Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Kata-kata Latania membuat Alvaro sedikit naik darah. Padahal tadi di aula utama Latania berkata kita harus cari tahu lebih cepat. Tunggu, batin Alvaro menyadari bahwa Latania ingin menggiring tim untuk langsung mencaritahu siapa yang mereka hadapi karena ini adalah kasus yang sangat baru.
Charissa berdehem sebentar, "Oh, ayolah.. Tidak mungkin kita menghadapi alien, kan? Kalau itu benar adanya maka aku resmi keluar dari tim ini." Ucapnya santai sambil mengambil beberapa cemilan dari lemari.
Shally menunduk terlihat menahan tawa, sedangkan Gale tersenyum kecil. "Kita harus kepala dingin untuk menyelesaikan kasus ini, Latania, jangan memperkeruh suasana. Kau cerdas, kita mengandal kemampuan-mu untuk menganalisis beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi disini. Dan Al," Gale menatap Alvaro lekat-lekat.
"Kita tidak bisa gegabah, ini tentang tim bukan pribadi." Tambahnya, Alvaro menyandarkan dirinya agar tetap rileks.
Pintu ruangan terbuka membuat seisinya menoleh, Hans dan Vella memasuki ruangan. Hans seperti biasanya bersikap ceria dan tanpa beban, ia sangat segar. Sedangkan Vella tidak, ia terlihat berantakan dan tak terurus, wajar saja karena mentalnya tidak sekuat sepupu-nya. Gadis itu sangat rentan.
"Maaf para pahlawan, seperti biasa. Kita tidak bisa berpikir jernih selama perut kosong, kalian belum sarapan, kan? Aku bawa sarapan kesukaan kalian." Hans meletakkan plastik besar berisi makanan.
"Ambillah, kalian tidak akan mau kehabisan karena stok terbatas, kan?" Charissa langsung berdiri menghampiri kantung plastik itu meninggalkan cemilan berceceran di pojok ruangan. "Hei! Ini hanya berisi roti lapis dan susu kotakan, mana ikan asap kesukaan ku?" Protesnya pada Hans.
Hans mengangkat bahu santai, "siapa yang tidak suka roti lapis dan sekotak susu?" ucapnya sambil memasang wajah menang.
Charissa terdiam sejenak "sial, dia benar," umpat gadis itu sambil mengambil beberapa dan kembali ke pojokan.
Latania hanya bisa geleng-geleng sambil memegangi dahinya. "Oke, kita harus memutuskan langkah berikutnya. El-Virness. Mereka punya sejarah sebagai pembully, dan mereka ada di sekitar lokasi kejadian. Aku yakin kita mulai dari mereka." Ucapnya tanpa menunggu yang lain selesai makan, ia sepertinya sudah gatal untuk kasus ini.
Suara ketukan dari pintu terdengar kembali, tapi kali ini berbeda dari yang tadi, ketukan kali ini lebih keras dan terkesan memaksa. Semuanya terdiam saling bertukar pandang dengan waspada.
"Biar aku yang buka," Gale berdiri dari kursinya dan beranjak ke pintu, ia memberi aba-aba pada yang lain untuk tenang sebelum membuka pintu.
Pintu dibuka memperlihatkan seseorang dengan seragam siswa eksekutif yang agak berantakan dengan wajah dingin. Papan namanya tertulis Ravi, dia seangkatan dengan Alvaro dan lainnya sama-sama kelas 10, tingkat 1. Dia adalah wakil ketua siswa eksekutif. Meski begitu, setiap siswa eksekutif mempunyai aura otoritas masing-masing mambuat suasana menegang seketika.
"Lama tidak bertemu, Gale, boleh aku masuk?"
Tanpa menunggu jawaban ia langsung masuk dengan angkuhnya, Shally dan Vella terlihat gelisah. Charissa masih tak acuh dan melanjutkan makannya.
"Kalian harus berhenti sekarang juga, kalian tidak punya otoritas dalam kasus ini. Kasus ini urusan siswa eksekutif dan akademi."
Pernyataan Ravi membuat suatu dalam diri Alvaro meluap. Ia seperti mengingat kebusukan-kebusukan akademi di masa lampau, mengenai bagian diri tersayangnya yang lenyap tertelan kemunafikan akademi. Alasan dibentuknya siswa eksekutif. Ia ingin membongkar semua itu, semangatnya langsung membara karena ucapan yang sebenarnya kecil itu.
Gale dengan tenang memberi Ravi sebungkus roti lapis, "kami hanya berdiskusi dan itu tidak ada larangannya."
Ravi menolak pemberian Gale mentah-mentah dengan cara menepisnya sampai roti itu terjatuh ke lantai. "Diskusi? Jangan mencoba membodohiku, Gale. Aku tahu kalian akan menyelidiki kasus ini dan aku pastikan itu tidak akan terjadi." Pemuda itu tersenyum sambil menyilangkan tangannya depan dada.
