Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03
Ina keluar dari rumah mewah milik istri kedua suaminya dengan pikiran yang carut-marut. Bagai gelas kristal yang dijatuhkan dari ketinggian dan menimpa batu cadas, seperti itulah kondisi hatinya saat ini. Hancur lebur hingga menjadi puing-puing.
Sore ini juga Ina memutuskan untuk pulang. Ina tidak akan menunggu lama, terlebih menunggu di rumah itu. Rumah di mana dia dihina. Rumah di mana dia direndahkan. Tidak, Ina tidak sebodoh itu.
“Sudahlah, terima saja pernikahan kedua suamimu ini. Toh bukannya dengan begitu, kamu jadi tidak perlu bekerja keras untuk suamimu yang katanya pengangguran. Kamu hanya tinggal mencari uang untuk kamu sendiri dan anakmu saja. Harusnya kamu lebih bersyukur.”
Masih terngiang omongan ibu mertuanya yang seolah menganggap segalanya seperti mainan belaka. Sepertinya rumah tangga yang mereka bina selama ini tidak ada arti sama sekali bagi ibu mertuanya.
"Aku tidak habis pikir. Ibu, Ratna, dan Siska. kalian semua sama-sama wanita sama sepertiku. tetapi kalian dengan tega berbuat hal seperti ini padaku. kalian dengan kejam melakukan persekongkolan pengkhianatan. Apa kalian lupa, bahwa apapun yang kalian lakukan ini bisa saja suatu saat juga akan terjadi pada diri kalian."
"kamu menyumpahiku Mbak?" Ina tidak tahu apa yang salah dengan apa yang dia ucapkan tadi. tiba-tiba saja Ratna adik iparnya menjadi berang.
"Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. karena suamiku sangat mencintaiku Dan Dia adalah tipe laki-laki setia."
Ina tertawa mendengarnya. Bukankah itu artinya Ratna mengakui kalau kakaknya tidak setia.
"Itu benar. Ratna ini wanita yang sangat cantik. bukan perempuan udik, miskin, kucel, dan jelek sepertimu. Jadi tidak akan mungkin suaminya meninggalkannya dan mencari wanita lain." ibu mertua membela putrinya.
"Kalau kamu sih memang pantas untuk ditinggalkan. coba sana berkaca dan lihat dirimu itu. Lalu bandingkan antara dirimu dengan Ratna dan Siska. Jangan menyamakan nasib kalian karena jelas-jelas tidak sama." ibu mertua berbicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Ina
“Kalau mbak Ina mau, Mbak Ina juga boleh tinggal di sini. Aku harus memanggil Mbak kan? karena Mbak adalah kakak maduku? Mbak tinggal saja di sini. Dengan anak Mbak itu juga. Tapi tentu saja tidak gratis. Mbak harus bantu-bantu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Hitung-hitung sebagai pengganti uang makan Mbak dan anak Mbak setiap hari.”
Dada Ina semakin perih. Sungguh, ucapan penuh hinaan itu takkan pernah terlupa seumur hidupnya. Biar saja saat ini mereka merendahkannya menganggapnya begitu miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak memiliki apa-apa. Tetapi meskipun miskin, bukan berarti Ina akan membiarkan dirinya menjadi babu bagi mereka. Ina masih cukup bisa berpikir waras.
***
Ina melangkahkan kaki untuk keluar dari gang tempat di mana komplek perumahan mewah milik istri kedua suaminya berada. Mencoba mengingat dari arah mana tadi taksi yang dia tumpangi masuk.
Hari sudah hampir sore, tapi dia tidak mungkin menunda kepulangannya. Terlebih jika dia harus menunggu di rumah itu. Bersama orang-orang yang memandangnya dengan tatapan hina.
Entah masih ada bis jurusan desanya atau tidak di terminal nanti. Atau mungkin dia akan duduk diam di terminal sampai pagi tiba.
*
Ina duduk di sebuah kedai pinggir jalan. Dipesannya segelas es teh jumbo. Mungkin itu bisa mendinginkan kepala. Hanya es teh. Ina tidak ingin memesan makanan. Karena bahkan dia tidak memiliki selera untuk makan.
