Karena dendam pada Seorang pria yang di yakini merebut wanita pujaannya sejak kecil, Alvino Maladeva akhirnya berencana membalas dendam pada pria itu melalui keluarga tersayang pria tersebut.
Syifana Mahendra, gadis lugu berusia delapan belas tahun yang memutuskan menerima pinangan kekasih yang baru saja di temui olehnya. Awalnya Syifana mengira laki-laki itu tulus mencintainya hingga setelah menikah dirinya justru mengetahui bahwa ia hanya di jadikan alat balas dendam oleh sang suami pada Kakak satu-satunya.
Lalu, apakah Syifana akan terus bertahan dengan rumah tangga yang berlandaskan Balas Dendam tersebut? Ataukah justru pergi melarikan diri dari kekejaman suaminya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurma Azalia Miftahpoenya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunuh Diri
Syifana terkejut saat sampai di kamarnya yang saat ini di ambil alih oleh pria korban kecelakaan tadi. Gadis itu terdiam di depan pintu dengan membekap mulutnya sendiri.
Mata indahnya berkeliling area ruangan yang biasanya rapi dan tertata, kini berubah menjadi ruangan tidak berbentuk. Semua barang di ruangan itu berhamburan, seprei dan bantal yang acak-acakan. Kursi yang terbalik, dan jangan lupakan pecahan kaca berserakan di satu sisi meja riasnya.
Di sana seorang pria yang tadi di tolongnya tergeletak dengan tangan bersimpah darah. Syifana yang biasanya cekatan dalam menghadapi situasi seperti ini justru merasa syok. Apa yang terjadi hingga pria tadi justru melakukan tindakan tidak baik seperti ini?
Gadis itu tersadar dari rasa terkejutnya ketika dari arah belakang Bude Nur datang dengan tergopoh-gopoh dan mendorong tubuhnya yang menghalangi jalan.
"Kenapa berteriak, Syifa?" tanya Bude Nur seraya mengalihkan tubuh sang keponakan dari pintu.
"Ya Allah ..." Bude Nur segera mendekat dan mengangkat pergelangan tangan yang masih mengalir darah segar.
Setelah bisa mengendalikan diri dari rasa terkejutnya, Syifana mendekat dan segera merebut tangan yang masih di pegang oleh Bude Nur.
"Dia bunuh diri, Bude."
"Iya, kita harus bawa dia ke rumah sakit, Syifa!" Bude Nur yang panik segera melarikan dirinya ke rumah Gevano yang belum juga sampai di sana.
Syifa menekan dengan kuat bekas sayatan yang ada di pergelangan tangan pria itu dengan niat agar pendarahan berhenti dan pria itu dapat di selamatkan.
"Lo kalau mati harusnya jangan di rumah ini, mana di kamar gue lagi." Syifana semakin kuat menekan bekas sayatan itu.
Gadis remaja itu tidak menyangka bahwa korban kecelakaan yang di tolongnya justru ingin mengakhiri hidupnya. Lalu untuk apa tadi di jurang dia minta tolong jika akhirnya di rumah justru bunuh diri?
Sedangkan Bude Nur, wanita itu terburu-buru menyusul Gevano agar mengantar mereka ke rumah sakit. Kalau di biarkan, pria itu pasti akan meninggal.
Tanpa mengetuk pintu rumah, Bude Nur menerobos masuk ke dalam rumah Gevan. Dia memang dekat dengan keluarga Gevano karena saat keluarga Gevano baru saja pindah, ialah orang yang pertama menerima dengan baik tanpa memikirkan kejadian apa yang di alami keluarga itu.
"Gevan," panggil Bude Nur sambil berlari masuk ke dalam rumah.
"Mbak Nur, kenapa mencari Gevan? Gevan lagi mandi," Seorang wanita berusia tidak jauh dari Bude Nur keluar dari dapur.
"Anu, Asna, Mbam mau minta antar ke Rumah Sakit."
"Mbak Nur sakit?" tanya Asna penasaran. Wanita itu memeriksa Bude Nur dari ujung rambut hingga ujung kaki, tapi tidak menemukan sesuatu yang aneh di tubuh wanita yang ia anggap kakak itu.
"Bukan, Mbak sehat, Asna. Tapi pria tadi yang di tolong Syifa dan Gevan. Dia mencoba bunuh diri," Bude Nur menjelaskan siapa yang orang yang harus mereka selamatkan.
"Bunuh diri, Bude?" tanya Gevan yang baru saja keluar dari kamarnya. Laki-laki itu masih memegang handuk untuk mengeringkan rambut lebatnya.
"Iya, makanya cepetan." Bude Nur menarik tangan Gevan untuk segera menolong pria tadi.
Gevano dengan terpaksa mengikuti langkah Bude Nur, walaupun ia sangat lelah. Namun hati nuraninya tidak bisa membiarkan seseorang kehilangan nyawa apa lagi jalur bunuh diri.
