15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06 - Terciduk si Kakek
"Ayo!" baru saja Steven hendak melepas sabuk pengamannya, Rimba langsung memegang tangan Steven dengan tangan kirinya, membuat perasaannya sedikit berdesir.
"Pliss, Pak. Saya nggak mau diobatin disini," kali ini untuk pertama kalinya seorang Rimba memohon kepada orang yang baru dikenalnya.
Steven menangkap manik mata Rimba yang pernah dilihatnya beberapa waktu silam. Benarkah anak itu adalah dia yang sudah menjelma menjadi gadis ceria nan tomboi ini?
"Pak! Pak dosen!" panggil Rimba membuyarkan lamunan Steven.
"Ya?" Lelaki itu mengerjap kaget.
"Bawa saya pergi dari tempat ini Pak! saya janji saya akan secepatnya lunasin yang 4 juta itu kalau Bapak segera bawa pergi saya dari sini," ucap Rimba.
"Kamu yakin?" tanya Steven memastikan kondisi gadis itu.
"Iya Pak, saya akan segera bayar yang 4 juta itu secepatnya," sahut Rimba kembali menegaskan.
"Bukan itu yang saya maksud, tapi luka kamu," kata Steven meluruskan.
Mendengar hal itu Rimba jadi malu sendiri. "Oh, Iya Pak, saya udah nggak apa-apa. Robek kaya gini mah udah biasa, asal jangan kepala aja yang luka, karena nggak ada gantinya," jawabnya.
"Maksudnya?" Steven mengernyit bingung.
"Maksudnya, kalau tangan atau kaki di amputasi pun masih ada tangan dan kaki palsu yang gantiin. Tapi kalau kepala? emang ada kepala palsu?" ujar Rimba, dan sukses membuat lelaki yang terlihat selalu serius itu tertawa.
"Tapi tetap saja luka kamu itu harus diobati, Rim. Bisa infeksi kalau dibiarin," ujar Steven terdengar seperti sudah akrab dengan gadis itu.
Rimba hanya mengangguk diam. Akhirnya Steven memutar stir mobilnya dan berbelok keluar lagi. Ia mengabulkan permintaan sang gadis.
Steven terpaksa membawa Rimba ke rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah sakit tadi untuk mengobati lukanya. Dengan telaten Steven membersihkan kotoran yang terdapat dalam luka ditangan Rimba, ia menggunakan pinset yang sudah disterilkan dengan alkohol. Dengan hati-hati, lelaki itu mengambil kotoran seperti kerikil kecil dari aspal jalan yang menempel pada luka. Setelah itu ia mengoleskan krim antibiotik jenis neosporin ke luka Rimba untuk mencegah timbulnya infeksi.
Hening. Steven lebih sibuk menatap ke arah luka disekitar lengan Rimba, fokus mengobati. Sedangkan Gadis itu terlihat masih ragu untuk memulai pembicaraan. Dilihatnya wajah sang dosen yang menunduk mengobati. Sadar, ternyata benar apa kata Ellena. Garis-garis tampan anugrah Tuhan tercipta disana.
Rimba hampir saja tersedak saat Steve yang tengah mengobati lukanya itu tiba-tiba saja mendongak menatapnya. Memergokinya yang tengah asik menikmati pahatan sempurna Tuhan secara cuma-cuma. Napas Rimba bagai ditahan ditenggorokan, apalagi tatapan tajam Steven yang berusaha merobek pertahanannya.
"Udah selesai, obatnya nanti kamu bawa aja. Nanti malam kamu olesi lagi sebelum tidur," saran Lelaki itu sambil menegakkan kembali tubuhnya.
"Terima kasih," gumam Rimba. "Kalo gitu saya langsung pulang aja Pak," pamit Rimba sambil menarik tasnya yang tadi ia taruh begitu saja dilantai.
Tak sadar tali tasnya yang panjang ternyata terinjak Steven. Saat menariknya dengan paksa, tali tasnya terputus. "Ah sial!" umpat Rimba pelan.
"Oh maaf, saya nggak tau kalo talinya terinjak," ucap Steven datar-datar saja.
Rimba hanya menghela napasnya. Kenapa hari ini sial banget? pikirnya. 'Apa tiap ketemu ni orang gue bakal sial terus?' batinnya menggerutu. Kalau bukan karena lelaki itu dosennya, mungkin sudah dari tadi Rimba mengumpatnya abis-abisan.