Entah ke mana rasa laparnya pergi. Padahal terakhir kali dia memasukkan makanan ke dalam mulut, adalah pagi hari saat sarapan sebelum berangkat ke terminal tadi.
Mengambil nafas dalam-dalam kemudian membuang kembali. Memejamkan mata untuk mengusir sesak di dada. Tidak, Ina tidak mau seperti ini. Biar saja dia kehilangan suami, akan tetapi dia tidak mau menjadi lemah. Ada Andri yang menunggunya di rumah. Dia harus tetap bisa berdiri tegak apapun yang saat ini terjadi dalam hidupnya.
Ina berdiri setelah menghabiskan satu gelas besar es teh. Dia harus segera pergi ke terminal. Atau Dia akan semakin kemalaman di jalan.
Tiba-tiba saja Ina teringat kalau tadi menyimpan nomor pemilik taksi. Tidak ada pilihan lain. Daripada mencari angkot yang tidak tahu kapan akan dia dapatkan, dan bahkan dia juga tidak tahu, di tempat itu di mana bisa mencari angkot.
Tidak sampai lima belas menit menunggu. Taksi yang dia hubungi tiba. Dan benar-benar sopir yang tadi siang membawanya dari terminal Bungurasih ke komplek ini.
“Lalu setelah ini Ibu mau ke mana?” Tanya sopir taksi itu ketika mereka sudah dalam perjalanan ke Bungurasih.
“Saya mau kembali pulang ke desa, Pak. Sejujurnya saya datang ke kota untuk mencari suami saya. Tapi setelah kami bertemu, ternyata dia sudah menikah lagi. Dan bahkan ibu mertuaku juga sudah mengetahuinya, adik iparku saat ini juga sedang berada di rumah itu."
"Yang aku pikir adalah rumah majikan dari suamiku, ternyata itu adalah rumah istri keduanya. Ternyata suamiku pergi ke kota bukan untuk bekerja, melainkan untuk menikah lagi.”
Entah apa yang sedang terjadi padanya. Kenapa dia bisa begitu saja percaya pada orang yang baru saja ditemui. Bahkan dengan lancar Ina menceritakan sebuah masalah dalam hidupnya.
Masalah yang seharusnya adalah satu rahasia, yang seharusnya hanya boleh dia ceritakan pada keluarganya. Tapi kenapa tiba-tiba dia menceritakannya kepada orang asing. Sebegitu frustasi kah dia?
“Ini, Bu.” Sopir taksi itu mengulurkan beberapa lembar tisu yang dia ambil dari dashboard kepadaku. Mungkin karena melihat Ina menangis dan menghapus air mata dengan punggung tangan. Ina merasa dirinya terlalu cengeng. Bagaimana bisa dia menangis di hadapan orang asing.
“Tapi sebentar lagi akan malam Bu. Berapa lama perjalanan dari kota ini ke desa ibu? Kalau bus di terminal mungkin ada. Tapi bagaimana ketika ibu sampai di desa nanti. Mungkin tengah malam. Apakah rumah ibu dekat atau jauh dari tempat pemberhentian bus.”
Sesuatu yang tak pernah Ina pikirkan. Perhitungan seperti itu tidak masuk ke dalam otaknya beberapa saat lalu. Tapi sopir taksi itu dengan detail mempertanyakannya. Ya Tuhan kenapa tiba-tiba saja Ina juga jadi berpikir ke arah sana.
Sekarang sudah jam lima sore. Sedangkan dia masih belum sampai di terminal. Perjalanan dari terminal sini sampai ke terminal yang ada di desanya tadi siang memakan waktu selama lima jam. Itu artinya dia akan sampai di terminal Caruban ketika tengah malam. Itu pun jika sampai di Bungurasih nanti dia langsung mendapatkan bis. Dan itu juga jika tidak ada kendala dalam perjalanan.
