Luna harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui jika suaminya yang baru saja menikahinya memiliki hubungan rahasia dengan adiknya sendiri.
Semuanya bermula saat Luna yang memiliki firasat buruk di balik hubungan kakak beradik suaminya (Benny dan Ningrum) yang terlihat seperti bukan selayaknya saudara, melainkan seperti sepasang kekasih.
Terjebak dalam hubungan cinta segitiga membuat Luna pada akhirnya harus memilih pada dua pilihan, bertahan dengan rumahtangganya yang sudah ternodai atau memilih menyerah meski perasaannya enggan untuk melepas sang suami..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy2R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Kembali ke Rumah Mertua)
Sesampainya di kediaman kedua orangtuanya, Luna pun langsung menceritakan permasalahannya dengan Benny kepada orangtua serta kakaknya.
"Pikiranmu saja kali, Lun, yang terlalu negatif. Masa iya kamu cemburu sama adik dari suamimu sendiri?" ujar Adam -Kakak Luna-
Luna menghela nafasnya panjang, ia menatap malas Adam dan berkata, "Feelingku tak pernah meleset, Mas. Apa yang aku rasakan tentang si Ningrum centil itu, aku yakin pasti benar adanya,"
"Jangan terlalu percaya pada perasaan, Lun, terkadang perasaan diri sendiri itu bisa salah. Sekali-kali pakailah akal sehatmu," tunjuk Adam ke kening Luna.
"Benar kata masmu, Luna. Jangan terlalu mempercayai sebuah perasaan apalagi perasaan cemburu," sahut Eni -Ibunda Luna-
"Kamu itu sudah menikah, Luna, gunakanlah otakmu untuk berpikir. Kurang-kurangilah cemburuanmu itu." timpal sang Ayah -Rosyid-
Luna menghela nafas panjang. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri karena memilih jalan yang salah. Andai saja ia tak memilih pulang dan bercerita kepada keluarganya, pasti ia tak akan merasa semalu sekarang.
"Pulang sana ke rumah mertuamu, temui Benny dan minta maaflah kepadanya. Tak baik seorang istri pergi dari rumah suaminya dengan keadaan sedang bertengkar," perintah Rosyid.
Luna mengangguk pasrah tanpa berani membantah perkataan ayahnya, "Iya, Yah. Setelah ini, aku bakalan pulang ke rumah orangtua mas Benny," ucapnya.
"Nanti biar Bunda yang mengantarmu pulang," ucap Eni.
"Iya, Bun."
Beberapa saat kemudian, Luna akhirnya pamit pulang kepada ayah dan juga kakaknya. Ia pulang ke rumah mertuanya bersama sang ibunda, Eni.
Selama di perjalanan, Luna selalu tampak melamun. Pandangannya kosong, tatapannya terus-menerus mengarah ke luar jendela.
Melihat keadaan Luna, membuat perasaan Eni tak karuan.
"Lho, kita mau ke mana, Bun?" tanya Luna. Ia terkejut saat tiba-tiba bundanya membelokkan setir mobil ke arah yang berlawanan dari rumah mertuanya tanpa mengatakan apapun sebelumnya.
"Ke mana saja, yang penting tak ada seorangpun yang bisa mendengar percakapan kita." jawab Eni.
*
Sesampainya di depan sebuah restaurant, Eni langsung menggandeng tangan Luna dan mengajaknya masuk ke dalam.
Meja nomor 112 menjadi tempat pilihan mereka berdua.
"Kamu mau pesan apa, Sayang? Kamu pasti belum sarapan kan tadi?" tanya Eni penuh perhatian.
"Aku sudah sarapan kok, Bun, meskipun cuma sedikit," jawab Luna.
Melihat sikap serta raut wajah Luna yang bersedih, membuat Eni menjadi penasaran dengan kebenaran cerita anak perempuannya itu.
"Mengenai Benny dan adiknya, apakah kamu memiliki bukti terkait kedekatan mereka yang kamu bilang tak wajar itu, Luna?" tanya Eni tiba-tiba.
Luna menatap Eni sejenak kemudian ia kembali melempar pandangannya ke arah lain. "Aku tak memiliki bukti apapun terkait kedekatan mas Benny dan Ningrum. Yang aku miliki hanyalah firasat saja," jawabnya.
"Tapi firasat itu bisa salah, Luna. Apa yang kamu lihat dan rasakan biasanya tak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi," ujar Eni.
Luna menghela nafasnya panjang. Ia tampak tersenyum miring usai mendengar ucapan bundanya.
"Sudahlah,Bun, tak perlu lagi dibahas." pungkas Luna.
Luna bangkit dari duduknya, ia tiba-tiba saja berjalan menjauh tanpa mengatakan sepatah katapun kepada bundanya.
"Luna.." panggil Eni setengah berteriak. "Astaga anak itu."
