"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liontin
Hamzah duduk di bangku trotoar, tatapannya kosong menembus kerumunan manusia yang lalu-lalang. Pikiran-pikirannya berputar cepat, terjebak dalam kebingungan yang tak kunjung reda. “Doni? Ngapain dia di Oxford? Apa dia juga mahasiswa di sini? Tapi perasaan kemarin waktu ketemu, dia tidak bilang jika ia seorang mahasiswa,” gumam Hamzah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dia menggelengkan kepala, berusaha mengusir rasa ingin tahunya. “Ah sudahlah, ngapain juga aku ikut campur urusan orang lain.”
Elizabeth yang duduk di sampingnya, memperhatikan Hamzah dengan seksama. Rasa penasaran menggelitik hatinya. “Zah?” panggilnya lembut, berharap bisa menarik Hamzah dari lamunan yang dalam.
Namun, Hamzah tetap terbenam dalam pikirannya. Elizabeth melanjutkan, “Hamzah?” sambil mengelus tangan Hamzah dengan lembut, mencoba menjalin kembali koneksi yang tampaknya hilang.
Seketika, Hamzah terkejut. “Eh, iya Liz, bagaimana Liz?” jawabnya, sedikit tersentak dari lamunannya.
“Kamu kenapa melamun Zah? Ada apa? Cerita sama aku,” timpal Elizabeth dengan nada khawatir.
“Mmm, tidak ada apa-apa kok Liz, hehehe,” jawab Hamzah sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Serius lho, jangan bohong,” sahut Elizabeth tegas namun manis.
Hamzah menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Mmm, itu Liz, tadi aku sekilas melihat seseorang yang tidak asing bagiku,” ungkapnya perlahan.
Elizabeth terdiam sejenak, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Memangnya siapa Zah?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Namanya Doni. Aku kenal dia saat penerbangan ke Inggris,” jawab Hamzah dengan nada mengingat.
“Oh... tapi, apakah dia punya urusan denganmu?” tanya Elizabeth lagi, matanya berbinar penuh perhatian.
“Mmm, tidak ada Liz,” jawab Hamzah singkat.
“Yasudah kalau begitu, tidak usah dipikirkan Zah,” sahut Elizabeth mencoba menenangkan hati Hamzah yang tampak gelisah.
Hamzah kemudian mengalihkan pembicaraan untuk menghindari topik yang membuatnya cemas. “Eh Liz, cocok tidak?” ucapnya sambil menunjuk syal berwarna cerah yang melilit lehernya.
“Cocok banget dong Zah,” jawab Elizabeth dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
“Tapi, kamu suka kan Zah?” lanjutnya dengan nada menggoda.
“Iya Liz, aku sangat suka dengan syal ini. Terima kasih banyak ya,” ucap Hamzah tulus.
Elizabeth tersenyum bahagia mendengar pujian itu. Namun tiba-tiba wajah Hamzah berubah serius. “Liz... ini kan sebagai tanda pertemanan kita,” lanjutnya dengan nada penuh makna.
“Iya Zah, lalu Zah?” tanya Elizabeth penasaran akan kelanjutan kata-kata Hamzah.
“Maka dari itu, aku juga akan memberikan sesuatu untukmu sebagai tanda pertemanan kita Liz,” kata Hamzah dengan suara lembut namun tegas.
Ekspresi wajah Elizabeth seketika berubah menjadi bahagia; pipinya merona merah. “Mmm–te–rima–kasih, Zah,” sahutnya terbata-bata karena terharu.
Hamzah tersenyum lebar melihat reaksi Elizabeth. “Akan tetapi, aku minta maaf jika nanti barangnya tidak terlalu mahal Liz,” lanjutnya dengan nada sedikit sedih.
“Eh, tidak apa-apa Zah. Apapun pemberian darimu akan aku terima dengan senang hati. Yang terpenting itu bukan seberapa mahal harganya. Akan tetapi, seberapa tulus dalam memberikannya Zah,” jawab Elizabeth manis dan tulus.
