Jangan lupa baca Eliziane yaa ❤️
Cinta lama belum usai, begitulah kebanyakan orang menyebutnya.
Farahdila putri, gadis cantik yang berprofesi sebagai pengacara di salah satu firma hukum, menerima tawaran untuk menjadi istri kedua dari laki-laki yang dulu pernah singgah di hatinya.
"Kita akan meraih Mawaddah bersama-sama" Begitulah kalimat Nadia, namun wanita cantik dengan titel Dokter itu tidak menyadari, bahwa tidak ada yang benar-benar adil dalam rumah tangga berpoligami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nittagiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Di ruang makan Nadia begitu bahagia menyuapi Al dengan penuh perhatian.
"Makan lagi Ra." Ucap Nadia sembari menyodorkan tempat lauk ke arah madunya.
Farah menggeleng, lalu mengusap lembut sudut bibirnya setelah meneguk setengah gelas air putih.
"Biar aku yang menyuapi Al, Mbak makan dulu." Jawab Farah lalu mengambil piring yang berisi sedikit nasi juga sup dari tangan Nadia.
Nadia tersenyum, lalu bertukar tempat duduk dengan Farah.
"Unda kenyang." Ucap Alfaraz dengan nada menggemaskan. "Antuk." Sambung bibir mungil itu lagi.
Farah tidak bisa lagi menahan dirinya, ia mengecup pipi menggemaskan putranya berulang kali.
"Farah duluan Bu, Yah." Pamit Farah.
Dimas mengangguk, sedangkan Anisa bangkit dari tempat duduknya, lalu ikut melangkah keluar dari ruang makan menuju kamar tidur yang biasanya di tempati Al jika menginap.
"Terimakasih Bu." Ucap Farah sebelum Ibu mertuanya melangkah keluar dari kamar tidur.
Anisa tersenyum, lalu mengusap lembut punggung menantunya.
"Jangan sungkan Ra, kamu juga anak Ibu." Jawabnya.
"Farah pikir Ibu marah, maaf sudah berprasangka buruk." Cicit Farah pelan.
Anisa kembali tersenyum lalu berpamitan pada Farah untuk kembali ke ruang makan.
****
Setelah memastikan putranya tidur dengan nyenyak, Farah keluar dari dalam kamar sambil membawa kotak obat Nadia yang ada di dalam tas perlengkapan putranya.
Saat menuruni satu persatu anak tangga menuju ruang keluarga, Farah melihat sekeliling ruangan, namun wanita yang sedang ia cari tidak ia temukan di dalam ruangan mewah itu. Langkahnya kembali berlanjut menuju dapur, berniat untuk mengambil air putih untuknya dan untuk Nadia minum obat.
"Sedang apa Ra ?"
Farah menghentikan tangannya sebentar, lalu menoleh menatap ke arah wanita yang sudah mengenakkan Piyama panjang lengkap dengan hijab.
"Mau ambil air minum buat Mbak Nadia minum obat Kak." Jawab Farah.
Zia mengangguk lalu tersenyum pada adik iparnya. Dia tahu tidak ada yang perlu di khawatirkan dari Farah dan Nadia, keduanya adalah wanita yang baik.
"Kakak juga mau ambil air minum ?" Tanya Farah.
"Iya, Kak Alard sering haus di tengah malam." Jawab Zia.
Farah mengangguk, lalu berpamitan kembali ke kamar bersama nampan yang sudah lengkap dengan dua gelas air putih juga kotak obat yang rutin di konsumsi oleh Nadia.
Kamar yang biasa Nadia tempati di rumah mertua mereka memang berada di lantai bawah, jadi Farah memilih melangkah menuju kamar Nadia lebih dulu untuk mengantarkan obat, barulah ia akan kembali ke kamar tempat putranya berada.
Langkahnya terhenti di ambang pintu, meskipun sekuat tenaga ia menahan tetap saja rasanya begitu sakit ketika lagi-lagi mendapati orang lain membicarakan tentang pernikahan mereka.
"Kan Tante sudah mengingatkan kamu Nad, rumah tangga poligami itu tidak ada yang benar-benar bisa mawaddah seperti yang kamu harapkan itu." Ujar Nina, kakak dari ibu Nadia.
Farah mengeratkan pegangan di nampan yang ada di dalam genggamanya.
"Insha Allah akan Jannah hingga ke Syurga Nya Tante, Nadia yakin kok."
Suara wanita baik yang selalu membelanya, membuat Farah semakin merasa serba salah. Memilih pergi salah, bertahan pun salah.
Nina mendengus kesal karena keponakannya selalu saja menjawab semua yang ia utarakan. Saat Rehan memperkenalkan Farah padanya beberapa tahun yang lalu, ia begitu menyukai gadis itu. Namun setelah mengetahui bahwa keponakannya ini meminta gadis yang sudah di anggap adik oleh putranya, untuk menjadi istri kedua, dan Farah pun menerimanya membuat rasa tidak suka mulia muncul di hatinya.
Pernikahan Nadia sekarang, kembali mengingatkan bagaimana penderitaan Anisa dulu, dan itu membuatnya sangat geram. Terlebih lagi melihat kondisi kesehatan keponakannya yang semakin menurun, membuat ia semakin tidak bisa menerima keberadaan Farah.
