Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Bab 7
Meyra duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Hujan gerimis mengiringi malam yang sunyi, namun pikirannya tak bisa tenang. Seminggu yang lalu, suaminya, Baim, terlibat dalam sebuah kecelakaan yang mengubah hidup mereka. Ia menabrak Sarah, istri Alvin, dan kini Baim terancam hukuman penjara yang panjang. Meyra tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Baim. Namun, keadaan memaksanya untuk berpikir rasional.
Alvin, suami Sarah yang kini terbaring koma di rumah sakit, datang menemuinya dengan tawaran yang tak bisa ia tolak. “Meyra, aku tahu kau masih sangat mencintai Baim, tapi jika kau ingin dia bebas, ada satu cara yang bisa menyelamatkannya,” kata Alvin, suaranya penuh tekad. “Kau harus menikah denganku.”
Meyra terdiam mendengar kata-kata Alvin. Ia merasa seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Bagaimana bisa ia menikah dengan pria yang tidak ia cintai hanya untuk menyelamatkan suaminya? Namun, melihat bagaimana Alvin begitu tegar dan yakin, Meyra tahu bahwa ia tak memiliki pilihan lain. "Jika itu yang bisa menyelamatkan Baim, aku akan melakukannya," jawab Meyra dengan suara bergetar.
Alvin memandangnya dengan penuh harap. “Kau harus bercerai dengan Baim terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan menikah. Hanya dengan itu, aku bisa mengurus perkara hukum yang sedang menjerat Baim.”
Meyra menundukkan kepala. Ia tahu ini adalah jalan terberat dalam hidupnya, namun demi Baim dan masa depan anak-anak mereka, ia harus menerima kenyataan pahit ini.
Hari yang ditunggu pun tiba. Meyra berdiri di altar, mengenakan gaun pernikahan sederhana yang terasa begitu berat. Pernikahan ini bukan pernikahan yang diinginkannya, bukan pernikahan yang ia impikan dengan pria yang ia cintai. Namun, demi Baim dan ketiga anak Alvin yang masih kecil, Meyra harus menjalani pernikahan ini.
Alvin berdiri di sebelahnya, tampak tenang meski ada kesan dingin di wajahnya. Tak ada senyum bahagia yang biasanya muncul pada pernikahan. Hanya ada kesepakatan yang tertulis di antara mereka, tanpa ada cinta di dalamnya.
Prosesi pernikahan berjalan cepat. Tanpa pesta meriah, tanpa keramaian, hanya ada keluarga terdekat yang hadir. Setelah ijab kabul, mereka pun resmi menjadi suami istri, meskipun dalam hati Meyra tidak merasa seperti itu. Ia merasa terjebak, dan perasaan itu semakin menguat saat mereka meninggalkan gedung pernikahan dan menuju ke rumah Alvin.
Sesampainya di rumah Alvin, suasana menjadi semakin canggung. Meyra hanya duduk di ruang tamu, sementara Alvin pergi ke kamarnya. Malam itu seharusnya menjadi malam yang penuh kebahagiaan bagi pasangan yang baru menikah, namun bagi Meyra, malam itu penuh dengan kecemasan.
Setelah semua tamu pulang dan malam semakin larut, Alvin datang menghampiri Meyra di ruang tamu. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya. Tampaknya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menjalani peran suami istri yang sah di mata hukum.
“Meyra,” kata Alvin dengan nada yang lebih serius, “Sekarang kita sudah menikah. Aku ingin kita menjalani kehidupan suami istri seperti pasangan lainnya.”
Meyra menatapnya dengan tatapan kosong. Ia merasakan berat di dadanya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. "Aku menikah denganmu bukan untuk itu, Pak Alvin," jawabnya dengan suara yang mantap, meskipun hatinya terasa remuk. “Aku menikahi Bapak untuk merawat ketiga anak Bapak, menggantikan mama mereka. Aku bukan istri yang harus melayani Bapak.”
