Dewasa🌶🌶🌶
"Temukan wanita yang semalam tidur denganku, dia harus bertanggungjawab karena telah mengambil keperjakaanku!"
—Bhaskara Wijatmoko—
"Gawat! Aku harus menyembunyikan semuanya. Kalau tidak, aku bisa dipecat!"
—Alicia Stefi Darmawan—
----
Bhaskara Wijatmoko dikenal sebagai CEO dingin yang tak pernah peduli pada wanita. Alasan dia memilih Alicia Stefi Darmawan sebagai salah satu sekretarisnya adalah karena sikap profesionalismenya yang luar biasa.
Namun, segalanya kacau setelah sebuah pesta topeng. Alicia tanpa sengaja menghabiskan malam dengan pria misterius yang ternyata adalah Bhaskara! Panik dan takut dipecat, Alicia pun kabur sebelum Bhaskara bangun.
Sialnya saat di kantor, Bhaskara malah memerintahkan semua sekretarisnya untuk menemukan wanita yang sudah bermalam dengannya. Alicia harus menyembunyikan rahasianya, tapi apa yang terjadi jika Bhaskara akhirnya tahu kebenarannya? Akankah karier Alicia hancur, atau sesuatu yang tak terduga akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Mission Completed
Gue udah selesai. Hati-hati Rin.
Karin tersenyum saat melihat pesan yang baru saja dikirimkan Alicia. Itu berarti, rencana untuk menghapus file CCTV yang dimiliki Rendy sudah berhasil. Sekarang, tinggal gilirannya.
Dengan sedikit melenggak lenggokan pinggulnya, Karin berjalan masuk menuju hotel The Seraphine, hotel mewah tempat Alicia dan Bhaskara beradu ranjang kemarin malam.
Kedatangan Karin ke sini termasuk dalam rencana mereka. Jadi, selagi Alicia menghapus file yang dimiliki Rendy, Karin lah yang akan mengurus CCTV di hotel. Tindakan yang cukup nekat memang, tapi Karin yakin kalau dia akan berhasil.
"Gini gini, Gue itu pernah sekolah akting Al. Jadi jangan kuatir, gue pasti berhasil," Begitu katanya semalam untuk meyakinkan Alicia.
Maka, sebelum memasuki pintu lobi hotel, Karin terlebih dahulu meneteskan obat mata untuk menciptakan efek air mata. Setelah itu, ia menarik napas dalam-dalam, menyusun ekspresi penuh emosi, dan bersiap memulai aksinya.
"Permisi mbak," Karin mendekati meja resepsionis dengan wajah panik dan mata yang tampak berkaca-kaca.
"Iya Bu, ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita muda berkata ramah.
"Mbak, saya minta tolong cekin nama suami saya. Saya yakin dia ada di sini sama selingkuhannya!" Kata Karin sambil tersedu-sedu.
Petugas resepsionis itu tampak kebingungan melihat Karin, tapi ia berusaha tetap tenang. "Maaf, Bu, tapi kami tidak bisa sembarangan memberikan informasi tamu kami. Ada aturan privasi..."
"Aturan? Mbak, saya ini istri sahnya! Mbak tahu nggak rasanya dikhianatin? Hati saya ini hancur, mbak! Saya cuma mau tahu apakah dia kemarin malem beneran ke sini atau nggak!" Karin menaikkan nada suaranya sedikit, menarik perhatian beberapa tamu yang lewat.
"Iya saya tau Bu, tapi tetap saja...”
"Mbak! Saya cuma mau minta cekin nama suami saya! Kenapa susah banget, sih?" Karin semakin menaikkan nada bicaranya. "Kalau gitu, saya mau ngecek CCTV!"
"Maaf Bu, tapi masalahnya...”
"Masih nggak boleh juga?!" Karin mulai berakting marah. "Mbak! Jangan melindungi pelakor ya! Atau saya bisa tuntut hotel ini ke pengadilan!" Teriaknya kesal. Melihat situasi yang mulai tidak kondusif, seorang manajer hotel mendekat.
"Ada yang bisa kami bantu, Bu?"
Karin menoleh dengan ekspresi marah bercampur sedih. "Tolong, Pak. Saya cuma butuh lihat rekaman CCTV untuk tahu apakah suami saya masuk ke sini sama selingkuhannya kemarin malem. Tapi nggak dibolehin sama Mbak ini!" katanya sambil menunjuk ke resepsionis.
"Baik, Bu. Mari kita bicarakan ini dengan tenang. Tapi perlu saya sampaikan, kebijakan privasi hotel sangat ketat, dan kami hanya dapat memperlihatkan rekaman CCTV jika ada alasan yang sangat mendesak." ujar pria berpenampilan rapi itu.