Saat Bude Nur dan Gevano sampai di kamar Syifa, gadis remaja itu sedang menangis. Entah apa yang membuat dirinya menangis hingga tersendu-sendu? bukankah mereka tidak saling mengenal? lalu untuk apa Syifa menangisi laki-laki asing itu? pikir Gevano.
"Ayo, Gevan. Angkat dia, kita bawa ke Rumah Sakit." Bude Nur mendorong Gevan yang justru melamun di sampingnya.
Gevano tersentak dan berusaha menguasai diri dari rasa cemburunya. Laki-laki itu mengira bahwa Syifana mempunyai hubungan khusus dengan pria yang masih tergeletak di lantai dengan bersimpah darah.
Gevano berusaha menggendong tubuh lemah pria tidak berdaya itu. Dengan sekuat tenaga, walaupun merasa sangat berat. Namun dirinya harus kuat saat ini. Ada jiwa yang membutuhkan pertolongannya.
Syifana dan Bude Nur mengikuti Gevan yang berjalan dengan terseok-seok. Wajar saja, tubuh mereka sama. Mungkin berat badan mereka tidak jauh berbeda. Apa lagi Gevano hanya seorang pekerja kantoran yang tidak pernah menyentuh beban berat kecuali barbel.
"Kamu kenapa menangis, Syifa?" tanya Bude Nur karena heran Syifana menangisi orang asing.
"Kamar Syifa, Bude. Kalau itu cowok nyebelin mati, terus kamar Syifana berhantu dong. Udah gitu hantunya nyebelin kaya dia," celetuk Syifana masih dengan air mata yang mengalir.
Mendengar alasan yang di berikan sang keponakan, Bude Nur menghentikan langkah dan mencekal pergelangan tangan Syifana membuat gadis itu juga menghentikan langkahnya. Sedang dalam kondisi seperti ini dan keponakannya masih bisa bergurau. Apakah Syifana sudah tidak memiliki hati nurani?
"Kamu gila ya, Syifa? kamu mikirnya kenapa kesana? Astagfirullah hal adzim. Ponakan Bude ternyata sudah kehilangan hati nurani,"
Gadis itu membulatkan matanya. Bagaimana Bude Nur malah menuduhnya kehilangan hati nurani. Jika seperti itu untuk apa dirinya susah-susah menolong pria tadi saat di jurang, dan jangan lupakan yang sejak tadi menekan lukanya agar pendarahan terhenti adalah dirinya. Apa itu tidak cukup menjadi bukti jika rasa kemanusiaan dirinya masih tergolong tinggi?
Gevano jengah karena kedua wanita itu justru berdebat, bukannya secepatnya masuk mobil untuk membawa pria ini ke Rumah Sakit.
"Bude mau ikut tidak?" teriak Gevano lantang.
Kedua wanita itu menoleh dan segera berlari masuk ke dalam mobil. Saat Syifa akan masuk ke dalam jok belakang. Gevano menghentikan Syifa dengan menarik pergelangan tangan Syifa.
"Kamu depan, Syifa."
"Enggak bisa, kalau aku di depan. Siapa yang menekan bekas sayatan dia?" Selain ingin menghindari Gevano, Syifana memang memikirkan pria itu. Jangan sampai Bude Nur kembali menuduhnya kehilangan empati.
"Yaudah, Bude aja yang di depan." Wanita paruh baya itu turun dan kembali masuk ke kursi samping kemudi.
Dengan terpaksa, Gevano melepaskan tangan gadis pujaannya. Syifana segera masuk setelah tangannya terbebas dari laki-laki menyebalkan itu. Dia beralih pada pria di sampingnya dan segera menekan kembali bekas sayatan yang masih mengeluarkan darah.
Setelah masuk ke dalam kursi kemudi, Gevano segera mengemudikan mobilnya menuju Rumah Sakit terdekat. Laki-laki itu terpaksa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pria di belakang pasti sudah kehilangan banyak darah.
"Gevan, jangan ngebut, nak." Bude Nur menyentuh lengan Gevan untuk menenangkannya.
Gevan hanya menoleh sebentar namun masih tidak mengurangi kecepatan laju mobilnya. Mereka tidak bisa santai karena keselamatan laki-laki itu juga menjadi prioritasnya.
"Vano. Lo mau bawa gue ke akhirat?"
Bersambung...
Thanks For Reading...
_Nurmahalicious_
Kak, aku bawa rekomendasi cerita keren abis nih. Mampir yah. Karya kak Ayi dengan judul Cinta Sendiri.
Mencintai tanpa dicintai... Kedekatannya selama ini dengan sahabat abangnya hanya dianggap sebagai adik, tidak lebih.
Anggita Nur Anggraini, biasa disapa Gita telah jatuh cinta pada sahabat almarhum abangnya. Akan tetapi, cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahkan dia sampai merelakan kehormatannya, sayangnya lelaki itu tetap tidak melihatnya.
Apakah cintanya akan berbalas?