Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
“Kamu mau mampir ke mana dulu, gak? Mungkin kamu mau beli sesuatu untuk Andri?”
Sore telah menjelang, waktu pulang kerja. Mereka berdua sudah dalam perjalanan.
Ina mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu, berpikir keras. "Apa ya?" Andri, anaknya, tak pernah spesifik menginginkan sesuatu. Mungkin ada yang diinginkannya, tapi tak pernah diutarakan.
Miris rasanya. Meskipun tinggal di rumah Ranu, Ina menyimpan banyak uang. Akan tetapi dia menyembunyikanya. Ia hanya membeli kebutuhan Andri, agar tak dicurigai suami dan mertuanya. Lauk pauk pun hanya dibeli untuk Andri dan disimpannya. Jika ketahuan mertua atau saudara iparnya saat berkunjung, lauk itu pasti akan dibawa pulang, dan Andri tak kebagian. Se-parasit itulah mereka. Tapi, andaikan mereka bisa sedikit saja memiliki hati, Ina juga tentu tak kan sebegitu pelitnya.
Tapi itu masa lalu. Mulai sekarang, Ina bertekad memenuhi semua keinginan Andri. Ia tahu watak anaknya, yang tak pernah meminta apa pun selain kebutuhannya. Namun, kini Ina ingin memberikan lebih dari sekadar kebutuhan, ia ingin memberikan kebahagiaan pada Andri.
“Oh iya, Mas. Memangnya sekarang mas Raffi tinggal di mana?” Daripada memikirkan sesuatu yang menyesakkan dada lebih baik mengalihkan pikiran.
“Sejak menikah Mas Raffi tinggal di Surabaya bersama istrinya,” jawab Adam. “Tapi,,” Adam menjeda ucapannya, menghilang nafas sebelum kemudian melanjutkannya. “Istri mas Raffi meninggal beberapa hari setelah putri mereka lahir. Bahkan saat itu bayi mereka belum genap berusia satu bulan.”
“Astaghfirullah,,, Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un,,,” Ina berucap sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. “Lalu bagaimana dengan putri mereka?” Ina bertanya dengan mata berkaca-kaca.
“Karena itu Mas Raffi tinggal bersama mertuanya hingga saat ini, Agar Mas Raffi bisa tetap dekat dengan putrinya, karena mertuanya juga ingin dekat dengan cucunya. Mungkin sekarang sudah tujuh tahun usianya.” Adam mengusap matanya yang tiba-tiba berembun.
Ina terdiam, tak lagi membahas Mas Raffi. Tak ingin kakaknya semakin sedih. Yang dia ingat, persahabatan Mas Adam dan Mas Raffi, memang sangat erat. Mereka juga memiliki hobi yang sama. Kemana-mana bersama. Bahkan mereka juga membeli pakaian yang sama. Yang tidak tahu, pasti akan mengira bahwa mereka kembar.
Ina memejamkan matanya, kembali mencoba menggali ingatannya, di mana sebenarnya dia pernah melihat mas Raffi. “Ya Tuhan, apa aku sudah begitu tua? Daya ingatku benar-benar lemah,” gumamnya sambil memijit pelipis. “Surabaya, Mas Raffi tinggal di Surabaya, berarti aku memang tak pernah bertemu dengannya. Ah, sudahlah.” Ina menghela nafas. Melupakan tentang mas Raffi.
Byarrr
“Surabaya,” serunya. “Sopir taksi.”
“Apa sih, Queen?” Adam yang sedang fokus mengemudi kaget karena seruan adiknya. Apalagi adiknya yang semula bersandar, tiba-tiba bangkit duduk tegak.
“Sopir taksi. Mas Raffi jadi sopir taksi di Surabaya!” Ina menatap kakaknya saat ingatan itu muncul.
“Ha ha ha ha ha…!” Adam tertawa tergelak mendengar ucapan adiknya. “Kamu mengigau? Jadi kamu merem diem tadi sempet ketiduran?” Adam masih tertawa lucu.
Ina bingung. Apa maksudnya coba?
“Ya gak mungkinlah, Mas Raffi jadi sopir taksi. Dia itu pengusaha sukses. Jadi bos transportasi. Gak cuma taksi. Bus, kereta, bahkan ekspedisi pengiriman barang juga.”