"Alasan mendesak? Pak, ini pernikahan saya yang hancur! Apa itu nggak cukup mendesak?" Karin menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menambahkan nada memelas ke dalam suaranya.
Manajer itu menghela napas, tampak berpikir sejenak. "Baik, Bu. Kalau begitu, mari ikut saya."
"Terima kasih, Pak," ujar Karin sambil mengangguk cepat, tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Manajer mengajak Karin menuju ruang pengawasan yang terletak di lantai bawah. Begitu tiba, ia mempertemukan Karin kepada petugas keamanan, seorang pria bertubuh kekar yang sedang duduk di depan layar penuh monitor.
"Pak, tolong bantu Ibu ini memeriksa rekaman CCTV di lobi dari kemarin malam," kata manajer kepada petugas keamanan itu sambil menunjuk monitor.
Petugas mengangguk dan mulai memutar rekaman. Karin berdiri di belakangnya, berpura-pura gugup sambil menatap layar. Ketika gambar mulai muncul, ia berpura-pura mencari dengan saksama.
"Itu! Itu dia!" teriak Karin, menunjuk layar dengan panik. "Dia masuk sama perempuan itu! Ya Tuhan, saya nggak salah lihat. Itu suami saya Pak!"
"Apakah Anda yakin, Bu?" tanya manajer.
"Iya, Pak! Saya kenal banget sama suami saya. Tolong, saya cuma mau lihat lebih detail. Bisa nggak saya lihat waktu mereka masuk lift? Saya butuh tahu mereka naik ke lantai mana!" Karin mencoba mempertahankan aktingnya agar terlihat lebih meyakinkan.
Petugas mulai memutar rekaman saat suami 'imajinasi' Karin dan seorang wanita memasuki lift.
Karin menatap layar, berpura-pura gemetar. "Iya, itu mereka... Aduh, saya nggak kuat lagi. Saya butuh waktu buat menenangkan diri," katanya, pura-pura hampir pingsan. "Saya boleh duduk di sini bentar nggak, Pak? Saya beneran nggak kuat. Hati saya sakit..."
Manajer dan petugas keamanan tampak saling pandang, kebingungan menghadapi wanita di hadapan mereka itu. Akhirnya, manajer berkata, "Tentu, Bu. Silakan duduk dulu di sini. Jika Anda butuh sesuatu, beri tahu kami."
Karin mengangguk lemah, lalu pura-pura duduk dengan lunglai di kursi dekat pintu ruang pengawasan. "Terima kasih, Pak. Maaf saya jadi merepotkan."
Manajer mengangguk sopan, lalu berbicara dengan petugas keamanan, "Pak, saya tinggal sebentar ya. Jika Ibu ini butuh bantuan, kabari saya."
Setelah manajer pergi, petugas keamanan kembali duduk di kursinya, tampak sibuk mengamati monitor lainnya. Karin mulai mengamati pria itu dengan seksama, mencoba berpikir rencana selanjutnya.
"Aw!" Karin berpura-pura kesakitan, membuat petugas keamanan menoleh panik.
"Ada apa Bu?"
"Dada saya sesek Pak. Boleh nggak saya minta tolong ambilin air minum? Kaki saya rasanya udah nggak kuat buat jalan," ujar Karin sambil memegangi dadanya dengan ekspresi penuh derita.
Petugas keamanan terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baik, Bu. Tunggu sebentar di sini, ya. Saya ambilkan air minum."
Begitu petugas itu pergi, Karin langsung beraksi. Ia berdiri dengan cepat, mendekati monitor dan keyboard utama di meja kontrol. Tangannya bergerak gesit mencari file rekaman kemarin malam.
"Ini dia," gumam Karin saat menemukan rekaman itu. Tanpa buang waktu, ia segera menghapus file tersebut dari sistem, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Setelah selesai, ia mengembalikan semua layar monitor ke posisi semula dan duduk kembali di kursinya, berusaha terlihat kelelahan.
Beberapa menit kemudian, petugas keamanan kembali dengan sebotol air minum. "Ini, Bu. Silahkan diminum,"
"Terima kasih, Pak," kata Karin sambil tersenyum lemah, menerima botol itu. Ia minum sedikit, lalu bangkit dengan perlahan. "Saya rasa saya sudah agak baikan. Terima kasih banyak atas bantuan Bapak."
"Beneran sudah sehat, Bu? Mau saya antar ke lobi?"
"Tidak usah Pak," Karin menggeleng. "Saya bisa sendiri. Maaf sudah merepotkan Bapak,"
"Baik Bu, hati-hati di jalan,"
Karin mengangguk, lalu berjalan keluar dengan langkah pelan, masih memainkan perannya sebagai istri yang patah hati. Begitu sampai di luar hotel, ia menghela napas panjang sambil tersenyum lebar.
Karin segera mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke Alicia.
Mission Completed.