Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPISAHAN YANG MENYAKITKAN
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Suara deru mesin pesawat mengisi udara, dan di bandara yang ramai, Bima berdiri dengan hati yang berdebar-debar. Ia melihat Megha berdiri di depan konter check-in, matanya memandang ke arah Bima, seolah mengingat semua kenangan yang telah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya terlihat samar, tertutup oleh bayangan kesedihan yang mendalam.
“Bima...” suara Megha lirih, saat mereka akhirnya bertemu di pintu keberangkatan. Dia mencoba tersenyum, tapi air mata sudah menggenang di sudut matanya.
“Meg, ini sulit. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati ini,” ujar Bima, suaranya serak. Hatinya terasa berat, seolah ada beban tak tertahankan yang ingin ia lepaskan.
Megha mengangguk, menyeka air mata yang mulai mengalir. “Aku juga, Bim. Tapi ini keputusan yang harus diambil. Mungkin kita butuh waktu untuk mengejar mimpi kita masing-masing.”
Setiap kata Megha mengena dalam hatinya, membuat Bima semakin sulit untuk menahan rasa sakitnya. Ia tahu perpisahan ini bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang harapan dan cinta yang sudah mereka bangun bersama.
“Apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Bima, suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha menahan diri agar tidak menangis.
“Entah. Tapi aku harap kita bisa,” jawab Megha, suaranya bergetar. “Kamu akan selalu ada di hatiku, Bima.”
Bima menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Dan kamu akan selalu ada di hatiku. Aku berjanji tidak akan melupakan semua kenangan indah kita.”
Saat panggilan untuk boarding terdengar, Bima merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu saat ini adalah momen terpenting dalam hidupnya. Ia menarik Megha ke dalam pelukan erat, merasakan kehangatan tubuhnya. “Jangan pergi, Meg. Tolong, jangan pergi.”
Megha mengerang dalam pelukan Bima, merasakan rasa sakit yang sama. “Aku tidak ingin pergi, Bima. Tapi aku harus. Ini untuk kita berdua.”
Air mata Bima jatuh, mengalir di pipinya. “Kalau kamu pergi, aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan.”
Megha menatap Bima dalam-dalam. “Kamu bisa. Kamu kuat. Dan aku akan selalu mengingat semua hal indah tentang kita.”
Perpisahan itu semakin mendekat, dan akhirnya Megha melangkah mundur. Ia menatap Bima, matanya penuh harapan dan kesedihan. “Jaga diri, Bima. Selalu.”
Bima mengangguk, merasakan hatinya hancur. “Kamu juga, Meg. Jangan lupa untuk bahagia.”
Setelah mengucapkan kata-kata terakhir, Megha berbalik dan melangkah menuju pintu masuk pesawat. Setiap langkahnya terasa seperti sebuah jarum yang menusuk hati Bima. Ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar lambat, dan semua orang di bandara hanyalah bayangan.
Ketika Megha terakhir kali menoleh, Bima mengangkat tangannya untuk melambai, berusaha tersenyum meskipun air mata terus mengalir. Ia tahu saat itu adalah momen yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Pesawat yang membawa Megha menghilang dari pandangan, dan Bima merasa seolah semua warna dalam hidupnya menghilang. Ia berdiri terpaku di sana, dengan hati yang hancur, merasa seolah cinta sejatinya telah pergi untuk selamanya.
Malam itu, Bima kembali ke rumah dengan kesunyian yang menghimpit. Setiap sudut rumahnya mengingatkannya pada Megha—foto-foto mereka berdua, surat yang ia tulis, bahkan aroma parfum Megha yang masih tersisa di bantal.
Ia duduk di tempat tidur, menatap langit malam dari jendela. Kenangan indah bersama Megha berputar-putar di kepalanya, seperti film yang tak pernah ingin ia hentikan. Tapi kini, semuanya hanya tinggal kenangan.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan, merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Ia mengingat janji yang pernah mereka buat, untuk saling mendukung meskipun jarak memisahkan. Namun, saat ini, semuanya terasa hampa.
Setiap malam, Bima terjaga, merenungkan segala sesuatu. Ia menulis di jurnalnya, mengekspresikan rasa sakit yang tidak kunjung reda. Setiap halaman dipenuhi dengan harapan, cinta, dan kesedihan.
Dia berjanji untuk melanjutkan hidup, untuk menghargai cinta yang tersisa, meskipun Megha kini jauh. Namun, satu hal yang pasti—baginya, cinta sejatinya akan selalu ada, meskipun terpisah oleh waktu dan jarak.
Dan di sudut hatinya, ia tahu bahwa perpisahan ini hanyalah sebuah babak baru dalam hidup mereka. Dia ingin percaya bahwa suatu hari, mungkin cinta mereka akan menemukan jalan kembali, meskipun saat ini terasa sangat menyakitkan.
Malam berlalu dengan hening yang menusuk. Bima terbangun dari tidur yang tak nyenyak, mengingat setiap detik perpisahan dengan Megha. Dia masih bisa merasakan sentuhan lembut tangan Megha dan melihat senyumnya yang cerah. Namun, semua itu kini menjadi bayangan yang samar, semakin mengabur seiring dengan berjalannya waktu.
