Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teka Teki Yang Mulai Terkuak
Marlon mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju kantor Dwi. Sampai di sana, ia langsung memarkir mobilnya, dan masuk, tanpa bicara apapun pada Zanya, bahkan sepanjang perjalanan pun mereka hanya diam membisu.
Zanya setengah berlari mengikuti Marlon yang terlihat tergesa-gesa. Marlon langsung menuju ruangan Dwi, lalu membuka pintu tanpa mengetuk, dan masuk. Dwi memang tidak menghadiri pertunangannya, karena Marlon memberinya tugas penting hari ini.
Dwi tidak terkejut melihat kedatangan Marlon, ia tersenyum saat melihat wajah cemas pemuda itu.
"Pak Dwi, gimana?" Marlon bertanya langsung pada intinya.
Dwi tersenyum. "Aman, Pak. Karena kebangkrutan perusahaan Pak Gilang sudah terekspos, para pemegang saham beresiko mengalami capital loss, harga jual saham mereka lebih kecil dibandingkan dengan harga belinya. Mengingat saat ini perusahaan di ambang kebangkrutan, yang menyebabkan harga sahamnya akan merosot tajam. Mereka semua bersedia menjual sahamnya kepada kita, karena kita memberikan harga tertinggi yang bisa ditawarkan." Ujar Dwi.
Marlon bernapas lega, ia pun duduk di sofa, diikuti oleh Dwi yang membawa laptopnya. Zanya tidak terlalu paham perkataan Dwi, namun ia mendengar kata-kata Dwi bahwa perusahaan Gilang mengalami kebangkrutan. Rupanya hal itu lah yang membuat kakek Marlon membatalkan pertunangan cucunya secara sepihak, pikir Zanya.
Zanya menyeringai, akhirnya ayahnya mendapatkan balasan atas dosanya, saat ini ayahnya tahu bagaimana rasanya terbuang. Zanya pernah mendengar kalimat 'tidak perlu membalas yang menyakiti kita, cukup diam dan menunggu. Siapapun yang menyakitimu, hidupnya akan kacau balau juga, dan jika kamu beruntung, kamu akan menyaksikannya'. Dan saat ini Zanya benar-benar menyaksikan kehancuran ayahnya, di depan matanya.
"Kalau semua saham itu kita beli, maka berapa persen yang kita punya?" Tanya Marlon.
"Jika semuanya kita beli, maka kita akan memiliki 32 persen, Pak." Jawab Dwi.
Marlon manggut-manggut. "Kita akan beli semuanya." Ujar Marlon mantap.
"Maaf sebelumnya, Pak, bagaimana jika perusahaan Makmur Bersama tidak dapat bertahan, dan benar-benar bangkrut?" Tanya Dwi serius.
"Tenang, Pak Dwi. Saya gak akan membeli saham-saham ini kalau saya gak melihat adanya potensi. Strategi ini disebut Cigar butt stock investing dan pernah dilakukan oleh Warren Buffett. Dia membeli saham perusahaan tekstil yang sekarat di tahun 1964, yang sekarang menjadi Berkshire Hathaway." Jawab Marlon sambil menepuk pundak Dwi.
Dwi manggut-manggut, tidak heran mengapa bosnya ini bisa menjadi CEO di usianya yang masih sangat muda, selain karena dulu mengambil jurusan bisnis di Dublin Business School, ia juga memiliki intuisi yang bagus.
***
Zanya mengemasi beberapa pakaian, esok hari ia mendapat jatah libur hari minggu, dan hari ini ia sudah selesai menemani Marlon sampai jam 1 siang. Zanya berniat menginap di rumah Khaifa dan menghabiskan waktu libur bersama sahabatnya itu. Zanya mengambil ponselnya untuk mengabari Khaifa, bahwa ia sudah siap. Khaifa akan menjemputnya, karena hari senin kemarin ia meninggalkan motornya di rumah Khaifa, dan datang ke Wisma diantar oleh Khaifa.
Marlon menerima undangan makan malam di rumah Gustia, wanita itu meminta Marlon untuk datang ke rumahnya malam ini. Pukul 18:30 Marlon berangkat ke rumah Gustia ditemani Radit.
Marlon dan Radit sampai di alamat yang Gustia berikan, ternyata rumah Gustia berada di kompleks perumahan elit di kawasan senayan. Mengingat Gustia yang seorang pengusaha sukses, sangat wajar ia memiliki rumah yang kisaran harganya puluhan milyar bahkan lebih itu.