Lagi-lagi Ina terdiam. Tapi dia ingat betul, wajah sopir taksi yang menolongnya saat dia berada di Surabaya untuk mencari Ranu, wajah itu benar-benar persis seperti foto yang ada di ponsel Adam. Hanya saja memang terlihat lebih dewasa.
***
Ranu telah kembali berada di rumah Siska yang terletak di tengah hiruk-pikuk kota. Udara terasa lebih padat, bercampur asap kendaraan dan aroma makanan dari warung-warung kaki lima. Rumah Siska, memang mewah, ada AC di setiap ruangan. Tentu itu lebih nyaman dari rumah yang dia tempati bersama Ina. Namun, kenyamanan itu mendadak bercampur dengan ketegangan. Tatapan Siska tajam, mengawasi setiap gerakannya. Dia merasa, beberapa hari ini, Siska tak lagi seperti sebelumnya.
Sudah tiga hari Siska tak segan-segan memerintahnya membersihkan halaman, mencuci pakaian, bahkan memasak. Tangan Ranu, yang dulunya hanya memegang ponsel dan bermain game, kini juga memegang sapu lidi, kain lap, dan spatula. Ranu lelah. Tubuhnya terasa pegal, punggungnya sakit. Ia merindukan kebebasan, merindukan hari-hari berleha-leha di rumah kampungnya.
“Bibi dan tukang kebun kapan kembali sih, Yank?” Ranu mulai lelah. Sudah tiga hari pembantu dan tukang kebun cuti, dan sampai sekarang belum kembali. Lagian kenapa mereka bisa cuti bersamaan?" gerutu Ranu
“Gak tahu.” Siska menjawab cuek. Wanita itu memperhatikan polesan kutek di kuku panjangnya. “Sempurna,,,” ucapnya. Wanita yang selalu berpakaian seksi itu meniup seraya mengagumi mahakaryanya.
“Kalau mereka lama, kenapa gak cari pembantu baru saja?” Ranu memberikan usul.
“Kamu keberatan dengan pekerjaan rumah, Mas?” Siska menoleh. Bertanya dengan suaranya yang datar.
“Ah, tidak, Yank. Bukan seperti itu,,,” Ranu menjadi gugup. Sebenarnya dia memang lelah, di rumahnya dulu saja, Ina tak pernah menyuruhnya ini dan itu. Tapi di sini posisinya sudah tak lebih dari pembantu. Mau membantah? Dia tak seberani itu.
***
"Yank, Ibu telepon tadi. Beliau minta kiriman uang," ujar Ranu, menaruh cangkir kopi di meja.
Siska sedang membaca majalah mode, matanya tak lepas dari halaman yang dipenuhi foto-foto model berpakaian glamor. "Lagi?" Siska meletakkan majalahnya, nada suaranya mulai terdengar tidak suka.
Ranu menghela napas, "Ibu bilang, butuh buat biaya berobat."
"Ibu kamu sakit apa, sih? Kok gak sembuh-sembuh? Apa jangan-jangan bohong?" Siska mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah Ranu. "Kamu yakin, Ibu, benar-benar sakit?"
Ranu terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Siska.
Siska sendiri termenung. Lagi-lagi setiap ucapan yang pernah dia dengar dari Ina kembali terngiang di telinganya. Dia jadi ingat, sejak mereka menikah, belum pernah sekalipun Ranu atau ibunya memberikan dia sesuatu. Yang ada justru sebaliknya.
Begitupun yang saat ini terjadi. Ibu Ranu bukan orang miskin, dia punya banyak sawah dan ladang. Kalau hanya untuk sekedar berobat seharusnya dia punya uang. Lalu kenapa harus meminta padanya.
Siska menghela napas, Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Ia butuh suami untuk menghapus status jandanya, namun ia juga tak ingin terus-menerus dibebani oleh permintaan keluarga Ranu.
***
“Sayang.. Aku pulang,,,”
Bu Rahayu dan ratna yang sedang duduk di depan TV menoleh mendengar suara seruan Sandy.
“Sayang, lihat aku bawa apa!” Sandy berjalan cepat ke arah Ratna, dan duduk di sofa di samping istrinya. Di tangannya ada dua buah paper bag, satu kecil, dan satu besar, yang segera dia ulurkan pada istrinya dengan wajah berbinar.
