ruangan, membuat semua orang di toko, termasuk para pengunjung, menoleh.
“Hahaha! Sekolah? Serius, mas dan mbk pikir aku masih sekolah?” tanyanya di sela-sela tawanya.
Karyawan itu tampak bingung. “I-iya... maaf, Kak. Tapi... kelihatannya masih SMA, sih. Maaf banget kalau salah sangka...”
Desi mengibaskan tangan. “Sudah, nggak apa-apa. Tapi aku kasih tahu ya, aku ini sudah menikah. Umurku 25 tahun, Mbak.”
Karyawan itu membelalakkan mata. “Hah?! 25 tahun? Serius?!”
Rekan-rekannya juga saling melirik, tak percaya. Salah satu dari mereka bergumam pelan. “Astaga, kelihatan kayak anak SMA. Perawakannya kecil banget, imut lagi...”
Desi mengangkat bahu, tersenyum santai. “Outfitku mendukung, kan? Jadi wajar kalau kalian salah sangka.”
Karyawan perempuan itu segera membungkuk sedikit. “Maaf banget, Kak. Saya beneran nggak nyangka... Umurnya jauh banget dari yang saya kira.”
Desi tertawa lagi. “Santai aja, aku nggak ambil hati kok. Lagian, aku juga sering dikira anak SMA. Sudah biasa.”
Setelah menerima ponsel barunya, Desi melangkah keluar dari toko dengan penuh percaya diri. Namun, di dalam toko, percakapan tentangnya masih berlanjut.
“Gila, sultan banget dia. Kartu hitam, loh!” ujar karyawan pria tadi, masih terkesima.
“Dan dia bilang sudah menikah? Astaga, kalau suaminya kaya raya, nggak heran dia bisa beli ponsel semahal itu kayak beli kacang goreng,” tambah karyawan perempuan.
“Iya, tapi perawakannya benar-benar menipu, ya. Imut banget, kayak anak SMA.”
Sementara itu, Desi melanjutkan langkahnya dengan santai, seolah tak peduli dengan kehebohan yang ia tinggalkan di belakang.
Desi melangkah dengan percaya diri menuju lantai bawah, tepatnya ke sebuah toko skincare dan kosmetik mewah. Langkahnya ringan, namun mata tajamnya fokus mencari produk-produk yang ia butuhkan. Toko tersebut penuh dengan rak-rak berisi produk eksklusif yang harganya bisa membuat dompet menangis.
Begitu Desi masuk, semua mata tertuju padanya. Dengan tubuh mungilnya yang dibalut hoodie oversized dan wajah tanpa makeup, Desi terlihat seperti remaja SMA yang hanya sekadar ingin "lihat-lihat".
“Selamat siang, Kak. Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” seorang pegawai perempuan menyapanya dengan ramah.
Desi mengangguk kecil. “Aku mau lihat skincare dan kosmetik premium,” ucapnya tanpa basa-basi.
“Oh, tentu, Kak. Silakan ke sini, produk-produk terbaru kami ada di bagian ini,” jawab pegawai itu sambil mengarahkan Desi ke rak khusus.
Saat Desi mulai memilih produk, bisik-bisik mulai terdengar dari pelanggan lain yang ada di toko.
“Eh, itu anak SMA ya? Kok masuk toko mahal begini?” bisik seorang perempuan yang berdiri di dekat pintu.
“Iya, liat tuh, bajunya biasa aja. Mungkin cuma mau lihat-lihat,” jawab temannya, sambil melirik ke arah Desi.
Sementara itu, Desi tetap fokus memilih. Tangannya terampil memeriksa label dan kandungan produk. Dengan tenang, ia memasukkan satu per satu barang ke dalam keranjang belanjaannya. Ada serum, toner, pelembap, foundation, dan berbagai alat makeup lainnya.
Seorang pegawai lain menghampiri Desi. “Adik cari produk untuk apa, ya? Kulit remaja biasanya nggak perlu terlalu berat, lho.”
Desi menoleh, sedikit mengernyit. “Aku tahu apa yang aku butuhkan. Aku mau skincare yang ini dan kosmetik dari seri premium itu,” ujarnya sambil menunjuk ke rak lain.
Pegawai itu tampak ragu sejenak. “Oh, baik, Kak. Tapi... ini harganya lumayan, lho. Mau dicek dulu?” tanyanya hati-hati.
Desi tersenyum tipis. “Aku tahu harganya. Cepat ambilkan, ya.”
