Reno, adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Papanya memiliki jabatan yang tinggi di suatu instansi pemerintah dan mamanya seorang pengacara terkenal, kakanya jebolan sekolah kedinasan yang melahirkan Intel negara. Sementara dia anak tengah yang selalu dibanding-bandingkan dengan kesuksesan sang Kaka, berprofesi sebagai TNI berpangkat Bintara. Tapi Reno adalah anak yang penurut dan paling berbakti pada kedua orangtuanya.
Keinginannya menjadi seorang TNI karena kejadian luar biasa yang mempertemukan dirinya dengan sosok yang sangat dia kagumi, sosok idola yang merubah hidup dan cara pandangnya.
Hingga pada suatu hari takdir mempertemukan Reno dengan Kanaya yang membantu cita-citanya menjadi seorang TNI terwujud.
Kanaya menemani Reno dari nol karena Reno tidak mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.
Apakah cinta kasih Reno dan Kanaya akan berlanjut ke pelaminan, atau Kanaya hanya dimanfaatkan Reno saja untuk mencapai cita-citanya?
Yuks ikuti kisah Reno di Cinta Bintara Rema
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Suara hati kecil
Happy Reading ... 🩷
POV RENO
Ada suara lirih sedikit bergetar menyapa indera pendengaran ku, di saat kecamuk perasaan dan pikiran yang saling bertanya, mengapa? Kenapa harus keluargaku?
Suara itu terdengar lagi disertai isakan yang tertahan. Apa aku sudah di alam mimpi?
Tapi suara itu semakin mendekat, ada langkah yang diseret ragu, atau langkah yang gemetar?
Aku membuka mataku yang sudah ditutupi lengan lelahku.
"mas ... " aku tersentak, "Lalita!" Aku menoleh ke arah suara. Sontak aku terduduk dengan tatapan nanar. Entah mengapa hatiku begitu sesak, kala rintihannya kian keras saat kakiku mendekat.
Ya Tuhan! Aku terlalu sibuk mengemas perasaan sedihku, sendiri. Melerai benang kusut yang entah sejak kapan terpintal menjadi gulungan tanpa ujung. Aku melupakan hati kecil yang juga terluka karena pertengkaran kedua orangtuaku. Aku memeluk tubuh lalita yang sudah gemetar menahan tangisan.
"Mas ... aku takut" lirihnya
"tenang, ada mas ... " jawabku ragu
Aku tertegun dengan ucapanku sendiri, bagaimana bisa aku mengulang kata-kata Naomi yang pada akhirnya hanya menjadi ucapan semu. Tapi aku tidak punya kata-kata lain selain itu. Aku merutuki diriku sendiri, karena aku tidak akan selamanya selalu ada di sisi adikku.
Sosok kecil ini yang lebih dulu menyaksikan pertengkaran kedua orang tuaku. Sosok kecil ini yang akan lebih dulu mendengar kata-kata saling menghakimi.
Mereka kedua orangtuaku, bagaimana kami harus memihak?
Aku dan Lalita hanya berangkulan sampai pagi, sampai diantara kami lebih dulu menjemput mimpi.
POV end__
...***...
*
Pagi hari, Reno turun ke lantai bawah setelah membantu Lalita mengemas peralatan sekolah dan membuat kepang dua di kepalanya. Reno berusaha menarik bibirnya membentuk lengkungan ke atas. Dan mengelus lembut kepala Lalita.
Mereka tertegun di depan meja makan yang kosong melompong, tidak ada sarapan dan teh atau susu hangat tersaji di sana. Wajah Lalita kembali mendung. Wajahnya tertunduk dengan bahu merosot. Reno tidak kuasa melihat kesedihan adiknya itu.
"Adek mau sarapan apa, biar mas yang buatin," serunya sambil melepaskan tas dari punggungnya.
"Omelet sama kentang goreng aja mas" serunya dengan mata berbinar
"Oke tuan putri!" puji Reno sambil membukakan kursi untuk Lalita duduk.
Lalita tersenyum melihat Reno sibuk membuat omelet yang terlihat sedikit gagal.
"Mas gak bisa bikin omelet seenak buatan mama, tapi mas buatnya dengan Saranghae" Reno mengeluarkan jarinya yang berbentuk love dari balik punggungnya.
Setelah mengantar Lalita ke sekolah dengan memakai motor pinjaman pak Sandi, Reno langsung berangkat ke sekolah. Jalanan Senin pagi seperti biasa, lebih padat, telat sedikit akan terjebak macet di beberapa titik.
Sambil mengelap keringat yang membanjiri keningnya, Reno menoleh ke kiri, ada sebuah cafe yang menjual kopi dan breakfast. Ada pemandangan yang membuatnya tertegun, Pajero mamanya sudah terparkir di sana sepagi ini.
"Apa mama ketemuan dengan klien?" gumamnya.