"Nggak apa-apa Pak, tasnya emang udah jelek kok," sahut Rimba berusaha tersenyum, kalau ia ngambek takutnya berpengaruh sama nilainya nanti.
"Oh, gitu," sahut Steve.
"Saya pulang dulu Pak, terima kasih udah ngobatin lukanya. lumayan irit ke rumah sakit," gumamnya.
Namun saat hendak melangkah keluar tiba-tiba ada jenis hewan yang paling ditakuti Rimba seumur hidup, melintas begitu saja ke hadapannya. Hewan kecil tak tau diri itu selalu ada dimana-mana. Bahkan di rumah sebersih ini pun dia selalu eksis.
"Kecoaaa!!" reflek Rimba langsung memeluk tubuh Steven sambil mendorongnya hingga keduanya terjatuh ke sofa.
Posisi Rimba kini berada diatas dada lebar Steven yang terlentang. Keduanya kaget dan tak sengaja beradu tatap.
"Stipen!! nanaonan ieu teh? (apa-apaan ini?)"
"Kakek?" Steve reflek menyingkirkan tubuh kecil Rimba darinya. Begitu juga dengan Rimba yang langsung sigap berdiri.
"Kakek kemari sama siapa? bukannya nanti sore baru saya jemput dirumah Mitha?" kata Steve masih mengatur nafas dan irama jantungnya yang masih tak beraturan.
"Suaminya tadi yang anter Kakek kemari sekalian mau balik lagi ke kantor," sahut Bapak tua yang ternyata adalah kakeknya Steve yang bernama Kakek Hermawan. "Ini pacar kamu?" tanyanya lalu melirik pada Rimba yang tengah bertingkah serba salah.
"Bukan, bukan!" sahut Steven cepat.
"Jangan bohong kamu, Stip! yang tadi itu apa? Mending kamu nikahin aja daripada berbuat zina kaya tadi, dosa" ujar sang kakek.
"Maaf, tapi kakek salah paham, tadi kami hanya---"
"Kamu teh sudah lama kenal sama Stipan?" potong Kakek Hermawan tak memberi kesempatan Rimba untuk menjelaskan.
"Hah? Stipan?" Rimba mengernyit bingung.
"Iya, Stipan cucu kakek ini," ujar si Kakek sambil menunjuk ke arah Steven.
Rimba tak kuasa ingin tertawa, tapi takut dosa karena yang dihadapannya ini orang tua yang sudah sepuh yang sepatutnya dihormati.
"Iya Kek, kami udah kenal lama," sahut Rimba sekenanya. Takutnya kalau bilang ini itu jadi berabe nantinya. Rimba hanya ingin segera pergi dari rumah ini.
"Kalau sudah lama kenal kenapa mau aja digituin? kamu perempuan harusnya tegas atuh," kata si Kakek.
"Hah? maksudnya kek?" Rimba benar-benar tak mengerti.
"Maksud kakek, kamu sebagai perempuan jangan mau digituin sama laki-laki," sahut Kakek Hermawan, "Kamu juga, Stip. Kakek nggak nyangka kamu teh bisa nakal juga kaya tadi. Untung kakek keburu kesini," katanya kali ini menginterogasi Steven.
"Ini salah paham, Kek. Ini nggak seperti yang kakek lihat!" ujar Steven mencoba menjelaskan.
"Iya Kek. Saya dan Pak Stipan nggak ada apa-apa. Tadi kami terjatuh dengan posisi seperti itu," Rimba membantu Steven untuk sama-sama menjelaskan kesalah pahaman ini.
Namun pemikiran orang tua jaman dulu memang beda. Ia tetap saja tidak menerima dengan apa yang sudah dilihatnya tadi. Kakek Hermawan tetap yakin dengan apa yang dilihatnya tadi itu adalah perbuatan yang mengarah ke zina. Dan si Kakek tidak ingin cucunya itu salah langkah.
"Trus mau Kakek apa?" tanya Steven pasrah. Tak tau harus mengatakan apa lagi agar si Kakek percaya.
"Kalian harus cepat menikah!"
"APA?"
kata Steven dan Rimba bersamaan.
.
.
.
Aku tidak keberatan dibenci oleh siapa pun, namun aku benci bila disalahpahami.