Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peran Rara sebagai istri
Setelah resmi menjadi istri Arga, Rara berusaha menjalankan perannya sebaik mungkin. Ia memastikan rumah tetap rapi, makanan tersedia, dan kebutuhan sehari-hari Arga terpenuhi, hal tersebut tentu juga dibantu oleh pelayan di rumah tersebut. Namun, di balik semua itu, ada jarak emosional yang masih ia pertahankan.
Malam itu, setelah makan malam selesai, Rara menyiapkan teh untuk Arga di ruang kerjanya. Ia mengetuk pintu dengan pelan sebelum masuk.
"Tehnya Arga," katanya sambil meletakkan cangkir di meja.
Arga menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Terima kasih."
Mereka terdiam beberapa saat, hanya suara jam dinding yang terdengar di ruangan itu. Rara berdiri di tempatnya, ragu untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. Akhirnya, ia menghela napas pelan dan memberanikan diri.
"Arga," ia memulai, suaranya lembut tetapi tegas. "Aku ingin mengingatkanmu soal perjanjian kita."
Arga mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan fokus pada Rara. "Aku tidak lupa."
"Aku... belum siap," lanjut Rara, mencoba menata kata-katanya. "Aku belum tahu apa yang sebenarnya aku rasakan tentang semua ini. Pernikahan kita—ini bukan pernikahan seperti yang biasanya, dan aku butuh waktu untuk memahami semuanya."
Arga terdiam sejenak, lalu ia mengangguk pelan. "Aku mengerti," katanya tanpa nada emosi yang berlebihan. "Kau tidak perlu memaksakan dirimu. Aku tidak akan menyentuhmu sampai kau merasa siap."
Perasaan lega menyelimuti hati Rara, tetapi ia juga merasa bersalah. Ia tahu Arga telah banyak membantunya, dan meskipun pria itu bersikap dingin, ia tidak pernah memaksakan kehendaknya.
Hari-hari berlalu, dan Rara terus menjalani kehidupannya sebagai istri. Ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memastikan semua berjalan lancar, tetap bekerja ke perusahaan, tetapi saat malam tiba, mereka kembali menjadi dua orang asing di bawah satu atap.
Meski demikian, Rara mulai memperhatikan sisi lain dari Arga. Terkadang, ia menangkap momen-momen kecil di mana Arga menunjukkan perhatian seperti memastikan obat Rara tersedia saat ia sakit atau mengganti bola lampu tanpa diminta bahkan memerintahkan bawahannya. Perhatian itu, meskipun sederhana, perlahan membuat hati Rara mulai bertanya-tanya.
Sementara itu, Arga tetap menjalankan perannya sebagai suami dengan jarak yang telah disepakati. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukanlah hal yang mudah bagi Rara, tetapi di dalam hatinya, ada harapan kecil bahwa suatu hari Rara akan melihatnya lebih dari sekadar pria dingin yang menawarkan perjanjian pernikahan.
Namun, keduanya tetap bertahan dalam perjanjian tersebut, membangun kehidupan perlahan, dengan harapan waktu akan memberikan jawaban yang mereka cari.
Pagi itu, suasana kantor seperti biasa sangat sibuk, dengan karyawan yang lalu lalang menyelesaikan tugas masing-masing. Rara, yang kini dipindahkan bekerja ke bawah divisi manajemen proyek karena ia memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan, terlihat sedang sibuk memeriksa laporan. Meski menikah dengan Arga, ia tetap menjaga profesionalisme seperti yang telah disepakati. Tidak ada yang tahu bahwa ia kini adalah istri sang pemilik perusahaan.
Saat Rara tengah fokus pada pekerjaannya, pintu ruangannya terbuka, dan Clara pimpinan divisi manajemen proyek muncul dengan senyum sinis. "Rara, ini laporan baru dari tim pemasaran. Tolong koreksi dan pastikan sudah siap sebelum rapat jam dua nanti," katanya dengan nada memerintah, meskipun itu bukan tugas Rara.
Rara mengangguk tanpa protes. Ia tahu ini bagian dari ujian di tempat kerja, terutama setelah berbagai desas-desus tentang dirinya dan Arga sempat tersebar. Clara memutar tubuhnya dan berjalan keluar dengan langkah angkuh, meninggalkan tawa kecil yang membuat Rara sedikit kesal.
Tidak lama kemudian, telepon di meja Rara berdering. Ia segera mengangkatnya.
