Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minuman Pertama yang Dia Buat untuknya
Meskipun Ilham itu bos di sini, dia juga kenal sama anak muda bernama Zul (si keluarga Shen). Keluarga Shen itu gede banget, berpengaruh di kota Lin, hampir semua orang pasti tahu atau kenal mereka. Apalagi kalau putra mahkota keluarga Shen ikut turun tangan buat ngurusin masalah ini, ya mending dia gak usah ikut campur deh, biar gak bikin masalah.
“Brengsek, lo tau nggak siapa gue?” Pria gede itu masih tergeletak di lantai, jatuhnya keras banget. Semakin gede tubuhnya, makin keras dia jatuh. Tapi mulutnya gak berhenti ancam-ancam.
Zul ketawa lebar, sengaja injek dada si pria itu di depan banyak orang. “Kakek gue namanya Shen, terus lo bisa apa?”
“Emang kenapa kalau namanya Shen? Lo pikir hebat? Lo tau gak berapa banyak orang yang kerja buat gue?” Pria gede itu masih ngeyel.
Tiba-tiba dua cowok pake baju hitam masuk dari kerumunan, rambutnya dicat warna-warni berantakan. Mereka langsung turun dan angkat si pria gede itu.
“Kak, mending kita cabut aja. Itu anak kecil dari keluarga Shen, kita gak bisa berurusan sama dia.”
“Dari keluarga Shen mana?” Pria gede itu nanya sambil diem, “Yang di sebelah timur kota itu?”
Ngeliat adiknya ngangguk cepet, si pria gede itu akhirnya sadar siapa yang udah dia tantang.
“Tunggu,” Zul tiba-tiba ngomong, ngedorong mereka yang mau pergi. “Inget muka cewek ini, inget, dia di bawah perlindungan gua!!!.”
Si pria gede itu langsung nyerah dan diem-diem ngebiarin adiknya bantu dia jalan pincang keluar.
Di sisi lain, tepuk tangan dan sorakan ramai banget di ruangan, entah itu buat semangatin pemenang atau malah ngeledekin yang kalah.
Musik kembali keras banget, suara musiknya bikin orang-orang di sekitar jadi makin semangat.
Selama nonton pertunjukan, tangan Chira gak pernah diem. Waktu Zul nunduk, bersandar satu tangan ke wajahnya, senyum nakal ke arah Chira, dia pelan-pelan dorong segelas minuman rainbow tujuh warna ke arah Zul.
Sekarang kan banyak banget variasi koktail, salah satunya Rainbow Seven Colors. Dari bawah ke atas, warnanya merah, ungu, hijau, kuning, biru, putih, dan oranye.
“Untuk lo,” kata Chira sambil kasih minuman itu ke Zul dengan muka datar.
“Jadi ini ucapan terima kasih gitu?” tanya Zul.
“Kalo lo anggap gitu, ya udah,” jawab Chira tanpa ekspresi.
Suasana makin keras sama musik yang menggema. Di bawah cahaya lampu merah, ungu, biru yang nyilang, Chira ngeliat bibir Zul gerak-gerak, seolah ngomong sesuatu. Tapi karena musiknya kebanyakan, dia gak bisa denger jelas.
Ngeliat ekspresi bingung di wajah Chira, Zul tiba-tiba ketawa. Rambut hitamnya berantakan di dahi, senyum lebar dengan gigi putihnya bikin dia makin cakep. Beberapa cewek di sekitar pada terpana sama senyumannya.
Zul masukin sedotan ke minuman, seruput sedikit, terus suarain lebih keras. “Chira, kan?”
“Mm…,” jawab Chira, gak ngangkat kepala dan tetep sibuk urusin urusannya.
“Malam-malam gini lo yang masih muda malah keluar kerja? Keluarga lo gak khawatir?” tanya Zul dengan nada perhatian.
Chira berhenti sejenak, terus jawab datar, “Kenapa? Itu urusan lo?”
“Tentu aja urusan gue,” jawab Zul santai. “Gue kan peduli sama temen baru.”
“Thanks, tapi gak perlu,” jawab Chira tanpa minat.
Zul jarang ketemu cewek yang gak peduli sama dia, dan itu malah bikin dia tambah tertarik.
“Chira, lo tinggal dimana? Nanti gue antar pulang, ya?”
Chira akhirnya ngeliat dia, tapi cuma dengan tatapan dingin, terus bilang, “Bisa gak lo lebih tenang sedikit?”
Zul diem, gak tau harus ngomong apa.
Waktu Zul gagal ngegombal, Fajar ngeliat semuanya dengan jelas. Meski gak denger, dia bisa nebak apa yang mereka omongin.
“Mas bro, gimana? Gagal ngegombal?” tanya Fajar sambil senyum nakal.
Zul gak pernah gagal dalam urusan gombal, biasanya malah orang lain yang gagal ngegombalin dia.
“Lo seneng banget liat gue susah, ya?” Zul tatap dia tajam, bikin Fajar langsung diem dan gak lanjut bercanda.