Hamzah mengangguk paham akan maksud sahabatnya. “Terima kasih ya Liz... mmm, kalau begitu kita pergi ke sana yuk,” sambung Hamzah sambil menunjuk sebuah booth stand di pinggir jalan yang ramai pengunjung.
Elizabeth mengangguk antusias. “Yuk Zah!”
Keduanya pun bangkit dari tempat duduk mereka dan melangkah bersama menuju booth tersebut. Dalam hati mereka masing-masing bergetar oleh rasa persahabatan yang semakin kuat dan harapan akan petualangan baru yang menanti di depan.
Mereka berdua melangkah dengan penuh rasa ingin tahu menuju sebuah booth stand yang sebelumnya ditunjukkan oleh Hamzah. Booth tersebut dipenuhi dengan berbagai pernak-pernik souvenir yang berkilau di bawah sinar rembulan, menciptakan suasana yang ceria dan mengundang perhatian. Di sana, kalung, gelang, gantungan kunci, dan banyak lagi terhampar rapi, sementara beberapa barang antik menambah daya tarik stand itu.
“Halo,” sapa penjual dengan senyum ramah, matanya berbinar saat melihat pengunjung.
“Halo,” sahut Hamzah dan Elizabeth bersamaan, suara mereka harmonis seperti melodi yang saling melengkapi.
“Silakan di pilih,” lanjut penjual, gesturnya mengundang mereka untuk menjelajahi koleksi yang ada.
Hamzah tersenyum lebar, hatinya berdebar penuh rasa antusias. Ia mulai mengamati berbagai macam pernak-pernik yang terpajang. Namun, tiba-tiba pandangannya terfokus pada sebuah kalung antik di antara barang-barang lainnya. Seolah waktu berhenti sejenak, ia terpaku. Sebagai seorang penikmat sejarah, Hamzah selalu merasa terpesona oleh benda-benda yang memiliki cerita di baliknya. Kenangan akan rumah Mbah Dul, tempat ia menemukan lukisan-lukisan tua yang memikat hatinya, kembali membanjiri pikirannya.
Dengan hati-hati, Hamzah mengambil kalung tersebut. Kalung itu tampak tua namun terawat dengan baik; kualitasnya masih sangat bagus. Liontin berbentuk hati yang menggantung di sana menambah keindahan kalung itu. Di tengah liontin tersebut terdapat inisial huruf "E," yang jelas-jelas merujuk pada nama Elizabeth.
“Bagaimana Liz? Bagus tidak?” tanya Hamzah dengan nada penuh harap, matanya mencari konfirmasi di wajah Elizabeth.
Elizabeth mendekat dan melihat dengan saksama kalung yang ditunjukkan Hamzah. Pandangannya tertuju pada liontin kalung tersebut, dan senyumnya merekah. “Wah, bagus sekali! Liontin-nya berbentuk hati dan ada inisial E di tengahnya. Aku suka Zah,” ucapnya dengan nada ceria, seolah menemukan harta karun yang telah lama hilang.
“Syukurlah jika kamu suka. Baiklah kalau begitu,” timpal Hamzah dengan lega, hatinya bergetar melihat reaksi Elizabeth.
Hamzah kemudian beralih kepada penjual. “Pak, berapa harga kalung ini?” tanyanya sambil memperlihatkan kalung tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.
“Itu £20 poundsterling,” jawab penjual dengan percaya diri, matanya tetap bersinar saat menjelaskan harga.
“Syukurlah, harga-nya 400 ribu jika di rupiahkan,” gumam Hamzah pelan, menghitung dalam hati sambil mengangguk faham.
“Baik pak, saya ambil ini,” ucap Hamzah mantap, keputusan itu terasa tepat di hatinya. Ia merasa seolah telah menemukan lebih dari sekadar souvenir; ia telah menemukan simbol dari pertemanannya kepada Elizabeth—sebuah lambang persahabatan yang abadi.
Hamzah melangkah ke arah penjual kalung dengan keyakinan yang terpancar di wajahnya. Ia mengeluarkan dua puluh poundsterling dari dompetnya, seraya menyerahkan uang tersebut kepada penjual. "Ini tidak usah dikemas, Pak. Kalung ini akan langsung dipakai," ucap Hamzah dengan nada penuh semangat, seolah kalung itu adalah jembatan yang ingin terhubung dengan Elizabeth.