Setiap hari berlalu, Bima berusaha untuk tetap menjalani rutinitasnya. Namun, hidupnya terasa kosong tanpa kehadiran Megha. Dia kembali ke tempat kerjanya, tetapi setiap detik terasa seperti satu jam. Teman-temannya mulai menyadari perubahan sikapnya. Senyumnya yang dulu lebar kini menjadi tipis, dan tawa yang biasanya menggema di ruang kerja kini menghilang.
“Bima, kamu baik-baik saja?” tanya Rina, rekan kerjanya yang selalu ceria. “Kamu terlihat tidak bersemangat.”
“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Bima, meski ia tahu dirinya tidak meyakinkan.
Rina melihatnya dengan khawatir. “Kalau kamu butuh waktu, kita bisa istirahat sejenak. Jangan terlalu memaksakan diri.”
Bima hanya mengangguk, berterima kasih pada Rina dalam hati. Dia tahu bahwa tidak ada satu pun yang bisa mengerti betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami. Setiap kali orang lain membicarakan cinta atau kebahagiaan, hatinya serasa terhimpit.
Hari-hari berlalu, dan Bima mulai mencari cara untuk mengalihkan pikirannya dari Megha. Dia mulai kembali ke hobi lamanya—melukis. Dengan kuas di tangan dan kanvas di depannya, ia mencoba mengekspresikan perasaannya. Setiap goresan adalah pelarian dari kenyataan yang menyakitkan.
Suatu sore, saat dia sedang melukis di taman, Bima teringat sebuah kenangan indah bersama Megha. Mereka pernah menghabiskan waktu di taman itu, menggambar bersama dan berbagi mimpi. Dengan hati yang penuh rasa rindu, ia menggoreskan warna biru di kanvas, melambangkan harapan dan cinta yang tak akan pernah pudar.
Namun, di balik itu, ada juga warna kelabu yang ia tuangkan. Itu adalah simbol dari kesedihan yang tak kunjung hilang, perasaan hampa yang terus menghantui setiap langkahnya.
“Bima?” Suara lembut dari belakang mengganggu konsentrasi Bima. Ia menoleh dan melihat Ibu Sari, seorang wanita tua yang sering ia temui di taman.
“Ibu Sari,” jawab Bima, tersenyum tipis. “Apa kabar?”
“Baik, nak. Tapi aku merasa kamu tidak baik-baik saja. Ada yang ingin kamu ceritakan?” tanya Ibu Sari, menatapnya penuh perhatian.
Bima terdiam, merenungkan apakah ia harus membuka diri. “Aku baru saja berpisah dengan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.”
Ibu Sari mengangguk, memahami rasa sakit yang sedang dialami Bima. “Perpisahan itu menyakitkan, Bima. Tapi ingat, setiap akhir adalah awal yang baru. Jangan biarkan kesedihan ini membelenggumu.”
“Bagaimana cara melupakan seseorang yang sangat dicintai?” tanya Bima, suaranya bergetar.
“Ikuti aliran waktu, nak. Beri diri kamu waktu untuk merasa dan sembuh. Cinta yang sejati tidak akan pernah benar-benar hilang, ia hanya bertransformasi. Peluklah kenangan-kenangan indah, tapi jangan terjebak di dalamnya,” nasihat Ibu Sari.
Bima mengangguk, merenungkan kata-kata Ibu Sari. Mungkin ada benarnya. Dia harus memberi ruang untuk dirinya sendiri, tidak hanya untuk merasakan kesedihan, tetapi juga untuk merayakan cinta yang telah mereka miliki.
Malam itu, ketika pulang ke rumah, Bima duduk di meja kerjanya dan mulai menulis surat lagi, bukan untuk Megha, tetapi untuk dirinya sendiri. Dia menuliskan semua perasaannya—tentang kehilangan, tentang cinta, dan tentang harapan untuk masa depan.
---
Surat untuk Diriku Sendiri
Untuk diriku,
Saat kau merasa kehilangan, ingatlah bahwa cinta yang kau rasakan adalah sesuatu yang berharga. Biarkan dirimu merasakannya, menangislah jika perlu, tetapi jangan biarkan rasa sakit ini mendefinisikan siapa dirimu.
Setiap kenangan indah yang kau miliki bersamanya adalah bagian dari perjalanan hidupmu. Hargailah, simpanlah dalam hatimu, tapi jangan terjebak di masa lalu. Hidup ini terus berjalan, dan kamu harus ikut bersamanya.
Jangan pernah lupa, meskipun dia jauh, cintamu padanya adalah abadi. Gunakan cinta itu untuk mendorongmu maju, untuk menjadi versi terbaik dari dirimu.
Dengan harapan dan cinta,
Bima
---
Dengan surat itu, Bima merasa sedikit lebih ringan. Ia mulai menyadari bahwa meskipun Megha tidak ada di sampingnya, cinta yang mereka miliki tetap hidup dalam dirinya. Dia memutuskan untuk tidak membiarkan kesedihan menghancurkan semangatnya.
Keesokan harinya, Bima bangun dengan tekad baru. Dia ingin mengejar mimpinya, menjadi lebih baik, dan mungkin suatu saat nanti, ia akan siap untuk mencintai lagi—atau bahkan bertemu dengan Megha di masa depan.
Meskipun perpisahan itu menyakitkan, Bima tahu satu hal pasti: cinta sejatinya akan selalu menjadi bagian dari dirinya, selamanya.