“Bukan gitu, mas bro. Gue cuma mau nanya, menurut lo gimana cewek baru itu?” tanya Fajar.
“Menarik juga,” jawab Zul dengan jujur.
Ngeliat ekspresi Zul, Fajar ngerasa kayak ngeliat cewek muda yang bakal jatuh terpesona sama pesona Zul. Dia gak bisa nahan diri buat ngeluarin napas dalam-dalam.
Tapi dia gak tau siapa yang bakal menang di akhirnya nanti.
Kerjaan ini bikin dia harus kerja sampai jam dua pagi, dan Chira udah biasa begadang.
Pas selesai kerja, ada yang manggil dari belakang, “Chira, gue anter pulang, ya.”
Chira nengok dan liat cowok yang tadi bantuin dia keluar dari situasi awkward.
“Gak usah, gue bisa pulang sendiri,” kata Chira sambil senyum, “Oh iya, makasih bantuannya tadi.”
Cowok itu garuk-garuk kepala sambil malu-malu, “Gak banyak yang bisa gue bantu sebenernya.”
“Nama lo siapa?” tanya Chira.
“Ripal.”
“Ripal?” Chira senyum, “Lo gak punya saudara namanya Alpin, kan?”
“Lah kok lo tau? Gue emang punya abang kembar namanya Alpin.”
Chira: “…”
“Ripal, lo juga cepetan pulang ya. Gue cabut duluan,” kata Chira sambil nyalain skuter kecilnya dan pergi.
Dia emang udah biasa begadang, tapi kadang-kadang tetep ngantuk juga. Apalagi, udah lama banget dia gak tidur selarut itu. Akibatnya, besoknya pas sampe sekolah, dia ketiduran di pelajaran pertama dan sukses bikin kesan buruk di mata guru bahasa.
“Chira, malem lo ngapain sih? Kok ngantuk banget,” temen sebangkunya, Nabila, bisik-bisik di telinganya pas jam istirahat.
“Gak ngapa-ngapain, ntar juga gue gak ngantuk lagi.”
Dari belakang, Fajar gak tahan buat nyela, “Bila, jangan ganggu temen sebangku lo tidur. Orang lain kan gak sama kayak lo, yang sehari-hari cuma makan, minum, buang air, sama tidur.”
“Dasar Fajar! Bisa gak ngomong baik-baik, harus niru babi, dan itu pun terdengar jelek banget.” Nabila emang ceplas-ceplos dan jago balesin.
“Nabila, gue lagi good mood hari ini, jadi gue males ribut sama lo. Tapi temen sebangku lo ini, dia bukan orang biasa, lho.”
Liat Fajar yang omongannya udah mulai gak jelas, Chira akhirnya ngangkat kepala, ngeliatin dia lama-lama. “Lo tadi mau bilang apa sebenernya?” tanya Chira.
Fajar jadi agak panik ditatap sama mata hitam itu, buru-buru jawab, “Cuma becanda, jangan dianggap serius.”
Untungnya, Nabila yang santai gak mikir aneh-aneh soal suasana awkward di antara mereka.
Dan Chira bukan satu-satunya yang ketiduran di pelajaran pertama, karena Zul juga. Bedanya, Zul jauh lebih santai, langsung masuk kelas tepat pas bel pelajaran kedua bunyi.
Dia jatuhin tas selempangnya, bersandar santai di kursinya, bener-bener keliatan berwibawa dan ganteng banget.
Banyak cewek di depan gak tahan buat lirik ke belakang, ngerasa hatinya deg-degan, terus nunduk malu.
Zul ini, meski terkenal playboy, tapi emang playboy yang berkelas. Dengan ketampanan dan karismanya, dia cuma butuh satu pertandingan basket buat bikin para cewek ngepung lapangan.
Gak kasih kesempatan buat yang lain sama sekali.
Tapi, Chira sama sekali gak buang-buang pandangan ke dia. Fokusnya penuh ke buku latihan di mejanya. Dia mulai sekolah sekitar sebulan lebih telat dari yang lain, jadi bukan cuma materi pelajaran, tapi latihan soal pun dia harus kejar.
Pelajaran kedua adalah fisika, dan Chira ngelewatin pelajaran ini dengan setengah dengerin guru dan setengah ngerjain soal.
“Rara, lo tau kan kita ada ujian bulanan hari Jumat dan Sabtu nanti?” tanya Nabila pas istirahat, liat Chira yang serius ngerjain soal.
“Jumat dan Sabtu?” Chira mikir sebentar, terus sadar kalo jadi anak kelas tiga, dia udah gak punya yang namanya libur akhir pekan.
“Iya, tapi dari cara lo belajar, kayaknya nilai lo dulu cukup bagus, ya?”
Chira senyum tipis, “Dulu nilainya gak terlalu bagus.”
“Gimana mungkin? Gue udah merhatiin lo sejak lama. Lo langsung nulis begitu baca soal. Rara, jujur, lo dulu dari sekolah mana?”