Lalu setelah sampai di terminal nanti, apa dia langsung bisa mendapatkan ojek. Bagaimana jika tidak? Apa dia hanya akan duduk di terminal seperti orang hilang? Ya Tuhan kenapa ada hari seperti ini dalam hidupnya?
“Bagaimana jika Ibu naik travel saja. Kalau naik travel Ibu tidak perlu turun di tempat pemberhentian bus. Mobil travel bisa langsung mengantar Ibu sampai ke depan rumah. Hanya saja mungkin biayanya sedikit mahal.”
Ina memikirkan solusi yang baru saja diberikan oleh sopir taksi. Dan apapun itu, semua yang baru saja dikatakan oleh pria yang dia tafsir berusia sepantaran dengan Ranu memang benar adanya.
“Jika Ibu mau saya akan langsung mengantarkan Ibu ke tempat travel?”
Apa ada orang yang begini baik pada orang yang baru saja dikenalnya. Ina tidak mau suudzon pada orang yang bersikap baik padanya. Akan tetapi Ina tiba-tiba merasa takut. Bagaimana jika ternyata sopir taksi ini memiliki niat buruk padanya?
Akan tetapi semua sudah kepalang tanggung. Jika dia tidak mendapat niat buruk di sini, tetap saja dia juga akan terlunta-lunta di terminal nanti ketika dia tiba di sana saat tengah malam tiba. Dan keadaan di terminal di tengah malam tentu saja juga bukan sesuatu yang aman bagi seorang wanita sepertinya.
Ina bingung harus bagaimana ? Menerima tawaran sopir taksi itu menuju tempat travel, atau tetap mencari bus di terminal.
Ina memejamkan mata dan mengambil nafas dalam-dalam. “Bismillah,” ucapnya dalam hati. "Apapun itu semua sudah ku serahkan kepadamu ya Allah. Maka lindungilah aku dari kejahatan setan berwujud manusia." doanya.
Dua puluh menit perjalanan, taksi yang Ina tumpangi tiba juga di tempat travel yang dimaksud oleh pak sopir.
“Saya sudah menerimanya, Bu. Ambil saja ya buat pegangan ibu. Nanti Ibu gunakan saja untuk membayar travel.”
Ingin rasanya Ina menangis, sopir taksi yang bahkan tak dia kenal siapa namanya itu bahkan menolak ongkos yang dia berikan. Beralasan bahwa dia lupa menyalakan argonya. Tetapi yang ina tahu Itu hanya alasan karena dia ingin menolongnya Apakah dia tampak benar-benar begitu menyedihkan?
“Terima kasih ya, Pak. Saya tidak tahu apa saya memiliki kesempatan untuk membalas kebaikan Bapak. Tapi saya berdoa semoga Allah membalasnya dengan rezeki yang berlipat-lipat.” Ina memanjatkan doa sebagai ganti kebaikan dari sopir taksi itu.
“Sama-sama Bu. Hati-hati ya dalam perjalanan. Semoga perjalanannya lancar.”
Ina segera masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil travel yang berupa sebuah minibus itu sudah ada enam orang penumpang lainnya yang juga akan melakukan perjalanan searah dengannya.
Sebelum mobil travel yang dia tumpangi berjalan, Ina masih sempat mendengar sopir taksi itu berpesan kepada sopir travel, agar menurunkannya ketika sampai di depan rumahnya. Ya Tuhan dia itu manusia ataukah malaikat yang sedang menyamar.
***
“Itu benar-benar tidak perlu Bu. Ongkos travel benar-benar sudah dibayar oleh teman ibu yang tadi waktu sebelum berangkat.”
Ina benar-benar syok, ketika lewat dari tengah malam mobil travel yang dia tumpangi sampai di desanya dan tepat di depan rumahnya. Sopir travel menolak ongkos yang dia berikan, dan mengatakan bahwa ongkos sudah dibayar oleh sopir taksi yang tadi menolongnya.
Siapa sebenarnya sopir taksi itu? Kenapa dengan rela hati menolongnya, orang yang tak pernah dikenalnya.
ttp semngat thor/Good/
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