Saat turun dari mobil, Marlon langsung disambut seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam dan bertubuh besar. Tentu saja seorang pengusaha seperti Gustia akan butuh bodyguard, terlebih lagi Gustia adalah wanita, yang mungkin akan jadi sasaran kejahatan.
"Pak Marlon?" tanya Pria itu.
Marlon menganggukkan kepalanya.
"Silahkan, Pak." Pria itu berjalan untuk menunjukkan jalan masuk, kemudian Marlon dan Radit dipersilakan duduk di ruang tamu.
Rumah Gustia sangat megah, ruang tamunya pun mewah. Terdapat dua buah sofa panjang berwarna Hijau emerald yang mewah, dilengkapi bantal kursi berwarna coklat keemasan, kesan feminim dan glamor sangat kental di ruang tamu itu.
Marlon menatap sekeliling, lalu matanya menangkap sebuah kotak persegi, sepertinya Gustia baru mendapat paket, dan belum sempat membukanya. Namun di paket itu terdapat robekan, sehingga isinya terlihat sedikit. Marlon memperhatikan bagian yang robek itu, sesuatu berwarna merah dengan sebuah tanda tangan yang sangat ia kenal, karena ia sendiri yang menulis 'morhp' di lukisannya. Ya, itu pasti salah satu lukisannya.
Marlon mendekati kotak itu, ingin melihat lebih jelas lukisannya, ia ingin tahu, lukisannya yang manakah yang dibeli oleh Gustia. Marlon berjongkok dan mengintip di celah robekan, matanya membelalak saat ia melihat sebuah tangan di lukisan itu. Rupanya Gustia adalah penggemar anonim yang minta dibuatkan lukisan tentang pemerkosaan itu.
"Hai, Marlon! Sepertinya kamu sangat tertarik dengan itu?" Sapa Gustia. Ia berdiri dengan anggun mengenakan gaun berwarna marun gelap yang terlihat sangat mewah.
"Maafkan kelancangan saya, Bu..." Ucap Marlon.
"Oh, gak apa-apa, justru aku senang kalau ada orang yang suka karya seni seperti aku. Itu adalah lukisan karya seorang pelukis hebat yang tidak pernah mau mengadakan pameran seperti seniman-seniman lain. Dia juga tidak pernah menampakkan dirinya, dan aku suka segala sesuatu yang misterius." Ujar Gustia sambil tersenyum.
"Aku punya banyak koleksi lukisannya, Ayo, kita lihat sambil menunggu pelayan menyiapkan makan malam kita." Ajak Gustia sambil masuk ke ruangan lain.
Marlon yang penasaran pun segera mengikuti Gustia dari belakang, ia ingin tahu, lukisannya yang mana saja yang Gustia beli di website yang di kelola oleh Zaki.
"Lihat ini, semua ini adalah karyanya." Gustia menunjuk lima buah lukisan abstrak yang dipajang di dinding ruang keluarganya.
Marlon menatap lukisan itu, ia sangat mengenalnya, karena gambar-gambar yang ada di lukisan itu adalah gambaran yang sering ia lihat di dalam mimpinya.
"Kamu tau kenapa aku tertarik dengan lukisan-lukisan ini?" tanya Gustia.
Marlon menggeleng.
"Ini semua adalah kekerasan fisik yang dialami seseorang, jika kita mengambil sudut pandang si pelukis." Ujar Gustia.
"Apa? Kekerasan fisik? Semua ini?" Tanya Marlon.
Gustia mengangguk. "Ya! Semuanya. Disini, dia adalah orang yang diinjak-injak, atau di tendang oleh beberapa kaki." Gustia menunjuk lukisan dengan gambar beberapa kaki yang samar.
"Ini, dia di serang oleh orang lain yang menatapnya dengan bengis." Gustia menunjuk lukisan dengan sebuah wajah dan tangan yang mengepal.
Kemudian Gustia menunjuk lukisan dengan gambar tangan yang terdapat noda darah. "Disini, dia melihat darahnya sendiri yang ia usap menggunakan tangannya. Mungkin dia di serang sampai berdarah-darah, kemudian dia mengusapnya dengan tangan lalu ia melihat tangannya." Ujar Gustia.
"Dan yang ini sepertinya sangat menyedihkan, dia terbaring tak berdaya, sementara penyerangnya menertawakan dia." Gustia menunjuk lukisan dengan gambar wajah beberapa orang yang sedang tertawa, semuanya samar, semua lukisan Marlon memang abstrak, sesuai dengan gambaran mimpinya selama ini.
Marlon bergidik ngeri, apa sebenarnya yang ada dalam mimpimya selama ini? Apakah itu refleksi dari masa lalunya yang tidak ia ingat?