Melihat sikap Ravi, Latania berdecak pelan, wajahnya menunjukkan ketidaksabaran. "Kau terlalu banyak bicara untuk seseorang yang datang tanpa undangan," ucapnya dengan nada dingin. Ia menyilangkan tangan, seakan menantang Ravi untuk melangkah lebih jauh.
Namun, sebelum Ravi sempat menjawab, Alvaro bangkit dari tempat duduknya dengan gerakan lambat tapi penuh kuasa. Wajahnya terlihat tenang, tapi tatapan matanya menusuk seperti pisau tajam. "Ravi," panggilnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat semua orang berhenti berbicara. "Kami tidak melakukan apa pun yang melanggar aturan. Tapi kalau kau datang hanya untuk menuduh tanpa bukti, kau akan menemukan bahwa aku tidak segan-segan melawan."
Ravi tersenyum sinis, tatapan dinginnya beralih dari Gale ke Alvaro. "Melawan? Kau pikir kau punya kesempatan melawan sistem, Alvaro? Jangan lupa siapa dirimu. Seorang pemberontak kecil yang bahkan tidak bisa melindungi keluarganya sendiri."
Ucapan Ravi seperti petir yang menggelegar di ruangan itu. Hans segera melangkah maju untuk menghentikan Alvaro, tapi sudah terlambat. Alvaro mencengkeram kerah seragam Ravi dan menariknya mendekat. "Jangan bawa keluargaku ke dalam ini," bisiknya dengan nada penuh ancaman. "Kalau kau pikir aku takut, kau salah besar."
Hans segera berdiri di antara mereka, memisahkan keduanya dengan lembut tapi tegas. "Hei, hei, tenang! Kita di sini bukan untuk membuat keributan," katanya, mencoba meredakan ketegangan. "Ravi, kau sudah menyampaikan pesanmu. Jadi, kalau tidak ada hal lain, mungkin kau bisa pergi."
Ravi menatap Alvaro dengan penuh kebencian, lalu melepas cengkeraman tangan Alvaro dari kerahnya. "Kalian akan menyesal mencampuri urusan ini," ucapnya tajam sebelum berbalik menuju pintu. Sebelum keluar, ia menambahkan dengan suara dingin, "Dan percayalah, jika kalian melangkah terlalu jauh, Fluttergeist tidak akan ada lagi."
Pintu tertutup dengan keras di belakangnya, meninggalkan suasana ruangan yang tegang.
Charissa, yang selama ini menikmati makanannya, akhirnya bersuara. "Wow, itu dramatis sekali," katanya sambil mengunyah roti lapis terakhirnya. "Aku hampir merasa seperti sedang menonton drama di televisi."
Shally menatap Alvaro dengan cemas. "Al, kau baik-baik saja?"
Alvaro menarik napas panjang sebelum kembali duduk. Ia tidak menjawab, hanya menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Dia tidak salah," ucap Gale pelan, memecah keheningan. "Kita memang berjalan di atas tali tipis. Kalau kita salah langkah, semuanya bisa berakhir."
"Tapi itu tidak berarti kita harus berhenti," balas Latania dengan penuh keyakinan. "Justru karena tekanan ini, kita harus bergerak lebih cepat. Kalau tidak ada yang melawan, siapa lagi yang akan melindungi yang lemah?"
Vella, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku... aku masih merasa sesuatu yang aneh di sekitar akademi. Dan itu bukan hanya perasaanku. Apa pun yang ada di sini, itu bukan manusia biasa."
Semua orang terdiam, merenungkan kata-kata Vella. Meski tidak ada yang mengatakan apa-apa, mereka semua tahu bahwa apa yang mereka hadapi jauh lebih besar daripada sekadar kasus pembunuhan.
"Aku resmi keluar dari tim ini," celetuk Charissa sambil mengangkat tangan dan menggelengkan kepala.
"Vella, Hans bicara pada kami kau mengalami hal-hal buruk dan kami percaya itu bukanlah kebohongan. Akan tetapi apakah kamu bisa menjelaskan apakah ada sesuatu di balik hal-hal yang kau rasakan?" Gale kembali duduk di kursinya sambil menatap Vella. Semuanya juga ikut memperhatikan.
Vella menghela nafasnya sejenak dan mengangkat telapak tangannya ke atas meja. Sebuah bola hitam seukuran kelereng dengan petir putih yang gemerutuk di sekitarnya muncul dan memberikan efek tekanan yang luar biasa. Alvaro megenali tekanan ini, rasa tekanan yang sama ketika ia menemukan jasad Dave.
Seisi ruangan itu tertekan dengan kekuatan Vella, bahkan Charissa berkeringat dingin dan tak berkata-kata.
"Perasaan ini," mata Latania membulat.