“Apa itu, Mas?” Ratna meletakkan remot di tangannya dan duduk menyamping menghadap suaminya. Wajah wanita itu begitu antusias melihat apa yang dibawa oleh suaminya. Dari logo yang ada di paperbag saja dia tahu, itu barang mahal.
“Coba buka! Ini kejutan untuk kamu! Aku baru saja dapat transferan lagi,” serunya. Senyum lebar merekah di bibirnya yang sedikit kehitaman karena seringnya menghisap gulungan nikotin. Matanya melirik ke arah Bu Rahayu yang terlihat penasaran tapi enggan bersuara.
Ratna terperangah saat membuka paperbag. Mulutnya bahkan terbuka lebar dan mata terbelalak.
“Aku tahu, Kamu sering mantengin gaun dan jam itu di OLshop kan? Nah, ini aku mewujudkannya.” Sandi terlihat bahagia, karena istrinya bahagia dengan apa yang dia berikan.
“Terima kasih, Mas!” Spontan Ratna menghambur memeluk suaminya.
"Hem, sama-sama, Sayang. Sekarang buatin Mas kopi, ya! Mas ngantuk nih, tapi gak pingin tidur. Ratna pun segera beranjak menuju dapur. Tentu saja dengan senang hati, dia baru saja mendapat gaun indah dan jam tangan cantik.
“Itu investasi seperti apa?” Bu Rahayu yang sejak tadi hanya diam, akhirnya tak kuasa lagi menyimpan penasaran yang meronta. “Apa harus ada modal besar?” lanjutnya.
“Wah, ya gak dong, Bu. Modal 200 ribu pun bisa. Tapi ya itu, hasilnya juga cuma sedikit.” Sandy kemudian menjelaskan tentang investasi yang dia ikuti saat ini. Pria itu mengambil ponsel dari sakunya. Mengotak-atik sebentar dan menunjukkan pada mertuanya.
Mata Bu Rahayu tak lepas dari layar ponsel Sandy, menantunya. Sandy sedang menjelaskan grafik investasi yang menanjak tajam, senyumnya merekah lebar.
Aroma kopi robusta yang baru dibawa oleh Ratna tak mampu mengalihkan perhatian Bu Rahayu. Di dalam hati, rasa ingin tahu bercampur dengan keraguan menggelegak.
"Ibu lihat, grafiknya naik terus! Untungnya lumayan banget, Bu," kata Sandy, suaranya bersemangat. Ia menunjuk layar ponsel yang menampilkan grafik berwarna-warni.
Bu Rahayu menghela napas, jari-jarinya memainkan ujung dasternya. Sejujurnya dia tidak begitu paham dengan apa yang ditunjukkan oleh Sandy. "Tapi ini aman, gak?" Suaranya terdengar ragu-ragu, diselingi sedikit getar. Gengsi bercampur aduk dengan rasa takut akan kerugian.
Sandy tersenyum meyakinkan. "Aman, Bu. Aku sudah teliti kok sebelum ikut. Lagipula, ini investasi jangka panjang, hasilnya pasti lebih besar daripada menabung di bank."
"Tapi, modalnya kan banyak?" Bu Rahayu masih bimbang. Bayangan uang yang akan diinvestasikan membuatnya sedikit pusing. "Bagaimana kalau rugi?"
Sandy menepuk lembut tangan Bu Rahayu. "Ibu tenang saja. Risikonya memang ada, tapi peluang untungnya jauh lebih besar. Aku bisa bantu Ibu untuk mempelajarinya, kok. Kita bisa mulai dengan investasi kecil dulu."
Bu Rahayu terdiam, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tergiur oleh potensi keuntungan yang besar. Di sisi lain, rasa takut dan keraguan masih membayangi.
"Bagaimana, Bu? Ibu tertarik?" tanya Sandy, matanya penuh harap.
Bu Rahayu menggigit bibir bawahnya. "Hmm... Ibu ,,,," Ragu. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit ketertarikan yang mulai mengalahkan rasa takut dan gengsinya. Aroma kopi robusta yang harum seakan tak mampu menutupi aroma peluang yang mulai menguar di udara.
sakitnya tiada obatnya