Pegawai itu segera bergerak, meskipun dalam hati ia merasa heran. “Anak ini yakin banget belanja di sini. Jangan-jangan dia cuma bercanda,” gumamnya pelan.
Bisik-bisik pelanggan semakin ramai saat melihat keranjang Desi yang kini penuh dengan produk mahal.
“Astaga, lihat itu. Barang-barangnya premium semua!”
“Iya, tapi apa dia benar mau beli? Jangan-jangan cuma gaya.”
Desi tak mempedulikan bisik-bisik itu. Setelah merasa cukup, ia berjalan ke meja kasir. Keranjang belanjaannya yang penuh membuat karyawan kasir menelan ludah.
“Totalnya... Rp98 juta, Kak. Mau bayar pakai apa?” tanya kasir dengan nada sopan namun penuh keraguan.
Desi mengeluarkan kartu kredit hitamnya dan meletakkannya di meja kasir. Seketika, suasana berubah menjadi hening. Semua pegawai dan pelanggan terkejut melihat kartu itu.
“Kartu hitam?! Serius, Kak?” tanya kasir dengan mata membelalak.
Desi hanya mengangguk kecil. “Cepat proses aja. Aku buru-buru,” ucapnya singkat.
Pegawai di belakang kasir berbisik pelan. “Gila, kartu hitam! Anak ini siapa, ya? Sultan banget.”
“Iya, kok bisa anak kecil punya kartu sekelas itu?” tambah rekannya.
Ketika pembayaran selesai, kasir menyerahkan kantong belanjaan Desi dengan penuh hormat. “Terima kasih banyak, Kak. Semoga produknya cocok, ya.”
Desi mengangguk dan mulai melangkah pergi. Namun, seorang pegawai perempuan memberanikan diri bertanya.
“Eh, Kak... maaf, Kakak sekolah di mana, ya? Aku punya banyak keponakan yang masih sekolah juga. Mungkin kakak kenal. Keponakanku ganteng dan terkenal disekolah nya.”
Desi berhenti sejenak. Ia menoleh, menatap pegawai itu dengan alis terangkat. Kemudian, seperti di toko ponsel sebelumnya, ia tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha! kenapa kalian suka sekali bertanya aku sekolah dimana.” tanyanya, sambil memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
Pegawai itu tersenyum kikuk. “I-iya, maaf, Kak. Apakah kakak bukan masih pelajar ya?”
Desi tersenyum tipis. “Umurku 25 tahun mbk dan Aku sudah menikah.”
Mata pegawai itu langsung melebar. “Serius, Kak? Astaga, maaf banget! Soalnya Kakak kelihatan kecil dan imut banget, sih. Muda lagi. Hehehehe.”
“Hahaha, aku sering dikira anak SMA. Sudah biasa. Tapi terima kasih, ya. Setidaknya aku kelihatan awet muda,” ucap Desi sambil tersenyum.
Pegawai lainnya ikut nimbrung. “Wah, Kakak ini nggak cuma awet muda, tapi juga tajir banget. Bayar belanjaan puluhan juta pakai kartu hitam? Keren banget!”
Desi hanya mengangkat bahu. “Itu biasa aja, kok. Hidup memang harus dinikmati, kan?” katanya sebelum melangkah keluar dari toko.
Begitu Desi pergi, kehebohan masih berlanjut di dalam toko.
“Gila, 25 tahun tapi kelihatan kayak anak SMA. Imut banget lagi,” ujar salah satu pelanggan.
“Iya, jelas, perawatannya gak kaleng kaleng pasti. Lihat belanja ini aja dah hampir 100 jutaan, apalagi perawatannya. Dan dia bilang uang segitu biasa saja! Gial sih.” tambah yang lain.
Sementara itu, Desi berjalan santai meninggalkan toko dengan kantong belanjaan di tangannya dengan nama merek ternama. Ia tidak peduli dengan bisik-bisik yang terus membicarakannya. Baginya, hari ini adalah waktunya bersenang-senang, memanjakan diri.
temen-temen si Bima diundang gak itu???
biar pada tau bagaimana komandan Damkar mereka.. apalagi wanita yg di nikahi nya itu adalah wanita yg lebih dia tolong daripada istri yg sedang hamil anaknya dan membutuhkan pertolongan nya... hingga sang anak tak terselamatkan 🤨🤨🤨
semangat,,,, 💪