Vella menghentikan kekuatannya membalikkan kondisi seperti semula. "Ini adalah kekuatan terlarang—untuk para siswa. Kekuatan yang punya begitu banyak energi akan menghasilkan tekanan luar biasa dalam atmosfer tertentu. Seperti contohnya Void Ball tadi." Ia mengambil susu kotak dan langsung meminumnya, ia terlihat lebih lesu dari sebelumnya.
Suasana ruangan itu menjadi sunyi, hanya terdengar suara Vella yang meneguk susu kotaknya. Semua mata tertuju padanya, tapi tidak ada yang langsung berbicara. Efek dari kekuatan yang baru saja dia tunjukkan masih terasa, meninggalkan rasa kagum sekaligus kecemasan di hati mereka.
Latania akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar datar, tapi matanya menunjukkan kecerdasan yang sedang bekerja keras. "Vella, Void Ball itu... apakah kau menciptakannya sendiri, atau itu sesuatu yang kau pelajari dari tempat lain?"
Vella meletakkan kotak susunya dan menatap Latania dengan tatapan lelah. "Aku tidak menciptakannya. Kekuatan ini muncul begitu saja beberapa minggu terakhir. Aku merasa ada sesuatu yang... membangkitkannya. Dan sejak Dave..." Suaranya melemah, tapi dia melanjutkan, "Aku merasa seperti ada kaitan antara kekuatan ini dengan apa yang terjadi di akademi."
Hans, yang biasanya ceria, kini tampak serius. "Tunggu. Jadi kau bilang energi itu... mungkin berasal dari sumber yang sama dengan dalang dibalik ini?"
Vella mengangguk perlahan. "Aku tidak bisa memastikan. Tapi aku tahu satu hal: tekanan yang aku rasakan saat Void Ball muncul sama seperti tekanan yang aku rasakan di sekitar tempat kejadian perkara. Dan aku yakin, itu bukan kebetulan."
Gale, yang selama ini mendengarkan dengan seksama, menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatan ini dan bagaimana itu bisa terkait dengan dalang dibalik ini. Tapi Vella, apakah kau bisa mengontrolnya? Maksudku, jika kita menghadapi sesuatu yang serupa, apakah kau bisa melindungi diri sendiri?"
Vella menggelengkan kepala pelan. "Mengontrol? Aku bahkan tidak yakin aku ingin kekuatan ini. Rasanya seperti... beban yang terus-menerus menggerogoti pikiranku."
Alvaro, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya rendah tapi penuh tekad. "Kalau kekuatan ini bisa memberi kita petunjuk tentang siapa yang ada di balik semua ini, maka kita harus menggunakannya. Tapi kita juga harus berhati-hati. Kekuatan seperti ini bisa menjadi senjata, tapi juga bisa menjadi bumerang."
Charissa, yang mulai kembali ke sikap santainya, mengangkat tangan seperti seorang siswa di kelas. "Jadi, rencananya apa? Kita cari tahu lebih banyak tentang Void Ball ini, atau kita fokus ke El-Virness dulu? Karena, jujur, aku lebih suka menghadapi manusia biasa daripada energi gelap menyeramkan."
Latania menatap Charissa tajam, tapi nada suaranya tetap tenang. "Kita tidak bisa mengabaikan salah satu dari keduanya. El-Virness adalah langkah pertama. Kalau mereka punya hubungan dengan sang dalang, kita mungkin bisa menemukan koneksi ke energi yang Vella rasakan. Tapi kita juga harus menjaga Vella. Kalau kekuatannya tidak stabil, dia bisa jadi target atau malah ancaman."
Papan tulis digital berbunyi sebagai tanda layar berganti, setiap orang sudah hafal bahwa disana akan ada perintah yang membawa mereka menuju prestasi berikutnya. Meski begitu mereka belum tahu siapa yang memberikan instruksi lewat papan tulis digital itu.
Mengungkap alasan di balik kasus pembunuhan :
-Menghindari konflik dengan siswa eksekutif
-Mengawasi pergerakan El-Virness
-Mencari sumber energi gelap di akademi
Gale mengepalkan tangannya dengan semangat, "papan tulis ini selalu menunjukan hal yang benar. Dengan adanya objektif yang di tampilkan papan tulis ini maka sudah sangat memperkuat bahwa tindakan yang kita ambil adalah benar seperti seharusnya."
Alvaro mengangguk setuju. "Kita bagi tugas. Latania, Gale, dan aku akan menyelidiki El-Virness. Hans dan Charissa, kalian temani Vella, pastikan kekuatannya terkontrol sampai kita tahu lebih banyak. Shally, kau tetap di sini dan pantau situasi. Setuju?"
Semua anggota tim saling pandang, lalu mengangguk satu per satu. Rencana sudah dibuat, tapi ketegangan di udara tetap terasa. Mereka tahu, apa pun yang mereka hadapi, ini baru permulaan.