Penjual mengangguk, memahami betapa pentingnya momen ini bagi Hamzah. Dengan hati-hati, Hamzah mengambil kalung tersebut dan beranjak mendekati Elizabeth, yang berdiri dengan sikap anggun. "Biarkan aku membantumu," ucap Hamzah lembut, suaranya hampir berbisik penuh perhatian.
Elizabeth menoleh, mengangguk faham. Ia memutar tubuhnya membelakangi Hamzah, memberikan kesempatan bagi Hamzah untuk melakukan tugasnya. Dengan lembut, ia menaikkan rambut indahnya yang berkilau di bawah sinar rembulan. Hamzah merasakan detak jantungnya bergetar saat ia memasang kalung itu, berusaha untuk tidak menyentuh kulit Elizabeth, seolah takut mengganggu keindahan yang ada di depannya.
Setelah selesai, Hamzah berkata, "Sudah, Liz. Berbaliklah." Suaranya penuh harap.
Elizabeth berbalik, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana penampilanku, Zah?" tanyanya dengan nada ceria namun sedikit cemas.
Hamzah terpesona melihat kecantikan Elizabeth yang semakin bersinar dengan kalung itu. Namun, dalam sekejap ia menunduk, "Astaghfirullah," gumamnya pelan, seolah terperangkap dalam pesona yang tak terduga.
Elizabeth mengerutkan dahi, bingung dengan reaksi Hamzah. "Ada apa Zah? Apa tidak cocok untukku?" suaranya terdengar sedih, seperti embun pagi yang mulai mengering.
Hamzah segera mengangkat kepalanya, berusaha menjelaskan. "Eh, bukan... bukan itu maksudku Liz. Kalung itu sangat cocok kamu pakai," jawabnya cepat, ingin menghapus keraguan di wajah Elizabeth.
"Serius Zah?" tanya Elizabeth penasaran, matanya berbinar kembali.
"Iya serius! Kalau tidak percaya, coba tanya kepada bapak itu," lanjut Hamzah sambil melirik si penjual kalung yang masih tersenyum menyaksikan interaksi mereka.
Hamzah kemudian bertanya kepada penjual tersebut, "Bagaimana Pak? Sangat cocok bukan?" Suaranya penuh keyakinan.
"Sangat cocok! Kalung itu begitu pas untukmu. Kamu jadi terlihat lebih cantik," ucap penjual dengan tulus.
Mendengar pujian itu, Hamzah dan Elizabeth lantas tersenyum lebar. "Bener kaann," sahut Hamzah menggoda dengan nada ceria.
Wajah Elizabeth seketika memerah; ia terlihat salting setelah mendengar pujian dari Hamzah. Dengan gerakan lembut menaruh rambutnya di belakang telinga, ia berkata dengan nada manis, "Terima kasih untuk pemberiannya ya Zah. Aku berjanji akan menjaganya sebaik mungkin."
Hamzah tersenyum hangat, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap di dalam hatinya. "Iya Liz, sama-sama. Dan aku juga berjanji akan menjaga syal ini dengan baik," timpal Hamzah sambil menunjukkan syal yang ia kenakan—sebuah simbol dari ikatan yang semakin erat antara mereka.
Dalam momen itu, waktu seolah berhenti; suara keramaian pasar menjadi samar-samar saat keduanya terbenam dalam dunia mereka sendiri—sebuah dunia di mana persahabatan dan harapan cinta bersatu dalam sebuah syal dan kalung sederhana dan janji yang tulus.
...****************...
“Mmm, sekarang kita mau kemana lagi, Liz?” tanya Hamzah, suaranya penuh rasa ingin tahu. Ia menatap Elizabeth dengan mata yang bersinar, seolah berharap jawaban yang akan mengubah suasana malam mereka.
“Mmm, kita cari minum dan camilan dulu,” jawab Elizabeth dengan senyuman manis, “setelah itu kita mengobrol di taman yang tak jauh dari sini.” Suaranya lembut, namun ada semangat yang menyala di dalamnya.
