No action
No romansa
Masuk ke dalam novel❎
Melompati waktu karena penyesalan dan balas dendam ❎
Orang stress baru bangun✅
*****
Ini bukan kisah tentang seorang remaja di dunia modern, ini kisah pangeran tidur di dunia fantasi yang terlahir kembali saat ia tertidur, ia terlahir di dunia lain, lalu kembali bangun di dunianya.
-----------------
"Aku tidak ingin di juluki pangeran tidur! Aku tidak tidur! Kau tau itu?! Aku tidak bisa bangun karena aku berada di dunia lain!" -Lucas Ermintrude
******
Lucas tidak terima dengan julukan yang di berikan oleh penulis novel tanpa judul yang sering ia baca di dunia modern, ia juga tidak ingin mati di castil tua sendirian, dan ia juga tidak mau Bunda nya meninggal.
-------------------
"Ayah aku ingin melepaskan gelar bangsawan ku, aku ingin bebas."-Lucas Ermintrude
"Tentu saja, tidak."-Erick Hans Ermintrude
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lucapen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Lucas merasa jengah dengan penjelasan panjang lebar ayahnya. Hukum kekaisaran terlalu membelit. Jika ia tetap bertahan, ia akan terus terkurung di istana ini. Namun, jika ia melawan, mungkin nasibnya akan lebih buruk.
Lucas berdecak pelan, menghindari tatapan Erick. “Ayah, kalau begitu… apa sebenarnya yang harus aku lakukan?”
Erick menatap putranya dengan ekspresi datar. “Lakukan apa yang biasa kamu lakukan. Bermalas-malasan, berpura-pura gila, atau sesekali membuat masalah kecil. Tidak ada yang peduli.”
Lucas tersentak mendengar nada dingin ayahnya. Seolah-olah keberadaannya sama sekali tidak penting di mata sang kaisar. Erick melangkah menuju pintu, tetapi sebelum keluar, ia berhenti dan menoleh.
“Oh, satu lagi. Aku telah memperkerjakan seorang pelayan untuk menemanimu. Dia akan masuk besok pagi,” ucap Erick singkat sebelum meninggalkan ruangan.
Lucas menatap pintu yang tertutup rapat. “Pelayan baru? Untuk apa? Aku bahkan tidak butuh mereka.”
Keesokan harinya.
Lucas baru saja bangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya terbuka. Seorang pemuda dengan seragam pelayan masuk dengan langkah tenang. Usianya tampak tidak jauh berbeda dari Lucas, dengan rambut cokelat pendek dan mata biru tajam.
“Selamat pagi, Pangeran Lucas,” ucapnya sambil membungkukkan badan dengan sopan.
Lucas menatap pemuda itu dengan malas. “Siapa kau?”
“Saya Liam, Yang Mulia. Kaisar Erick memperkerjakan saya untuk menjadi pelayan pribadi Anda,” jawab Liam dengan suara tenang namun tegas.
Lucas mendengus kecil. “Aku tidak butuh pelayan.”
“Namun, Yang Mulia membutuhkan pendamping, terutama mengingat insiden-insiden sebelumnya,” balas Liam tanpa menunjukkan emosi.
Lucas menatap Liam tajam, merasa terganggu dengan sikap pemuda itu yang terlalu percaya diri. “Apa maksudmu dengan ‘insiden’? Jangan bilang kau juga berpikir aku gila.”
“Saya tidak memiliki hak untuk menilai Anda, Yang Mulia. Tugas saya hanya memastikan Anda aman dan nyaman,” jawab Liam dengan nada datar.
Lucas mendesah panjang, menyerah pada kenyataan bahwa ia tidak bisa menolak keputusan ayahnya. “Baiklah, lakukan apa pun yang kau mau. Tapi jangan ganggu aku.”
“Dimengerti, Yang Mulia.” Liam berdiri tegak di sudut ruangan, menunggu perintah lebih lanjut.
Hari-hari berikutnya
Liam ternyata lebih dari sekadar pelayan biasa. Ia cerdas, tangkas, dan tampaknya sangat memahami sifat Lucas yang sulit diatur. Tanpa banyak bicara, ia mulai menyesuaikan diri dengan kebiasaan Lucas, bahkan membantunya dalam hal-hal kecil yang sering diabaikan oleh pelayan sebelumnya.
Awalnya, Lucas merasa terganggu dengan kehadiran Liam yang selalu mengawasinya, tetapi perlahan ia mulai terbiasa.
Suatu sore, Lucas duduk di balkon kamarnya, memandangi halaman istana yang luas. Liam berdiri di dekat pintu, menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok.
“Kau selalu diam saja, Liam. Tidak bosan hanya berdiri di sana sepanjang waktu?” tanya Lucas tiba-tiba.
“Saya tidak dipekerjakan untuk bersantai, Yang Mulia,” jawab Liam sambil tersenyum tipis.
Lucas mengangkat alis. “Apa kau selalu seserius ini?”
Liam menatap Lucas sejenak sebelum menjawab. “Saya hanya berusaha menjalankan tugas saya dengan baik.”
Lucas mendengus kecil. “Baiklah, kalau begitu, ceritakan sesuatu tentang dirimu. Aku tidak suka punya pelayan yang seperti bayangan—selalu ada tapi tidak pernah berbicara.”