Dan satu lagi mobil terparkir di sana, mobil ber-flat dinas sepertinya mobil itu dia kenali. Namun Reno ragu, tidak mungkin pak Sandi ada di wilayah ini, sepagi ini." mungkin mirip" lirihnya.
Reno melajukan lagi motornya setelah mendapatkan klakson dari beberapa pengendara yang tidak sabar ingin saling mendahului.
*
*
Dari kejauhan Reno melihat Naomi yang baru saja turun dari boncengan motor Dilan. Mata membulat melihat kehadiran Reno dengan motor sport terbarunya. Di depan Dilan, Gadis itu seolah-olah tidak mengenal Reno. Dia hanya melihat Reno dari ekor matanya. Reno pun tidak peduli lagi, lelaki itu berjalan melewati sepasang sejoli yang sedang bermesraan.
"Ren, tugas bahasa kelompok kita tinggal kamu yang belum ngumpulin." ujar Calista yang datang menghampiri Reno dan jalan beriringan.
"Udah aku buat, Ca. Nih ... " Reno memberikan lembaran HVS dari tugas bahasa
"Aku pikir kamu akan menghambat kelompok kita." gurau Calista
"Engga dong, Ca. aku gak pernah mengabaikan tugas" Reno mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum.
Keakraban Reno dan Calista membuat Naomi yang berjalan di belakangnya menjadi geram. Matanya memandang Calista dengan sinis saat Calista berbelok arah ke toilet. Naomi segera mengikuti Calista.
"Sejak kapan lo deket sama Reno?" tanya Naomi sambil menarik kerah Calista
"Oyy ... Santai Naomi! apa hak lo marah begini, emang lo siapanya Reno?" Calista mendorong tubuh Naomi dan memberi jarak
"Reno ... " Naomi kehabisan kata-kata, dia bingung menjelaskannya. Orang-orang terlanjur tahu kalau Naomi sudah putus dengan Reno dan menjadi pacar Dilan
"Gak bisa jawab kan lo! Kali ini kayaknya lo gak bisa balikan sama Reno deh, ternyata jauh dari lo, Reno makin mempesona." Calista mendorong pundak kanan Naomi dengan bahunya.
Naomi mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, wajahnya terlihat geram dengan ucapan Calista, teman SMP nya dan juga mantan sahabat Naomi itu kini terang-terangan mendekati Reno dan berani melawannya.
"Kurang ajar kau Ca, lihat saja Reno akan minta balikan sama gue." geram Naomi
Reno masih di lapangan basket saat Naomi dan Dilan berjalan ke arah warung bude untuk menghabiskan jam istirahat. Prediksi Naomi salah jika berpikir Reno sedang main game dan duduk di pojokan warung.
Ternyata cowo itu sedang menebarkan pesonanya pada gadis-gadis yang sengaja menonton sparing basket antara kelas MIPA dan IPS. Otot-otot Reno yang menonjol di lengan menambah daya tarik bagi kaum hawa.
"Anak MIPA itu ganteng banget sih!" ujar seorang gadis dari kelas IPS yang juga satu kelas dengan Naomi
Sparing selesai, kaum hawa yang tergila-gila dengan Reno segera mendekati dengan berbagai cara, ada yang memberi minuman dingin, ada yang menawarkan handuk untuk menyeka keringat ada juga yang dengan sengaja berfoto dengan Reno. Naomi semakin geram melihatnya.
"Semudah itu lo move on dari gue, Ren!" sesal Naomi
Reno menarik diri dari kerumunan para gadis dengan senyuman manis dan lambaian tangan, Reno merasa sudah puas melampiaskan amarahnya dengan cara ber-olahraga, dia butuh ruang menyendiri lagi.
Orang lain tidak perlu tahu betapa hatinya saat ini sedang remuk dengan pertengkaran mama papanya. Reno melangkah dengan kaki panjangnya ke arah toilet untuk membersihkan diri dari keringat yang membanjiri kaos dan celana boxernya.
Di depan cermin dia tampakkan wajah sedih dan kecewanya, bibirnya bergetar lagi menahan Isak yang ternyata belum juga mereda, dia takut jika orangtuanya memutuskan untuk berpisah. Ketakutan itu begitu menghantui, apalagi jika keduanya menyuruh untuk memilih diantara mereka, ikut papa atau mama.
Bagi Reno, kedua orangtuanya tidak memiliki kekuatan untuk dijadikan sandaran. Papanya yang memiliki dunia sendiri dengan selingkuhannya, dan sang mama yang gila kerja tanpa peduli anak-anaknya butuh perhatian.
Reno bermonolog;
Cukup kalian ada di rumah tanpa keributan dan kata perpisahan.
Cinta di masa dewasa apa memang sesulit itu ya? Hingga kalian asing dalam satu ikatan.