Eni pun ikut bangkit. Sebelum pergi, ia terlebih dahulu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dalam tas kecilnya yang kemudian ia letakkan di atas meja. Uang itu sebagai pembayaran atas minuman milik Luna dan juga miliknya sendiri.
"Luna, tunggu!" Eni berteriak memanggil Luna sambil berlari kecil.
Di pinggir jalan, Luna menghentikan langkahnya. Ia melambaikan tangannya ke sebuah taksi yang sedang berjalan ke arahnya.
"Luna!"
Tepat di saat Luna hendak membuka pintu taksi, tangan Eni berhasil meraih bajunya.
"Apa sih, Bun!"
"Biar Bunda saja yang mengantarmu pulang," ucap Eni. Ia mendekati taksi yang hendak dinaiki Luna dan menutup kembali pintunya. Dengan sopan, Eni mengatakan kepada sang supir jika Luna tak jadi memakai jasanya. "Maaf ya, Pak." ucapnya sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Seperginya sang supir taksi, Eni pun kembali fokus kepada Luna. Dengan tutur yang lembut, Eni mencoba merayu Luna agar anak kesayangannya itu mau menuruti perkataannya.
"Maafkan Bunda, Lun. Bunda tak bermaksud menyinggung perasaanmu," ucap Eni.
"Niatku pulang ke rumah untuk mencari ketenangan dan mendapatkan dukungan dari keluarga, tapi ternyata aku salah, seharusnya aku tak usah pulang saja dan memilih untuk memendam semuanya sendiri." Luna terisak. Apa yang ingin dikatakannya sedari tadi, akhirnya ia lontarkan semuanya di hadapan bundanya.
Eni jadi merasa bersalah dibuat Luna. Ia menghela nafasnya sambil memalingkan pandangannya dari tatapan Luna.
"Saat sampai di rumah mertuaku nanti, aku minta Bunda untuk tetap di sana sebentar saja. Cari dan lihatlah hal janggal apa saja yang berhubungan dengan mas Benny dan Ningrum," ucap Luna.
"Baiklah, Bunda turuti kemauanmu."
Akhirnya, Eni pun menyetujui permintaan Luna.
Perjalanan menuju ke kediaman orangtua Benny tak begitu memakan waktu, hanya sekitar 30 menit saja keduanya sudah sampai di depan rumah.
Sesampainya di sana, Luna langsung keluar dan turun dari mobil bundanya. Dengan hati yang tak karuan, Luna memberanikan diri melangkahkan kakinya ke teras rumah mertuanya.
"Semoga saja keadaan sudah membaik." batin Luna.
Ting tong.
Bel pun berbunyi.
Tak menunggu lama, terdengar suara langkah kaki mendekat dari dalam rumah.
"Mama," panggil Luna sesaat setelah pintu terbuka.
Retno, sang mertua tersenyum menyambut kepulangan menantu perempuannya.
"Kamu dari mana saja sih, Lun? Kenapa kamu pergi tanpa berpamitan?" tanya Retno sembari memeluk hangat sang menantu.
"Maaf, Ma, aku tadi pulang ke rumah ayah untuk menenangkan diri," jawab Luna.
Dari balik punggung Luna, Retno mendapati sosok Eni yang tengah tersenyum kepadanya.
"Besan," lirih Retno. Ia melepas pelukannya dan beralih mendekati Eni. "Maafkan Benny ya, Jeng, kalau ada sikap Benny yang membuat Luna tersakiti," ucapnya sembari menggenggam kedua tangan Eni.
"Tak apa, Jeng."
Retno lantas mengajak Eni dan Luna untuk masuk ke dalam rumah. Retno mengajak Eni untuk duduk dan bercengkrama di ruang keluarga, sedangkan Luna, ia memintanya untuk segera menemui Benny yang saat itu sedang berada di dalam ruang kerjanya.
"Benny dan adiknya terlihat saling menyayangi ya, Jeng, mereka seperti tak terpisahkan," ucap Eni saat kedua matanya menangkap foto-foto kenangan Benny dan Ningrum yang terpajang di sebuah rak.
"Namanya juga adik kakak, jadi ya wajar jika keduanya terlihat saling menyayangi," balas Retno.
"Ah iya, benar."
Kedua mata Eni terus saja berkelana memandangi foto-foto yang ada di ruang keluarga. Eni sedang mencoba mencari sesuatu yang janggal antara Benny dan Ningrum seperti yang dikatakan Luna tadi.
"Foto yang itu kok terasa ada yang janggal ya, Jeng?" tunjuk Eni tiba-tiba pada sebuah bingkai berukuran besar yang di dalamnya terdapat sebuah foto.
Retno mengernyitkan dahi, menatap foto yang ditunjuk Eni. Ia memicingkan kedua matanya demi mencari hal janggal yang dikatakan besannya itu.
"Apanya yang janggal, Jeng?" tanya Retno balik.
Bukannya menjawab, Eni malah sibuk melayangkan pandangannya ke foto-foto yang lain. "Ada yang aneh.." gumamnya.
_