Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Meminta Bantuan
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Airin menunduk, menatap jemarinya sendiri yang mulai gemetar pelan, sementara Kaivan tampak termenung.
“Aku tidak berencana meninggalkanmu,” ujar Kaivan akhirnya, suaranya terdengar tenang tapi dingin. “Tapi aku juga tidak bisa menjanjikan apa pun. Hidup ini penuh ketidakpastian.”
Jawaban itu membuat Airin terpaku. Meskipun Kaivan berkata tidak akan pergi, nada suaranya yang dingin dan sikapnya yang tetap berjarak justru membuat hatinya semakin gelisah. Ia menelan ludah, berusaha tersenyum meskipun hatinya gamang. “Kalau begitu, aku hanya bisa mencoba menjadi istri yang baik untuknya. Jika dia pergi, setidaknya aku sudah melakukan yang terbaik,” pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Kaivan tiba-tiba menghela napas pelan. Ia menyentuh tangan Airin yang sedang mengancingkan kemejanya, membuat wanita itu terkejut. “Airin,” ucapnya lembut, meski ada nada serius di dalamnya. “Ada beberapa hal yang lebih baik tidak kau ketahui untuk saat ini. Aku akan memberitahumu… jika waktunya sudah tepat.”
Airin mengangkat wajahnya, menatap Kaivan yang terlihat tenang seperti biasa. Meski ada keteguhan dalam ucapannya, ia bisa merasakan sesuatu yang disembunyikan pria itu. “Baik, Kak. Aku mengerti,” jawabnya pelan.
Tanpa berkata lebih, ia kembali menyelesaikan kancing kemeja Kaivan, sementara pikirannya masih dipenuhi rasa takut kehilangan. Di sisi lain, Kaivan merasakan dorongan aneh untuk melindungi wanita itu, sebuah dorongan yang datang bersamaan dengan rahasia besar yang ia tahu suatu saat harus ia ungkapkan.
***
Kaivan duduk di tepi ranjang setelah selesai mengenakan pakaian. Ia membiarkan Airin pergi keluar kamar, sementara pikirannya mulai tenggelam dalam gumaman batin yang tak terhindarkan.
"Airin mulai curiga… jam tangan itu pasti yang membuatnya bertanya-tanya siapa aku sebenarnya." Kaivan menarik napas panjang, menundukkan kepala. Jemarinya meremas pelan, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai menghimpit dadanya.
"Aku tahu dia tulus… setidaknya sampai sekarang. Tapi kalau dia tahu aku ini anak konglomerat, apa dia akan tetap seperti ini? Apa semua perhatian dan kepeduliannya tetap murni? Aku tidak yakin."
Senyum getir terulas tipis di wajahnya, namun segera memudar. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika barang mewah hanyalah bagian kecil dari hidupnya yang penuh kemudahan.
Sebagai pewaris konglomerat, ia terbiasa dengan citra kekuasaan dan kemandirian. Namun, kondisi kehilangan penglihatannya membuatnya merasa seolah kehilangan kendali atas hidupnya.
Dalam diam, ia merenung, apakah menyembunyikan identitas adalah satu-satunya cara untuk melindungi harga dirinya dari rasa malu karena ketidakmampuannya saat ini?
"Andai saja aku tidak terdesak waktu itu… andai pengobatan mataku tidak begitu mendesak, aku tidak akan menjual jam tangan itu," pikirnya pahit. "Tapi apa boleh buat… kalau terlambat, aku bisa buta permanen. Aku tidak punya pilihan lain."
Mengingat keputusan menjual jam tangan yang dulu biasa ia pakai tanpa berpikir panjang, Kaivan tersenyum getir lagi. "Untung saja aku hanya memakai jam tangan yang harganya dua ratus juta. Kalau aku memakai yang harganya dua puluh juta dolar… astaga, mana mungkin aku bisa menjualnya di toko biasa seperti itu. Mereka pasti akan langsung tahu aku bukan orang sembarangan."
Namun, di balik senyumnya yang pahit, ada rasa lega. Dalam kondisi ini, Kaivan merasa diberi kesempatan untuk menjauh sejenak dari dunia penuh tekanan dan kepalsuan yang ia kenal. Menutupi identitasnya memungkinkannya untuk merasakan kehidupan yang lebih sederhana dan nyata, jauh dari tuntutan dunia lama yang selalu menekannya. Setidaknya, di sini, ia bisa memulai hidup baru tanpa embel-embel nama besar atau status.
"Aku ingin melihat sejauh mana ketulusan Airin," pikirnya sambil menatap samar ke arah pintu. "Aku ingin tahu, apakah dia benar-benar mencintai aku apa adanya, atau hanya karena… siapa aku."
