Touch My Senorita

Malam itu pukul 20.00.

Di atas balkon mansion utama, Johan menghampiri Ali setelah menyuruhnya untuk datang ke sana. Di sana hanya mereka berdua, Alister yang sedang menikmati pemandangan malam dan menghisap sebatang rokok menoleh pada ayahnya yang berjalan mendekat.

"Bagaimana dengan diplomasi ekonomi? berapa lama lagi kau di negara ini?." Johan memastikan urusan penting yang sedang digarap Ali.

"Semuanya berjalan dengan baik, masih ada waktu sekitar dua bulan lebih aku di sini." Balas Alister. Ali melakukan proyek diplomasi mencakup negosiasi bisnis dengan pemerintah, investasi strategis, serta lobi kebijakan yang dapat mempengaruhi regulasi dan kerja sama internasional.

Pemikiran yang langka dan efeknya berkepanjangan, Alister tak bisa ditebak setiap langkah yang dilakukannya sebagai direktur Nexora Group luar negeri ia mampu meraih kesuksesan dengan otaknya yang jenius itu.

Johan menatap putra keduanya, ia menepuk-nepuk pundak Alister tersirat rasa bangga pada mata Johan. "Tidak salah papa mempercayakan ini kepadamu, teruslah terhubung dengan Austin agar Nexora Group dalam negeri juga menyusul prestasi yang kau cetak."

Ali tak menjawab apa-apa, karena sampai kapanpun dirinya dan Austin akan tetap terhubung walaupun sebenarnya hubungan mereka cukup renggang.

"Papa bahagia bisa berkumpul denganmu lagi Ali. Walaupun ke depannya mungkin kita akan berpisah kembali." Lirih Johan, saat menatap Ali bayangan istri keduanya Vanessa terasa terlihat di depan mata melalui putranya itu.

"Aku rasa begitu." Balas Alister. "Tapi sampai kapan papa akan menggenggam mama, bukankah lebih baik menceraikannya saja?."

Johan mengalihkan pandangan akan perkataan putranya. "Sampai kapan pun Vanessa akan tetap menjadi istriku, dia wanita yang sangat ku cintai."

Ali tersenyum sinis. "Jika papa benar-benar mencintainya kenapa papa menempatkan mama pada posisi seperti sekarang?."

"Bukankah itu pilihan mama mu sendiri yang meninggalkan papa? tidak sedikitpun papa ingin jauh darinya." Balas Johan.

Ali menggertakan rahangnya, situasi yang sulit ini bagaimana memperbaikinya lagi?. Poligami dalam keluarga bangsawan benar-benar memuakkan dan penuh drama, mereka dituntut patuh yang akhirnya serakah dimana harus menerima perjodohan dan menggenggam pilihan sendiri.

Pernikahan Johan dengan lady Belly itu terjadi karena perjodohan orang tuanya dahulu, demi menaikkan posisi bangsawan mereka harus menerimanya walaupun rasa cinta itu belum tumbuh. Johan yang tak bisa melepas wanita yang dicintainya yaitu Vanessa, akhirnya menikahinya juga dan banyak menimbulkan pertentangan kala itu.

Mengingat ke sana pusing sekali rasanya kepala Alister.

Johan menghela nafas berat ia sudah menempatkan posisi putra keduanya dalam situasi yang sulit berbeda dengan Austin. Johan merengkuh tubuh Alister. "Ini kesalahan papa, tak seharusnya kamu dan Vanessa mengalami ini. Tapi jangan khawatir papa akan melindungi serta menyayangi kalian lebih dari apapun."

Berat sekali untuk Ali bicara, ini yang paling ia hindari pembahasan yang membuat dirinya cukup hancur. Suasana hatinya menjadi kacau.

"Sudah, sekarang ayo kita turun untuk makan malam bersama." Ucap Johan sambil mengacak-acak rambut putranya.

"Duluan saja, aku belum lapar." Bohong Ali, padahal sebenarnya ia muak dan menghindari interaksi dengan ibu tirinya juga Austin.

"Ya sudah kalau begitu, pelayan akan mengantarkannya ke kediaman pribadi mu."

"Hmm." Balas singkat Ali.

Johan pun berlalu dari sana sementara Ali kembali menikmati waktu luangnya itu. Remang-remang lampu rumah Leah terlihat, walaupun tak sejelas dari balkon kediaman pribadinya.

Sesuatu menggelitik pada hati Ali, entah apa yang ada di pikiran pria itu ia pun memilih pergi dari mansion utama dan kembali ke kediaman pribadinya.

"Makan malam sudah siap tuan.." Ucap Chris pada atasannya yang baru terlihat.

"Kalian makanlah dulu, aku ingin jalan-jalan ke luar." Timpal Alister.

"Perlu ditemani?." Tanya Han.

"Tak usah. Akan mengganggu soalnya." Ali pun berlalu keluar.

Han dan Chris saling tatap. "Memangnya dia mau melakukan apa?."

"Ah sudah jangan ikut campur."

"Iya-iya."

Alister berjalan mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah rumah Leah, wangi-wangi bunga di sekelilingnya terasa manis dan cukup menenangkan suasana hati Alister.

Terlihat dari kejauhan Leah sedang duduk di kursi teras, merajut sesuatu di tangannya. Ali menghentikan langkah, ini perasaan yang damai baginya. Malam yang dingin namun menyejukkan, cahaya rembulan yang terang, bunga-bunga di kebun yang menebarkan aroma harum dan juga sosok Leah yang sedang duduk. Ali menyukai ketenangan dan keindahan ini, pria itu memotretnya untuk mengabadikan.

"Halo.."

Leah terperanjat saat menyadari kehadiran seseorang. "Ah mengagetkanku saja!." Jarum yang digunakan untuk merajut akhirnya tak sengaja menusuk telunjuk Leah, ia berdarah.

"Direktur Ali? apa aku salah lihat!?." Ucap Leah memastikan. Takut juga jika ternyata itu maling yang menyamar jadi Alister.

Ali membiarkan Leah menatapnya dengan seksama, pria itu hanya diam.

Leah terkejut karena memang benar ternyata itu Alister. "Tunggu, kenapa anda di sini?."

"Apa ini cara dirimu memperlakukan seorang tamu?."

Wanita cantik itu gelagapan. "Bukan begitu, naiklah dan masuk ke dalam."

Alister pun masuk dan duduk di kursi teras. Leah yang tak tahu maksud kedatangannya untuk apa cukup kebingungan harus bersikap bagaimana. Sementara bibi Maria sedang di mansion.

"Aku akan ke dalam untuk mengambilkan jamuan, tunggu di sini dulu." Ucap Leah.

"Sebentar." Tahan Ali menahan tangan Leah.

"Ya?."

"Tanganmu berdarah."

"Ini bukan apa-apa, jangan di hir...

Deg!.

Leah terdiam ia membeku saat Ali memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, menghisap darah bekas tusukan itu dengan lumatan lidah yang lambat namun teratur. Mata Ali mengunci pandangan Leah seolah menelanjangi setiap inci jiwanya.

"D-Direktur?."

"Leah, aku lapar."