Liam terlihat ragu sejenak, tetapi kemudian ia mulai bicara. “Saya berasal dari desa kecil di utara kekaisaran. Keluarga saya bekerja sebagai pengrajin. Saya diterima bekerja di istana setelah mengikuti pelatihan selama beberapa tahun.”
“Jadi, kau dari rakyat biasa?” tanya Lucas, tampak lebih tertarik.
“Benar, Yang Mulia,” jawab Liam.
Lucas terdiam sejenak, memikirkan sesuatu. “Pasti aneh bagimu bekerja untuk seorang pangeran yang dianggap gila.”
Liam tersenyum tipis. “Saya tidak peduli apa yang orang lain katakan, Yang Mulia. Yang saya tahu, tugas saya adalah melayani Anda, dan itu yang akan saya lakukan.”
Lucas menatap Liam, mencoba mencari jejak penghinaan atau ejekan di wajahnya, tetapi ia tidak menemukan apa pun selain ketulusan.
Malam Festival.
Beberapa minggu setelah Liam mulai bekerja, ia dan Lucas mulai menjalin hubungan yang lebih akrab, meskipun Lucas tetap sulit ditebak. Suatu malam, Liam masuk ke kamar Lucas dengan wajah serius.
“Yang Mulia, ada festival besar di kota minggu depan. Apakah Anda tertarik untuk menghadirinya?” tanya Liam.
Lucas menatap Liam dengan ekspresi bingung. “Festival? Untuk apa aku pergi ke sana?”
“Kadang-kadang, keluar dari istana bisa membantu Anda merasa lebih bebas,” jawab Liam.
Lucas terdiam, memikirkan usulan itu. “Ayah dan Bunda tidak akan mengizinkan.”
“Itu sebabnya kita tidak akan meminta izin,” jawab Liam sambil tersenyum kecil.
Lucas terkejut dengan sikap berani Liam, tetapi di sisi lain, ia merasa tertarik dengan ide itu.
“Kau yakin kita bisa pergi tanpa ketahuan?” tanya Lucas akhirnya.
“Saya sudah mempersiapkan semuanya, Yang Mulia. Ada lorong rahasia di sisi timur istana yang bisa kita gunakan,” jawab Liam.
Lucas mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi jika kita tertangkap, aku akan menyalahkanmu.”
“Saya siap menanggung risikonya,” balas Liam dengan percaya diri.
Malam Festival
Lucas dan Liam berhasil menyelinap keluar dari istana menggunakan lorong rahasia yang Liam sebutkan. Mereka mengenakan pakaian sederhana agar tidak mencolok di tengah keramaian.
Saat tiba di kota, Lucas tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jalan-jalan dipenuhi lampu-lampu berwarna-warni, suara musik mengalun di udara, dan orang-orang terlihat begitu bahagia.
“Ini luar biasa,” gumam Lucas sambil tersenyum kecil.
Liam tersenyum di sebelahnya. “Mari kita jelajahi festival ini, Yang Mulia.”
Mereka mencoba berbagai permainan, mencicipi makanan jalanan, dan bahkan menonton pertunjukan seni. Lucas merasa seperti burung yang baru saja dilepaskan dari sangkar emasnya.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Lucas merasa seseorang mengawasinya. Ia menoleh ke segala arah, tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.
“Liam, aku merasa ada yang aneh,” bisik Lucas.
Liam segera siaga, melirik ke sekeliling dengan waspada. “Saya juga merasakannya, Yang Mulia. Kita harus pergi sekarang.”
Sebelum mereka sempat bergerak, sekelompok pria berbadan besar mendekati mereka. Salah satu dari mereka tersenyum licik. “Hei, anak-anak. Sedang apa kalian di sini?”
Lucas dan Liam saling bertukar pandang, menyadari bahaya yang mengintai.
“Kami hanya jalan-jalan,” jawab Liam dengan nada tenang, mencoba meredakan situasi.
Pria itu mendekat, menatap mereka dengan mata tajam. “Kalian terlihat tidak seperti anak-anak biasa. Dari mana kalian berasal?”
Lucas tahu mereka dalam masalah. Ia mencoba mencari cara untuk melarikan diri, tetapi pria-pria itu sudah mengepung mereka.
“Yang Mulia, lari!” teriak Liam tiba-tiba.
Keduanya mencoba kabur, tetapi salah satu pria berhasil menangkap Liam. Lucas berhenti, berbalik, dan melihat Liam meronta-ronta di bawah cengkeraman pria itu.
“Lepaskan dia!” teriak Lucas marah.
Pria itu tertawa. “Jadi kau ingin bermain pahlawan, ya?”
Lucas meraih batu dari tanah dan melemparkannya ke arah pria itu. Batu itu mengenai wajahnya, membuatnya mengumpat kesakitan. Liam berhasil melepaskan diri, dan keduanya berlari secepat mungkin.
Setelah berhasil bersembunyi di gang kecil, napas mereka terengah-engah.
“Liam, ini ide terburuk yang pernah aku dengar,” kata Lucas dengan wajah pucat.
“Maaf, Yang Mulia. Saya tidak menyangka akan ada masalah seperti ini,” jawab Liam sambil mengatur napas.
“Kita harus kembali ke istana,” ujar Lucas. “Aku tidak mau mati di sini.”
[TBC]