Ia juga teringat Nenek Asih, sosok tua yang selalu memperlakukannya seperti keluarga. Meski hatinya ingin percaya pada ketulusan mereka, bayangan ketakutannya terhadap kepalsuan sulit sepenuhnya ia singkirkan. Kaivan memilih bersikap hati-hati, menjaga rahasia tentang siapa dirinya sebenarnya, sambil diam-diam mengamati ketulusan dan niat baik Airin serta Nenek Asih.
Mengingat Airin yang mengungkapkan rasa takutnya kehilangan dirinya tadi, hati Kaivan berkecamuk dalam kebimbangan. Ia menghela napas berat, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang bercampur aduk. "Aku ingin melindunginya... tapi aku juga ingin dia tahu bahwa hidupku bukan seperti yang dia bayangkan. Hanya saja, belum saatnya."
Tatapan Kaivan kembali fokus, meski masih samar. Ia meraba matanya yang mulai menunjukkan perkembangan setelah pengobatan kemarin. Dalam hatinya, ia bertekad. "Untuk saat ini, biarlah semuanya tetap seperti ini. Aku harus melihat lebih jauh siapa Airin sebenarnya. Waktunya belum tepat untuk dia tahu kebenaran tentang siapa aku sebenarnya."
***
Airin duduk di samping Nenek Asih sambil menyeruput teh hangat yang baru saja dibuatnya. Dengan nada lembut, ia berkata, "Nek, Kak Ivan setuju kalau aku buka warung kelontong di depan rumah. Aku berharap ini bisa membantu perekonomian kita."
Mendengar itu, Nenek Asih tersenyum, wajahnya terlihat lega. "Syukurlah, Nak. Nenek senang mendengar itu. Ivan memang suami yang baik, selalu mendukungmu," ucapnya sambil menepuk tangan Airin penuh kasih.
Namun, sesaat kemudian senyum Nenek Asih memudar. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan ia menatap Airin dengan raut khawatir.
Melihat perubahan ekspresi neneknya, Airin segera bertanya, "Ada apa, Nek? Kenapa Nenek tiba-tiba terlihat khawatir?"
Nenek Asih menghela napas panjang sebelum menjawab, "Nenek hanya takut, Nak. Juragan Wongso... dia pasti tidak akan tinggal diam. Nenek khawatir dia akan menghalang-halangi usahamu."
Airin terdiam mendengar itu. Ia tahu betul bagaimana sifat licik Wongso yang selalu merasa memiliki hak atas dirinya. Namun, ia tidak ingin menyerah pada ketakutan. Setelah beberapa saat berpikir, ia menatap neneknya dengan tatapan penuh tekad.
"Nek, bagaimana kalau aku meminta bantuan pada Bu Warti dan Pak Suryo? Mereka pasti bisa membantu kita jika Wongso mencoba mengganggu."
Wajah Nenek Asih kembali cerah mendengar ide itu. Ia mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus, Nak. Bu Warti dan Pak Suryo orang yang berpengaruh di desa ini. Jika mereka mau membantu, Wongso pasti akan berpikir dua kali sebelum berbuat macam-macam."
Airin tersenyum, merasa lega melihat neneknya kembali tenang. "Baik, Nek. Aku akan menemui mereka dan membicarakan hal ini," ucapnya, menegaskan niatnya.
Nenek Asih memeluk Airin erat. "Nenek bangga padamu, Nak. Kamu memang gadis yang kuat."
Airin membalas pelukan neneknya, merasa dukungan ini memberinya kekuatan lebih untuk menghadapi segala rintangan.
Airin berjalan cepat menuju rumah Bu Warti, dengan langkah penuh tekad. Begitu sampai, ia mengetuk pintu kayu sederhana itu. Tak butuh waktu lama, pintu dibuka, dan Bu Warti muncul dengan senyum ramah di wajahnya.
"Airin? Masuk, Nak. Ada apa pagi-pagi begini?" tanya Bu Warti sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu.
Airin mengangguk sopan dan masuk. "Bu, maaf kalau saya mengganggu. Tapi ini soal penting," katanya, nada suaranya serius.
Bu Warti mengernyit penasaran. "Ada apa, Nak? Ceritakan saja."
Airin mengambil napas dalam sebelum menjelaskan, "Bu, saya dan Kak Ivan ingin membuka warung kelontong di depan rumah. Tapi saya khawatir Wongso akan mencoba menghalangi usaha kami. Saya datang ke sini untuk meminta bantuan Ibu dan Pak Suryo."
Mendengar itu, Bu Warti terdiam sejenak. Ia melirik suaminya, Pak Suryo, yang sedang duduk di kursi dekat jendela, seolah meminta pendapat.
Pak Suryo menghela napas, lalu menatap Airin dengan penuh kebijakan. "Airin, ini bukan masalah kecil. Wongso sudah terlalu lama membuat warga takut. Kalau kita hanya melindungimu tanpa menyelesaikan masalahnya, dia akan terus berbuat seenaknya."
Airin menatap Pak Suryo dengan bingung. "Maksud Pak Suryo, bagaimana?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso