"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panti Asuhan
Mobil Gina sudah berhenti selama sepuluh menit di pekarangan tempat yang lumayan luas itu, namun baik dirinya ataupun Nadia yang sedang duduk di sampingnya tak kunjung menunjukkan gestur akan turun dari mobil.
"Kita bakalan tetap di sini?" tanya Gina memecah keheningan antara mereka berdua. Jujur dia sudah mulai bosan menunggu.
Nadia yang tadinya menunduk kini mendongak menatap Gina dengan tatapan takut, gelisah dan bingung secara bersamaan.
"Dia juga pasti kangen banget sama kamu, Nad. Aku yakin dia pasti bakalan seneng banget ketemu saja kamu," kata Gina mencoba meyakinkan Nadia dengan memegang tangan wanita itu. Gina seakan tengah memberikan kekuatan pada Nadia agar mau bergerak.
Gina sama sekali tidak berniat untuk memaksa Nadia. Dia hanya ingin sahabatnya itu melupakan perasaan bersalahnya. Gina ingin menunjukkan pada Nadia jika dengan menghadapi rasa takut itu maka dirinya akan lebih tenang.
"Ayolah, Nadia," bujuk Gina mengelus tangan Nadia dengan lembut.
Nadia menghela napas berat dan akhirnya mengangguk setuju. Lagipula dia sudah ada di sana. Tidak mungkin dia kembali tanpa bertemu dengan sosok yang begitu dia rindukan selama ini. Kendati demikian Nadia tidak pernah berniat ingin menemuinya. Yah ... karena perasaan bersalah itu. Dia ada di sana saat ini pun, Nadia berpikir jika itu sudah menjadi bagian takdirnya yang selama ini tak pernah terpikir olehnya.
Tok...tok...tok.
"Permisi!" kata Gina sembari mengetuk pintu.
"Iya, sebentar!" sahut seorang wanita dari arah dalam.
Tidak butuh waktu lama pintu yang sebagian besar terbuat dari kaca tersebut terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya.
"Selamat sore, Bu Lia!" sapa Gina begitu pintu itu terbuka.
"Astaga! Gina! Nadia!"
Wanita paruh baya bernama Lia itu langsung memeluk Gina kemudian Nadia. Wajahnya tidak bisa berbohong, dia sangat bahagia menyambut kedatangan dua wanita itu. Sebab secara tidak langsung Lia memang selalu menantikan kedatangan mereka berdua.
Dan di sinilah mereka sekarang, di ruang tamu yang begitu luas dengan berbagai macam jenis mainan anak-anak yang dibiarkan berserakan di lantai.
Lia tak mengalihkan pandangannya dari Nadia sembari tersenyum lebar. Dia tampak begitu senang melihat Nadia di sana.
"Akhirnya kamu kembali lagi ke sini, Nadia," ujar Lia hampir menangis. Itu bukan sebuah sindiran melainkan rasa syukur. Lia ingat betul bagaimana Nadia mengatakan dulu jika dirinya mungkin tidak akan kembali ke sana lagi.
Namun entah kenapa Lia selalu yakin jika wanita itu akan datang. Dan hari ini pun menjadi harinya.
"Iya, Bu. Kayaknya takdir gak ngebiarin saya meninggalkan Eligra selamanya," ujar Nadia membuat mereka tertawa kecil.
"Bahkan sekarang Nadia menikah dengan orang Eligra loh, Bu," tambah Gina.
"Oh ya?" Lia terlihat tidak menyangka. "Apakah dengan---"
"Enggak. Dengan orang lain," potong Nadia dengan cepat.
Suasana yang tadinya ceria tiba-tiba menjadi canggung. Lia hampir saja membahas sesuatu yang tidak seharusnya dibahas. Wanita itu memasang senyum yang terlihat begitu dipaksakan. Dia merasa tidak enak.
"I-itu justru lebih baik," kata Lia berharap agar Nadia tidak terlalu memikirkan apa yang hampir dia katakan. Meski itu mungkin sulit sebab Nadia menunduk di sana.
"Oh iya, Bu Lia," Gina mencoba mengalihkan pembicaraan. "Yuna di mana?" tanyanya.
Mendengar nama Yuna disebut membuat tubuh Nadia seketika gemetar. Apakah dia sungguh sudah siap?
Lia menatap ke arah Nadia terlebih dahulu memperhatikan ekspresi wanita itu.
"Dia lagi di taman belakang. Main sama temen-temennya," jawab Lia menoleh ke arah Gina sambil tersenyum tipis. "Kalian mau ketemu Yuna?" tanya Lia kemudian.
Gina mengangguk sebagai jawaban. Lia lebih dulu berdiri diikuti oleh Gina yang kemudian menggenggam tangan Nadia.
"Ayo, Nad," kata Gina tersenyum sambil menggenggam erat tangan Nadia. Jujur Nadia masih ragu namun kakinya tetap melangkah mengikuti Gina dan Lia yang sudah lumayan jauh di depan mereka.
Saat sampai di halaman belakang rumah besar tersebut, ketiga wanita itu disambut dengan pemandangan yang begitu hangat di mana para anak-anak panti asuhan sedang bermain bersama. Tawa mereka terdengar begitu renyah membuat orang-orang yang mendengarnya akan ikut tersenyum. Mereka tampak begitu bahagia
"Yuna!" panggil Lia.
Anak perempuan dengan rambut yang dikuncir dua itu menoleh ke arah mereka. Gadis kecil itu tersenyum lalu berlari ke arah mereka dengan begitu senangnya.
"Tante Gina!" teriaknya merentangkan tangan. Gina kemudian berjongkok menyambut kedatangan Yuna yang langsung melompat ke dalam pelukannya.
"Hai, Yuna! Tante kangen banget sama kamu," ujar Gina yang kini telah berdiri dengan Yuna berada dalam gendongannya.
"Yuna juga kangen sama Tante Gina," jawab Yuna terdengar begitu manja dan lucu, layaknya anak kecil yang bahagia pada umumnya. Meski dirinya besar dan tumbuh di panti asuhan, Yuna tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang sebab para pengurus panti sangat menyayangi semua anak-anak di sana.
"Tante Gina dateng bareng siapa?" Tatapan Yuna tertuju pada Nadia yang sudah sejak tadi memperhatikannya sembari menahan air mata agar tidak jatuh saat itu juga.
Gina tak langsung menjawab. Dia menurunkan Yuna dari gendongannya kemudian berjongkok kembali.
"Yuna gak mau ajak kenalan langsung?" tanya Gina.
"Mau!" jawab Yuna antusias.
Gadis kecil itu pun menatap Nadia dengan mata bulatnya yang begitu jernih.
"Halo, Tante. Kenalin aku Yuna. Nama tante cantik siapa?" tanya Yuna begitu ramah sembari mengulurkan tangannya dengan sopan. Bahkan dia dengan luwesnya memanggil Nadia cantik. Sungguh anak yang sangat pintar.
Nadia hampir saja kehilangan kontrol pada dirinya. Dia menarik napas panjang kemudian ikut berjongkok di depan Yuna memasang senyum manis.
"Nadia," jawabnya menjabat tangan kecil Yuna.
"Oh, Tante Nadia. Cantik banget ya namanya kayak orangnya." Yuna tertawa kecil setelahnya. Padahal dia yang memuji tapi malah dia yang salah tingkah. Demi apapun itu sangat lucu.
"Yuna juga cantik banget." Nadia mengusap lembut pipi Yuna yang gembul dan sedikit berwarna merah muda.
"Makasih, Tante Nadia," jawab Yuna semakin salah tingkah. Wajahnya bahkan semakin memerah di sana.
"Boleh gak Tante meluk Yuna?" tanya Nadia dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dadanya sudah sangat sesak sekarang. Apa yang mengganjal di sana ingin segera dituntaskan.
"Boleh dong!" jawab Yuna tanpa ragu langsung memeluk Nadia.
Nadia merasa telah memeluk dunianya kembali. Bahkan dia tak lagi sanggup menahan air matanya. Tidak. Itu bukan air mata kesedihan. Itu air mata kebahagiaan sebab setelah sekian lama akhirnya Nadia bisa melepas rindu pada Yuna.
Tak hanya Nadia, Gina dan Lia pun ikut terharu menyaksikan momen membahagiakan ini.
"Loh, kok Tante Nadia nangis?" tanya Yuna yang menyadari jika Nadia tengah menangis di tengah pelukan mereka. Yuna melepaskan pelukannya cepat. Nadia belum sempat menghapus air matanya di sana namun dia tetap mencoba tersenyum.