Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦠꦩꦺꦴ
Pagi itu, matahari baru saja memanjat langit timur ketika Herlic tiba di desa utama wilayah itu. Ia duduk tegap di atas kudanya, diapit oleh pasukannya yang bersenjata lengkap. Debu-debu beterbangan saat mereka masuk ke alun-alun, memecah keheningan yang biasanya hanya dihiasi suara burung dan langkah para petani. Warga pribumi keluar dari rumah mereka, wajah-wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus waspada.
Herlic turun dari kudanya, menghentakkan kakinya di tanah dengan penuh keyakinan. Ia memandang kerumunan yang mulai berkumpul. Dengan suara lantang, ia berkata, “Aku Herlic, penguasa baru wilayah ini. Mulai hari ini, segala keputusan di sini adalah kehendakku. Barang siapa yang melawan, akan merasakan akibatnya.”
Seorang pria tua, dengan wajah yang dipenuhi garis-garis usia, maju perlahan dari kerumunan. Ia tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri berbicara. “Tuan,” katanya dengan suara bergetar, “kami hanyalah rakyat kecil. Kami hidup dari tanah ini, dari ladang dan laut. Mohon beri kami kebijaksanaan, agar kami dapat terus hidup dalam damai.”
Herlic menyipitkan matanya, melangkah mendekati pria itu hingga jarak mereka hanya sejengkal. Ia berbicara dengan nada dingin, “Damai? Kau pikir aku datang ke sini untuk mendengar cerita keluhan kalian? Aku datang untuk memastikan wilayah ini memberikan hasil yang maksimal. Tanah ini sekarang milikku, seperti halnya kalian semua. Tugas kalian hanyalah bekerja, mematuhi perintah, dan membayar upeti. Kalau tidak, kalian tahu apa yang akan terjadi.”
Kerumunan bergumam pelan, beberapa wanita menarik anak-anak mereka ke belakang, sementara para pria saling menatap dengan gelisah.
Herlic melanjutkan, suaranya semakin keras. “Kalian sudah terlalu lama hidup dalam kebiasaan yang malas! Mulai sekarang, setiap hasil panen akan dihitung dan dilaporkan kepadaku. Dan jangan coba-coba menyembunyikan apa pun, karena aku akan memastikan hukuman yang setimpal bagi siapa saja yang berani berkhianat!”
Seorang pemuda, mungkin karena dorongan keberanian yang mendadak, melangkah maju. “Tuan, tanah ini adalah warisan nenek moyang kami. Kami bekerja keras, tetapi hasilnya sering kali hanya cukup untuk kami sendiri. Bagaimana kami bisa memberikan lebih jika kami sendiri kekurangan?”
Herlic menatapnya dengan tajam, lalu dengan cepat meraih cambuk dari pinggangnya dan mengayunkannya ke udara, menciptakan suara yang memekakkan telinga. Pemuda itu terhenti, mundur dengan wajah pucat.
“Kau berani membantahku?” bentak Herlic. “Aku tidak peduli seberapa keras kau bekerja. Kalian akan memberi apa yang diminta, atau aku akan memastikan kerja keras itu menjadi kerja paksa.”
Hening melingkupi alun-alun. Ketegangan menggantung di udara, dan Herlic melangkah kembali ke kudanya. Ia memandang kerumunan dengan pandangan penuh kesombongan.
“Ini baru awal. Ingatlah hari ini, karena mulai sekarang, aku adalah hukum di tempat ini.”
Dengan isyarat tangan, ia memerintahkan pasukannya untuk berpatroli, memastikan semua orang memahami pesan yang baru saja ia sampaikan.
Ia memerintahkan pendirian pos penjagaan di beberapa titik strategis desa, lengkap dengan para prajurit bersenjata yang bertugas mengawasi setiap aktivitas penduduk. Setiap orang yang melintasi pos itu harus melapor, menyebutkan tujuan mereka, dan menyerahkan sebagian dari hasil tangkapan atau panen sebagai tanda hormat.
Di balai desa, Herlic mengadakan pertemuan dengan para tetua adat dan kepala suku. Namun, suasana pertemuan itu jauh dari nuansa musyawarah. Herlic duduk di kursi tinggi, sementara yang lain harus berdiri di bawah, seolah menegaskan siapa yang berkuasa.
“Kalian semua harus mulai berpikir besar,” kata Herlic dengan nada tegas, sambil menunjuk ke arah mereka dengan ujung pena bulunya. “Daerah ini memiliki potensi luar biasa. Hasil bumi kalian rempah-rempah, kayu, bahkan ikan adalah kekayaan yang tidak boleh disia-siakan. Tapi selama ini, kalian terlalu sibuk dengan urusan kecil dan adat yang membuang waktu!”
Seorang kepala suku dengan janggut putih mencoba angkat bicara. “Tuan, kami hidup dengan aturan adat yang sudah berumur ratusan tahun. Sistem kami mungkin sederhana, tetapi itu yang menjaga keharmonisan masyarakat kami.”
Herlic menyeringai sinis. “Harmoni? Itu hanya alasan untuk tetap tinggal di zona nyaman. Aku akan mengubah semuanya. Mulai sekarang, kalian akan bekerja sesuai arahan dan targetku. Jika kalian gagal, sanksinya akan keras!”
Pria itu menunduk, tidak lagi mencoba membantah. Ia tahu bahwa nada Herlic bukanlah sesuatu yang bisa dilawan tanpa risiko besar.
Sore harinya, Herlic berkeliling desa untuk menilai langsung apa yang ia anggap sebagai kemalasan penduduk. Ia menemukan seorang ibu muda yang sedang menjemur kain di halaman rumahnya. Tanpa basa-basi, Herlic menghentikan kudanya dan bertanya dengan nada penuh arogansi.
“Kau, perempuan! Apa pekerjaanmu di sini?”
Ibu itu terlihat gugup, tapi ia menjawab dengan sopan, “Saya membantu suami saya di ladang, Tuan. Saat ini saya hanya—”
“Cukup!” potong Herlic. “Aku tidak butuh alasan. Semua orang di sini harus menghasilkan sesuatu yang bernilai. Mulai sekarang, aku ingin laporan kerja dari setiap keluarga. Kalau tidak, jangan harap kalian bisa tinggal di sini tanpa akibat.”
Ibu itu hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Anak kecilnya yang berdiri di sampingnya memeluk ibunya erat, seolah mengerti bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Di tempat lain, Mela, seorang gadis muda yang dikenal karena keberaniannya, menyaksikan semuanya dari kejauhan. Ia menggenggam erat selendangnya, rasa marah dan benci membuncah di dadanya. Ia tahu, cepat atau lambat, akan ada perlawanan terhadap penguasa yang arogan ini. Tapi kapan dan bagaimana caranya, ia belum tahu. Yang jelas, ia tidak akan tinggal diam melihat rakyatnya diperlakukan seperti budak.
Hari itu, meskipun desa tampak sunyi seperti biasa, ketakutan dan kemarahan mulai merambat di hati para penduduk. Herlic mungkin merasa dirinya telah menguasai wilayah itu, tetapi tanpa ia sadari, benih-benih perlawanan perlahan mulai tumbuh di bawah bayang-bayang kekuasaannya.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ucap Mela, memecah keheningan. Suaranya tegas, meski bergetar sedikit. “Herlic bukan hanya merampas hasil kerja kita, tapi juga harga diri kita. Apakah kita hanya akan diam?”
Tetua dengan janggut putih yang sebelumnya bicara di depan Herlic menghela napas panjang. “Mela, keberanianmu patut dihargai, tapi kita harus bijak. Herlic punya pasukan, punya senjata. Apa yang kita punya?”
“Kita punya tanah ini,” jawab Mela cepat. “Tanah yang kita tahu setiap jengkalnya. Kita punya kekuatan bersama, jika kita mau bersatu. Dan yang paling penting, kita punya alasan untuk melawa demi anak-anak kita, demi masa depan kita.”
Pemuda yang sebelumnya dihukum cambuk oleh Herlic menggertakkan giginya. “Aku setuju dengan Mela. Herlic harus dihentikan. Kalau kita terus membiarkan dia menindas kita, ini bukan lagi hidup, ini perbudakan!”
Tetua itu mengangguk pelan. “Aku mengerti kemarahan kalian. Tapi melawan tanpa rencana hanya akan membawa kehancuran. Kita harus berpikir jangka panjang.”
Mela menatapnya tajam. “Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakek? Apakah kita hanya menunggu sampai semuanya dirampas darinya? Sampai tidak ada lagi yang tersisa?”
Tetua itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, “Kita perlu waktu untuk mempersiapkan semuanya. Jika kita melawan sekarang, kita hanya akan kalah. Tapi aku akan mendukung kalian. Aku akan membantu menghubungi desa-desa lain untuk menyatukan kekuatan. Kita butuh dukungan sebanyak mungkin.”
Di sisi lain, di kediamannya yang baru dibangun, Herlic menikmati kemenangan kecilnya. Ia duduk di ruang utama, meminum anggur sambil memandang peta wilayah timur yang tergantung di dinding.
“Sederhana sekali orang-orang ini,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Sedikit ancaman, sedikit kekerasan, dan mereka langsung tunduk.”
Seorang perwira pasukannya masuk, memberi hormat. “Tuan, kami sudah menempatkan penjaga di setiap pos sesuai perintah. Tapi ada beberapa laporan tentang warga yang berkumpul diam-diam.”
Herlic mendengus. “Warga yang berkumpul? Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka hanya petani dan nelayan. Awasi mereka, tapi jangan terlalu khawatir. Kalau mereka menunjukkan tanda-tanda melawan, kita beri pelajaran.”