Bukankah kesempurnaan yang selalu kalian tuntut dari kami, anak-anakmu, Pa, Ma. Kami kurang ini, kami kurang itu! Kami harus melampaui ini dan itu. Seolah sempurna adalah syarat untuk diterima dunia.
Lantas, apakah kalian hasil dari kesempurnaan itu?
Jika kalian sesempurna itu, kenapa membuat hati kecil kami kosong, kenapa kesuksesan yang kalian bangun membuat kalian semakin memberi jarak satu sama lain, kenapa?
Aku jadi berpikir lagi, apa perlunya kami menjadi orang sukses jika kesempurnaan dan kesuksesan itu bagaikan tembok dingin yang mengurung jiwa-jiwa kecil seperti kami, seorang bocah yang hanya butuh pelukan.
Kami hanya ingin dianggap ada, bukan bayang-bayang yang bisa kalian lupakan, bukan beban yang tidak kalian inginkan.
Di hati kami ada retak yang tak kasat mata, ada cahaya kecil yang tidak kunjung padam, meskipun kalian menutup mata ... Cahaya kecil itu selalu hidup, meskipun suara hati kami kalian redam dengan semua kata tajam berupa bentakan, suara lirih kami tetap berkata, kami mencintai kalian yang harus kuanggap orangtua.
Jangan matikan cahaya kecil kami dengan tiupan angin perpisahan. Bisakah?
Reno menghilangkan jejak airmatanya dengan basuhan air dingin dari kran. Menepuk-nepuk wajah tampannya sebentar dengan membubuhi cologne, Lalu melenggang keluar toilet setelah berganti seragam.
"Ren! Semudah itu lo move on dari gue." Ucap Naomi di balik punggung Reno
Reno memutar kelapanya sedikit hingga sejajar bahu, melihat wajah Naomi dari ujung matanya.
"Bukannya lo yang lebih dulu ngelupain gue? Lanjutin aja Nom, selingkuh kok nanggung. Gue udah relain lo." ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Dasar cewe problematik!!" gerutu Reno
***
"Kenapa mukamu wuaseem begitu, Le. Ada masalah?" tanya Sandi saat Reno datang ke mess-nya.
"Aku males pulang pak, papa mama lagi berantem" dengan wajah tertunduk dia curahkan isi hatinya
"Aku tadi bertemu mamamu, Le" ucap Sandi santai, namun membuat Reno membelalakkan mata. Dan mencari penjelasan lebih.
Sandi menghembuskan napasnya kasar, lalu menepuk punggung Reno.
"Kami memang teman lama, Ren. Tujuan mamamu menemuiku mengenai motor pinjaman dariku. Tapi aku menemukan fakta kalau semalam mamamu baru saja menerima KDRT dari papamu, aku membawanya ke rumah sakit karena memarnya cukup parah, aku kuatir akan meradang kalau tidak segera di obati." ujar Sandi menjelaskan.
"Terus sekarang mama gimana pak?"
"Sudah pulang, tidak perlu dikhawatirkan, mamamu kuat dan aku banyak menasehati"
"Bagaimana jika mereka bercerai?" lirih Reno
"Cinta tidak bisa dipaksakan, Ren. Daripada saling menyakiti demi mencari indeks kebahagiaan masing-masing"
"Kami hanya ingin mereka ada setiap hari tanpa kami harus memilih ikut salahsatunya pak"
"Jika harus demikian, pilih mamamu. Kamu anak laki-laki yang harus melindunginya, dibalik kekerasan hati dan sikapnya, ada jiwa rapuh di dalam dirinya. Dia juga kering kasih sayang dari orangtua sejak kecil hingga berumah tangga. Aku mengenal mamamu yang yatim piatu, tinggal di rumah pakdenya yang menjadi kakek nenekmu sekarang. Dia menikah hanya untuk membalas budi. Dia tidak dicintai keluarga angkatnya juga suaminya, yaitu papamu." mata Sandi menatap jauh ke depan seakan ada kenangan yang menari di pelupuk matanya.
"Andai saja saat itu aku bukan lelaki miskin, mungkin aku yang akan menjadi pendamping hidupnya" lirih batin Sandi.
"Ini sesuatu yang berat bagiku, pak"
"Bapak tahu, Ren. Tapi harapan seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Kamu harus belajar itu, agar tidak selalu mempertentangkan keputusan takdir dengan kata mengapa dan kenapa, Ikhlas ... Memang sulit. Tapi kalau kita pasrah, Tuhan akan memberi jalan yang terbaik." Ucap Sandi sambil menatap wajah pemuda yang terlihat menyembunyikan airmatanya.
"Aku pulang pak untuk lihat keadaan mama" pamit Reno
Sandi merangkul punggung pemuda yang terlihat ringkih itu, dia tahu Reno anak baik dan penyayang.
...☘️☘️☘️☘️☘️...