"Di mana-mana istri kedua itu nggak ada yang benar Nad." Ucapnya kesal lalu meninggalkan keponakannya di dalam kamar tidur.
"Tante, aku yang memaksanya masuk dalam rumah tanggaku, Mama dan Papa pun tidak keberatan dengan itu. Ku mohon, jangan mengusik Farah." Ucap Nadia, namun wanita paruh baya itu terus melangkah pergi dari dalam kamar.
Farah yang masih mematung sambil menggenggam nampan dengan dua gelas air putih juga obat yang bisanya di minum oleh Nadia sebelum tidur, hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar.
Bahkan wanita paruh baya yang baru saja mengucapkan kalimat menusuk hatinya, hanya melewatinya begitu saja tanpa merasa bersalah.
"Ra, jangan di masukin dalam hati ya." Pinta Nadia.
Farah mengangguk, lalu melangkah msuk ke dalam kamar Nadia. Nampan yang ada di tangannya, ia letakkan perlahan di atas nakas.
"Minum obat dulu Mbak." Ucapnya sembari membuka kotak yang berisi obat-obatan milik Nadia.
Nadia mengangguk patuh, lalu meraih beberapa pil obat yang di sodorkan oleh Farah.
"Mbak senang kamu memutuskan untuk datang kesini, setelah Mbak pergi kamu harus terus bawa Al datang ke sini ya Ra." Ucap Nadia sambil mengusap lembut punggung tangan Farah.
"Mbak tidak boleh pergi, hanya Mbak yang membuatku tetap bertahan berada di sini." Tegas Farah.
"Hei, kamu tahu kan apa alasan Mbak membawa mu ke sini. Kamu harus menjaga Al dan Zidan dengan baik saat Mbak tidak ada, hanya itu yang Mbak mau." Ucap Nadia pelan.
Air mata mulai menetes membasahi wajah Farah, namun Nadia hanya tersenyum manis sambil mengusap lembut pipi wanita yang sudah seperti adik nya sendiri.
"Al sudah tidur ?" Tanya Nadia mengalihkan suasana yang ikut membuatnya sesak.
Farah mengangguk, namun buliran bening masih saja menetes dari pelupuk matanya.
"Kamu juga istirahatlah, kita pulang besok usai sarapan." Ucap Nadia. "Dan bersihkan air matamu itu, nanti Ayah dan Ibu mertua kita mengira, kita habis jambakan di dalam kamar." Ujar Nadia terkekeh lucu.
Farah hanya bisa ikut tertawa lucu bersama dengan air mata yang masih menggenang.
"Terimakasih Mbak karena sudah memberiku kesempatan berharga ini." Ucap Farah, lalu berpamitan untuk kembali ke kamar di mana putra mereka berada.
*****
Zidan membuka pintu kamar di mana putra dan Farah berada. Seutas senyum melengkung di bibirnya, saat melihat dua orang yang sangat ia cintai itu, begitu tenang dalam lelap mereka.
Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda hari ini di ruang kerja miliknya, Zidan melangkahkan kakinya menuju lantai dua di mana kamar yang selalu di pakai putranya untuk beristirahat berada.
Langkah kakinya berhenti di sisi ranjang. Dua wajah yang terlihat mirip itu sudah tertidur nyenyak dengan lampu kamar yang masih menyala. Istri keduanya ini mungkin lupa mengganti lampu tidur.
Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi menggemaskan Al, lalu menuju wajah Farah. Beberapa anak rambut yang selalu tertutup hijab itu, ia usap dengan perlahan agar tidak mengganggu tidur lelap pemiliknya.
"Maafkan aku." Gumamnya pelan.
Seluruh bagian wajah Farah, di sentuhnya dengan lembut. Bibir yang selalu membuatnya gila, ia usap dengan jemarinya.
"Aku masih mencintaimu Ra." Ucapnya lagi.
Entah berapa lama waktu yang ia habiskan di sisi ranjang tempat istri dan putranya terlelap. Kalimat yang selalu tercekat di tenggorokan, kini ia utarakan di depan wanita yang begitu lelap dalam mimpi indahnya.
Kata-kata penuh cinta yang dulu belum sempat tersampaikan, ia utarakan dengan sepuasnya. Jari manis Farah yang masih memakai cincin pernikahan mereka, ia kecup lembut.
Rasa bersalah mengusik, karena cincin yang serupa dengan Farah kenakan hanya bisa ia simpan di dalam saku, dan membawanya kemana pun ia pergi.
Wajah cantik milik wanita yang siang ini merusak konsentrasinya di kantor ia kecup tanpa ada yang terlewat.
Hampir dini hari, barulah Zidan melangkah keluar dari kamar di mana Farah berada. Senyum masih terlihat di wajahnya, karena puas menatap wajah wanita yang masih memenangkan seluruh hatinya itu.
Perasaanya lega karena sudah mengutarakan semua rasa yang sekian tahun tertahan di dalam dada, meskipun orang yang ingin ia ungkapkan seluruh rasa yang ada di dalam dada, tidak akan dapat mendengarnya.
dan ini sik farhan di sinopsis kan dia berpropesi sebagai pengacara ..ya udah tinggalin aja dulu suamimu toh kamu punya penghasilan ..