“Baiklah... mmm kita mau cari minuman apa ini?” Hamzah bertanya lagi, mencoba meresapi setiap kata yang diucapkan Elizabeth. Dia merasa nyaman berbicara dengannya, seolah dunia di sekitar mereka menghilang.
Elizabeth melirik sekeliling, matanya mencari-cari sesuatu yang menarik. “Mmm, nah, bagaimana kalau kita membeli minum dulu?” sahutnya sambil menunjuk sebuah booth stand yang terlihat mengundang.
Hamzah berbalik dan melihat booth stand itu menjual berbagai macam jenis kopi. Ekspresi wajahnya berubah ceria. “Baiklah Liz, ayo kita segera kesana.” Ia merasa bersemangat; aroma kopi yang menggoda membuatnya tak sabar untuk mencicipi.
Mereka mulai berjalan menuju penjual kopi. Di tengah perjalanan, suasana malam yang tenang dipenuhi dengan suara riuh rendah pengunjung lain. Setelah beberapa saat, mereka sudah berdiri di depan booth stand. Terlihat banyak orang mengantri untuk mendapatkan kopi malam ini. Hamzah dan Elizabeth harus bersabar menunggu giliran.
Saat mereka mengantri, Elizabeth tampak celingukan, matanya melirik ke berbagai arah. Hamzah yang menyadari gelagatnya lantas bertanya dengan nada penasaran, “Sedang mencari apa Liz?”
“Aku sedang mencari makanan Zah,” jawab Elizabeth sambil mengerutkan dahi, “tapi bingung ingin membeli apa?” Ada sedikit keraguan dalam suaranya.
“Nah, aku tahu! Kita membeli itu saja Zah,” lanjut Elizabeth sambil menunjuk booth stand penjual makanan yang tidak jauh dari situ.
“Apa itu Liz?” tanya Hamzah dengan rasa ingin tahu yang semakin membara.
“Itu adalah Bakewell flapjack Zah,” jawab Elizabeth dengan semangat.
“Makanan apa itu Liz?” Hamzah bertanya lagi, penasaran dengan nama asing itu.
“Itu adalah camilan khas Inggris Zah,” timpal Elizabeth dengan bangga. “Aku yakin kamu pasti akan suka.” Suaranya penuh keyakinan, seolah ia telah merasakan kelezatan makanan tersebut sebelumnya.
Bakewell flapjack sendiri merupakan makanan lezat yang memadukan dua makanan manis tradisional Inggris menjadi satu: kue tart bakewell dan flapjack. Elizabeth menjelaskan dengan detail tentang lapisan-lapisan kue tersebut—mulai dari oat almond crumble hingga selai buah yang menggoda selera. Setiap kata yang diucapkannya membuat Hamzah semakin tertarik.
Hamzah mengangguk paham. “Baiklah Liz, setelah ini kita kesana,” ucapnya dengan semangat baru.
“Eh, tidak Zah. Biarkan sekarang aku kesana,” sahut Elizabeth cepat. “Jadi kamu tunggu disini sembari mengantri kopi Zah. Ya biar nanti tidak kelamaan.” Ia tersenyum lebar dan melangkah pergi.
Hamzah mengangguk setuju. “Benar juga, baiklah kalau begitu, aku akan menunggumu disini Liz.” Ia merasa sedikit cemas ditinggal sendirian tetapi percaya bahwa Elizabeth akan segera kembali.
Elizabeth berjalan meninggalkan antrian dan segera menghampiri penjual Bakewell flapjack yang tak jauh dari booth stand kopi. Sesaat setelah ia pergi, tiba-tiba ponsel Hamzah berdering. Ia merogoh tasnya dan mengambil ponsel tersebut.
Setelah membuka ponselnya, terlihat sebuah nama dari layar notifikasi yang meneleponnya. “Ririn?” gumam Hamzah seraya mengangkat telepon dari Ririn. Suasana malam terasa semakin hidup saat ia mendengar suara Ririn di ujung sana.
...****************...