Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Kau yakin akan pindah dari rumah?" Andrea malah yang tidak yakin dengan keputusan Aerin.
"Ya. Aku harus mandiri sepertimu." sahut Aerin pasti.
"Kita tidak sama Aerin. Aku dari kampung, orangtuaku jauh. Dan aku tidak ada masalah sama sekali dengan keluargaku. Sedangkan kamu berbeda. Kamu ingin pindah karena keluargamu ada masalah. Itu namanya memberontak Rin," menurut Andrea keputusan Aerin adalah keputusan gegabah yang hanya akan lebih memperkeruh dan menambah masalah antara gadis itu dan orangtuanya.
Andrea tahu Aerin sangat menyayangi keluarganya. Jadi sebelum masalah keluarga mereka bertambah besar, ia akan mencoba menasehati sahabatnya itu. Siapa tahu nasehatnya di dengar.
"Andrea," Aerin menatap Andrea."Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Tapi saat ini aku benar-benar ingin menjauh sebentar dari orangtuaku. Mereka selalu memberiku tekanan. Belum lagi para pembantu di rumahku. Aku jadi bingung siapa sebenarnya yang majikan. Siapa tahu saja dengan aku menjauh, mereka akan merindukanku. Mungkin juga hubungan kami bisa lebih baik." lanjutnya tersenyum tegar. Itu adalah harapannya.
Andrea menatapnya lama. Kasian Aerin. Wanita itu dari luar tampak bahagia, tapi tidak ada yang tahu apa yang sedang ia pikul. Diabaikan oleh keluarga sendiri adalah hal yang amat menyakitkan. Sudah begitu, orangtuanya malah seenaknya ingin menjodoh-jodohkan Aerin. Andrea lalu menarik napas panjang.
"Baiklah. Kalau itu adalah keputusanmu, sebagai teman aku akan mendukungmu. Apa kau perlu bantuanku?" ucap Andrea lalu bertanya. Aerin mengangguk.
"Bisakah kau membantuku mencari apartemen? Yang murah tapi bersih dan keamanannya terjamin. Kau tahu kan gaji kita tidak seberapa."
"Bagaimana kalau kau tinggal bersamaku saja?" tawar Andrea.
Aerin menggeleng.
"Aku tidak mau merepotkan. Lagipula pacarmu selalu menemanimu bukan." kata Aerin setengah menggoda Andrea.
"Oh iya, kenapa aku melupakan pria itu." Andrea menepuk jidatnya.
"Tapi aku akan bicara dengannya kalau kau setuju tinggal denganku." wanita itu masih menawarkan.
"Terimakasih atas tawaranmu, tapi aku lebih suka tinggal sendiri." tolak Aerin untuk yang kedua kalinya. Akhirnya Andrea menyerah.
"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi. Aku akan bertanya pada beberapa kenalanku dan segera menghubungimu kalau ada apartemen seperti yang kau mau." kata Andrea. Kemudian gadis itu mengingat sesuatu. Lagi-lagi ia menepuk kepalanya.
"Ya ampun!" Serunya. Aerin ikut menatap bingung.
"Kenapa?"
"Aku lupa. Hari ini dokter mawar berulang tahun. Kita diundang makan bersama di rumahnya. Dia mengundang semua orang di tim kita. Kau diundang juga kan?" Andrea tidak sadar sama sekali kalau pertanyaan polosnya cukup menyakiti hati Aerin.
"Kau lupa? Aku sudah dikeluarkan dari tim kalian." ucap Aerin berusaha terdengar santai.
Andrea yang menyadari kesalahannya pun merasa tidak enak.
"Maafkan aku Aerin, aku lupa. Aku ..." ia ingin melanjutkan tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ternyata dari Mawar, sih dokter yang mengundang mereka makan malam di rumahnya.
"Halo, "
"Kau dimana? Semua orang sudah ada. Bahkan dokter Anson sudah di sini. Tinggal kau yang di tunggu." kata Mawar dari seberang.
"Dokter Anson datang juga? Aku pikir lelaki kaku itu tidak akan muncul."
Mendengar nama Anson keluar dari mulut Andrea, Aerin sedikit tersenyum hambar. Ia ingat dulu Anson tidak pernah suka kumpul-kumpul sama orang-orang yang tidak dekat dengannya. Teman main pria itu hanya kakaknya.
Dari SMP sampai SMA Anson hanya berteman dengan kakaknya saja, bahkan sampai dia pindah sekolah keluar negeri. Itu yang Aerin tahu. Tapi itu dulu. Semua orang pasti berubah kan? Seperti dirinya.
"Baiklah, aku akan segera ke sana. Tapi Mawar, bolehkah aku membawa teman? Hanya satu."
"Terserah kau saja. Siapapun boleh. Cepatlah ke sini, kami menunggumu." Andrea terkekeh.
"Baiklah bu dokter." balasnya lalu mengakhiri pembicaraan.
Andrea kembali menatap Aerin. Wanita itu sibuk menggosok-gosokkan sepatu ke lantai, karena tidak tahu mau buat apa tadi.
"Aerin, ayo kita ke rumahnya dokter Mawar."
"Dia tidak mengundangku Andrea." Aerin menolak halus. Dia juga tidak akrab dengan Mawar.
"Ayolah. Aku sudah bertanya padanya. Dan dia bilang tidak apa-apa."
"Tapi," Aerin merasa tidak enak. Ia yakin mereka semua tidak mengharapkan kehadirannya. Apalagi Anson. Kemungkinan besar kehadirannya hanya akan merusak suasana.
"Ayo, jangan menolak. Kau harus buktikan ke mereka semua kalau kau baik-baik saja setelah keluar dari tim." Andrea tetap bersikeras menarik tangan Aerin. Akhirnya dengan terpaksa gadis itu ikut. Suasana hatinya ketar-ketir. Ia yakin sekali dengan pendapatnya tadi.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di depan rumah sederhana bercat krem. Aerin masih ragu untuk ikut masuk, ia hendak berbalik pergi namun pintu tiba-tiba dibuka dan semua orang menatap kedatangannya bersama Andrea dari dalam sana. Benar saja, Aerin merasakan wajah-wajah itu seperti tidak senang dengan keberadaannya.
Hanya tatapan Anson yang sedikit berbeda. Tatapan pria itu tampak ... Lembut? Biasanya Anson akan menatapnya tajam bak pedang bermata dua. Tapi entah kenapa malam ini ...
Aerin tidak bisa mengartikannya. Pura-pura cuek saja. Walau ia tetap salah tingkah karena tatapan Anson tak pernah lepas darinya. Astaga, banyak orang di sini. Lihatlah ke tempat lain.
Aerin menggosok-gosok batang lehernya. Saat salah tingkah ia akan melakukan itu. Dan Anson menyadarinya. Ia mengingat Kyle pernah cerita tentang gerakan-gerakan yang akan dilakukan adiknya saat salting. Diam-diam Anson tersenyum. Senyuman yang hanya dirinya yang tahu kalau dia sedang tersenyum.