"Rara," suara Arga terdengar di ujung telepon, dingin seperti biasa. "Datang ke ruanganku sekarang. Ada yang perlu kita bicarakan."
"Baik, Pak," jawab Rara formal, sesuai dengan kesepakatan mereka di kantor.
Setelah meletakkan telepon, Rara segera menuju ruang kerja Arga. Saat masuk, ia melihat Arga sedang berdiri di dekat jendela, memandang kota yang sibuk. Ia menoleh saat mendengar pintu terbuka.
"Kau sudah terbiasa dengan pekerjaanmu?" tanya Arga langsung.
Rara mengangguk. "Ya, semuanya berjalan baik."
Arga menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Aku mendengar ada seseorang yang terus membebanimu dengan tugas tambahan. Apa itu benar?"
Rara terkejut sejenak, tetapi ia mencoba tersenyum. "Hanya sedikit tugas tambahan. Aku bisa menanganinya."
Arga mendekat, nadanya lebih serius. "Rara, kau tidak perlu menutupi sesuatu dariku. Jika ada yang mencoba menjatuhkanmu, beri tahu aku."
Rara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Meskipun Arga sering bersikap dingin, perhatian yang ia tunjukkan kali ini terasa tulus. "Aku baik-baik saja, Arga. Aku bisa menangani ini sendiri," jawabnya dengan tegas.
Arga mengangguk perlahan, meskipun jelas ia belum sepenuhnya yakin. "Baiklah. Tapi ingat, aku ada di sini kalau kau butuh bantuan."
Setelah itu, Rara kembali ke ruangannya, tetapi perasaan hangat mengalir dalam dirinya. Meski pernikahan mereka hanyalah sebuah perjanjian, perhatian kecil dari Arga mulai membuatnya melihat sisi lain dari pria itu—sisi yang mungkin tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Sorenya perusahaan mengadakan rapat besar di ruang konferensi. Semua karyawan dari berbagai divisi hadir, termasuk Rara. Ia duduk di barisan tengah, mencoba menyembunyikan keberadaannya agar tidak menarik perhatian.
Arga, yang memimpin rapat, berdiri di depan dengan sikap tenang dan profesional seperti biasa. Ia menjelaskan berbagai rencana perusahaan dengan nada suara yang tegas namun dingin. Namun, sesekali, matanya melirik ke arah Rara, memastikan istrinya itu baik-baik saja.
Di tengah rapat, salah satu karyawan dari divisi pemasaran memberikan presentasi yang panjang. Rara, yang fokus mendengarkan, mulai terlihat lelah. Tanpa disadari, ia menyentuh pelipisnya, mencoba meredakan pusing yang tiba-tiba menyerang.
Arga, yang memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan, berhenti sejenak sebelum melanjutkan rapat. Ia mengambil botol air mineral yang ada di meja depannya dan melangkah ke arah Rara.
Semua orang di ruangan terdiam, bingung dengan tindakan Arga yang tiba-tiba. Ia meletakkan botol itu di meja Rara dengan santai, kemudian berkata singkat, "Minum."
Rara terkejut, namun ia menundukkan kepala, menerima botol itu sambil berbisik pelan, "Terima kasih."
Arga kembali ke tempatnya dan melanjutkan rapat seperti tidak ada yang terjadi. Namun, momen kecil itu cukup membuat suasana di ruangan menjadi sedikit canggung, terutama bagi Clara yang duduk di barisan depan.
Tatapan Clara berubah masam, sementara beberapa karyawan mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya tentang hubungan antara Arga dan Rara.
Sementara itu, Rara hanya bisa menahan perasaan campur aduk. Perhatian kecil dari Arga itu membuatnya merasa hangat, tetapi ia juga khawatir bahwa tindakannya akan memancing lebih banyak spekulasi di kantor.
Setelah rapat selesai, Nanda mendekati Arga dengan senyum menggoda. "Kau tahu kan, tadi itu terlalu jelas? Semua orang melihatnya."
Arga hanya menatap Nanda datar. "Dia terlihat tidak enak badan. Aku hanya memastikan dia baik-baik saja."
Nanda tertawa kecil, menepuk bahu Arga. "Tentu saja. Tapi coba katakan itu lagi tanpa terlihat khawatir, bos."
Arga tidak menjawab, hanya melirik ke arah pintu keluar di mana Rara baru saja meninggalkan ruangan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perhatian kecil itu lebih dari sekadar kepedulian profesional ada sesuatu yang mulai tumbuh, meski ia belum sepenuhnya menyadarinya.