Alvin terdiam, terkejut mendengar penolakan yang jelas dari Meyra. Matanya menatap dalam-dalam ke mata Meyra, seolah mencari jawaban lain. "Meyra, ini bukanlah hidup yang mudah. Aku ingin kita bisa saling berbagi, saling memahami. Aku tahu pernikahan ini bukan yang kau inginkan, tapi kita harus menjalani ini bersama."
Namun, Meyra tetap teguh pada pendiriannya. “Aku menikah dengan Bapak untuk anak-anakmu. Itu saja. Aku bukan istri yang bisa memenuhi harapan Bapak. Aku tidak mencintaimu, Bapak.”
Alvin merasa cemas mendengar penolakan tersebut, tetapi ia tak bisa memaksakan kehendaknya. Mereka berdua terdiam dalam keheningan. Tidak ada kata-kata lagi yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka hanya terikat oleh sebuah perjanjian yang lebih besar dari sekadar cinta.
Malam itu, Alvin dan Meyra tidur terpisah. Meyra tidur di kamar anak-anak, sementara Alvin tidur di kamar utama. Meskipun mereka sudah resmi menikah, hubungan mereka tidak lebih dari sebuah kesepakatan yang terpaksa dilakukan. Tidak ada kehangatan, tidak ada perasaan cinta. Hanya ada rasa tanggung jawab yang membelenggu mereka.
Keesokan harinya, Meyra mulai menjalani kehidupan barunya sebagai ibu bagi anak-anak Alvin. Ketiga anak Alvin, yang bernama Rey, Rheana tidak menerima Meyra dengan tangan terbuka. Mereka tidak merasa senang karena kini ada sosok ibu pengganti mereka, meskipun mereka tahu pernikahan ini tidak sama dengan pernikahan orang tua mereka yang terdahulu.
Meyra merasa mendapat penolakan dari Rey dan Rheana karena kedua naka mereka tahu bahwa mantan suami Meyra lah menyebabkan kematian mamanya. Rey dan Rheana pergi begitu saja tanpa menikmati sarapan yang telah disiapkan Meyra
Sementara itu, Alvin semakin jarang berbicara dengan Meyra. Ia sibuk dengan urusan bisnis dan kesibukan lainnya, sementara Meyra terus berusaha menjalani peran barunya dengan sepenuh hati. Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Meyra merasa bahwa meskipun mereka sudah menikah, mereka tetap terpisah oleh perasaan yang tidak bisa dijembatani
Hari demi hari berlalu, dan hidup terus berjalan. Meyra mulai merasa bahwa ia harus menerima kenyataan ini. Ia harus merawat anak-anak Alvin dengan sepenuh hati, karena itu adalah kewajibannya sebagai ibu mereka. Namun, ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa ia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Suatu malam, setelah anak-anak tidur, Alvin datang menghampirinya. Wajahnya lebih lembut dari sebelumnya, tetapi tetap ada ketegangan yang menyelubungi ruang di antara mereka.
“Meyra,” kata Alvin dengan suara yang lebih tenang, “Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi kita harus mencari jalan untuk bisa saling menghargai. Aku ingin kita bisa hidup bersama, meski tanpa cinta. Kita bisa membangun sesuatu yang baru.”
Meyra menatapnya, matanya penuh dengan kelelahan. “Aku tidak tahu bagaimana caranya, Pak. Aku hanya ingin memastikan anak-anak itu bahagia. Tapi aku tidak bisa berpura-pura menjadi istri yang kau inginkan. Aku hanya ingin menjadi ibu bagi mereka.”
Alvin murka setelah mendengar jawaban Meyra. Dia membanting pintu dan keluar rumah dan kembali ke kehidupan lamanya yang suka main perempuan.
Meyra tahu, masa depan mereka berdua masih sangat kabur. Namun, ia tetap bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk anak-anak, meskipun perasaan cinta tidak ada di sana. Mereka masih harus menemukan cara untuk saling memahami, meskipun pernikahan mereka lebih banyak dibangun atas tanggung jawab daripada perasaan cinta.
Akankah mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama? Atau akan pernikahan mereka berakhir dengan kekecewaan? Kita akan menunggu jawabannya di bagian berikutnya...