Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 6 ~
"Mas" panggilku meski agak sedikit ragu.
Mas Bima menoleh, sempat menghentikan gerakannya sejenak saat mengaduk minuman di dalam gelas.
"Ada apa?"
Aku tidak tahu kenapa setiap kali berhadapan dengannya, jantungku melompat-lompat seperti bola bekel. Aku bahkan kesulitan mengambil napas karena saking cepatnya detakan itu.
"Ada apa?" Ulang mas Bima seraya berbalik, lalu melangkah ke arahku sambil membawa minuman bervitamin di tangan kanannya.
Ruang makan kami memang menyatu dengan dapur.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Mas Bima tak langsung menjawab, dia diam beberapa saat sebelum kemudian bersuara. "Soal apa? Thalia?"
"Bukan"
"Apa sesuatu hal yang serius?"
Aku mengangguk meski pelan, menarik napas dalam-dalam berharap rasa deg-degan yang terus merongrongku sejak tadi bisa sedikit berkurang.
"Duduk" Pria itu menunjuk kursi dengan dagunya, di susul dia yang duduk di kursi makan, sementara aku tak langsung duduk sebab tiba-tiba merasa gugup.
Aku bahkan nyaris pingsan karena tak tahu bagaimana caranya menenangkan debaran jantungku.
"Cepat Bi, ini sudah malam! Kamu tahu kita harus istirahat kan"
Menggigit bibir bawah bagian dalam, aku yang tadinya sempat ingin mengurungkan niat untuk bicara, akhirnya mendudukan diri di kursi yang bersebrangan dengan mas Bima.
Menundukkan kepala, ku tatap jari jemariku yang saling bertaut di atas pangkuan.
"Lupa dengan apa yang ingin kamu bicarakan" Ujarnya datar. Hanya mendengar suaranya saja sudah membuat nyaliku seketika menciut.
Aku diam. Masih mengunci rapat mulutku
"Dewi Arimbi!"
Sepersekian detik, jantungku seakan mau lepas dari tempatnya saat nama lengkapku di sebut, reflek aku menelan saliva dengan setengah mati.
"Makasih buat brossnya"
"Jangan salah paham, itu hanya bross" Balasnya tanpa berpikir, dan itu sungguh jawaban yang membuat dadaku semakin sesak.
"Salah paham atau tidak, aku tetap harus mengucapkan terimakasih, bukan? Itulah salah satu hal yang ku ajarkan pada putri mas"
"Sama-sama!"
Ketika aku hanya bergeming karena bingung, mas Bima kembali berucap.
"Apa masih ada yang ingin kamu bicarakan?"
"Tadi siang mas pulang jam berapa?"
Mas Bima mengangkat satu alisnya begitu mendengar pertanyaanku. Bukannya menjawab, dia malah meneguk minuman bervitamin yang tadi di seduhnya.
"Kenapa?" dia balik bertanya usai meneguk habis minumannya.
"Kalau memang mas nggak berniat menjawab, mas nggak perlu bertanya balik"
Saat ku lirik dengan ekor mataku, mas Bima sempat tertegun mendengar ucapanku, namun hanya sesaat, sebab di detik berikutnya dia kembali dengan gesture santai. "Ada apa denganmu?"
"Aku cuma ingin tahu mas pulang jam berapa, itu saja"
"Apa kamu sedang mengobservasiku, Arimbi? kamu ingin tahu kenapa aku dan Gesya sama-sama jemput Thalia?"
Menelan ludah, aku tak menyangka kalau keingintahuanku bisa di tebak oleh mas Bima.
"Bukankah kita sepakat untuk tidak ikut campur urusan kita masing-masing?" Cicitnya yang langsung membuatku mencari manik hitamnya.
"Mau sampai kapan peraturan itu berlaku? Apa mas pikir aku tidak punya perasaan? Seorang istri berhak tahu apapun tentang suaminya, bukan?"
Aku memberanikan diri mempertemukan netra kami. Aku yang ingin menyelami kedalaman sepasang irisnya untuk mencari maksud dari kalimatnya barusan, justru memutus kontak mata lebih dulu.
Menyerah, aku benar-benar menyerah.
Setelah hampir satu menit kami saling beradu pandang, sungguh aku tak berani menatap kilat matanya lebih lama. Aku kembali memusatkan pandangan pada gelas bening bekas mas Bima tadi.
"Sabar memang tak ada batasnya, tapi kesabaranku ini tidak seperti Fatimah Az-Zahra. Bukan hanya tidak sabar, tapi mungkin juga lelah"
Hening, tak ada sahutan lagi dari mas Bima. Selang sekitar lima detik pria di hadapanku yang entah seperti apa ekspresinya mendadak bersuara.
"Kamu tahu Arimbi? kalau aku lebih senang jika lawan bicaraku menatap wajah atau mataku?"
Kalimat mas Bima seakan menyindirku yang tidak menatapnya saat bicara.
"Lihat aku, Bi"
Alih-alih menuruti perintahnya, aku justru bangkit dari dudukku. Rasa-rasanya aku sudah tidak berniat melanjutkan pembicaraan ini.
Jika aku tidak pergi dari hadapannya, kemungkinan besar aku pasti akan menangis.
Membalikkan badan, aku lantas melangkah meninggalkan mas Bima yang masih duduk di tempatnya.
Baru saja dua langkah menjauh, mas Bima berkata dari arah balik punggungku yang membuatku spontan menghentikan langkah tanpa berbalik.
"Aku pulang pukul tiga, langsung ke sekolah Thalia, dan di sana sudah ada Gesya karena ingin bertemu dengan keponakannya"
Begitukah?? Aku berdecak dalam hati. Dia tidak ingin bertemu Lala, tapi ingin bertemu mas, apa mas nggak menyadari itu, padahal mas selalu peka terhadap semua gerak-gerikku serta tatapanku. Kenapa tidak dengan Gesya?
Mengabaikan penjelasannya, aku memilih mengayunkan kakiku kembali tanpa sekalipun menengok ke belakang.
Aku sudah cukup geram dengannya yang masih saja membahas soal mencampuri urusan pribadi.
Menikah sudah dua tahun, tapi tetap saja mempermasalahkan tentang itu. Dia pikir mengurus rumah dan putrinya, semua itu tidak termasuk dalam urusan pribadi dia?
Bukannya tidak ikhlas merawat Lala ataupun mengurus rumah tangga, tapi hubungan yang sakral bukankah harus sesuai syariat?
Aku menaiki anak tangga sembari menggerutu dalam hati.
Aku sangat memaklumi dalam dua tahun ini, intensitas kebersamaan kami di rumah memang sangat jarang. Itu karena tugas mas Bima sebagai abdi negara.
Kadang pergi hingga berbulan-bulan, baru di rumah dua minggu sudah harus tugas lagi. Tapi kalau sesuatu terus di diamkan, dan dia tidak ada niatan untuk memperjelas status kami, bukankah tidak akan ada perubahan?
Bukankah salah, pernikahan seperti ini terus di jalankan? Semua harus di perjelas dengan kata-kata, bukan?
Lantas mau di bawa kemana hubungan kita, mas?
Bersambung.
Cuma bisa update 2 bab sehari ya, ketemu lagi besok.
Semoga nggak bosen dengan alurnya.. 😀 insya Allah nggak akan bertele-tele kok. Kita mainkan perasaan Arimbi dulu. Wekk...
Makasih buat suportnya.
Semangat berkarya