Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Pagi hari di sebuah rumah mewah.
“Ayo turun!” Adam lebih dulu turun setelah memarkir mobilnya. Istrinya yang duduk di sebelah kemudi mengiringinya.
Kemarin, karena saat sampai di kota, hari sudah larut, Adam memutuskan mengajak Ina dan andri untuk menginap di rumahnya, dan baru pagi ini, Adam membawa adik dan keponakannya ke rumah orang tuanya.
“Ayo Dek.” Seru Nabila, istri Adam, saat melihat Ina yang masih diam terpaku di tempat duduknya.
“Iya, Mbak.” Ina memejamkan matanya sebentar, diambilnya nafas dalam sebelum turun menyusul kakak iparnya. Sedangkan Andri sudah berjalan lebih dulu bersama Adam.
“Assalamualaikum,” seru Adam ketika mereka sudah berada di dekat ruang makan.
Seorang nyonya yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda, yang sedang membantu memasak di dapur, menoleh mendengar seruan itu.
“Waalaikumsalam, sayang.” Nyonya Sukhana Dewi, mama dari Adam dan Ina meninggalkan spatula yang dipegangnya, dan menyerahkan pekerjaan agar dilanjutkan oleh asisten rumah tangga.
“Tumben ke sini pagi-pagi? Biasanya kan kalau mampir sore pulang kerja?” heran Nyonya Sukhana.
“Loh, sama Billa juga? Apa kabar, Sayang?” tanya wanita itu yang kemudian bercipika-cipiki dengan menantunya. Rasa heran semakin menyelimuti hati. Karena biasanya seminggu sekali baru menantunya itu akan berkunjung. Tapi ini baru dua hari, dan bukan akhir pekan.
“Alhamdulillah, Ma,” jawab Nabilla.
“Loh ini siapa?” nyonya Sukhana menyentuh kepala Andri yang masih digandeng oleh Adam.
“Lagi pengen aja, Ma. Dan karena ada yang ingin aku kasih ke Mama sama Papa.” Adam menoleh ke belakang.
“Apaan sih suami kamu itu?” Ucapan wanita itu terhenti ketika sesosok wanita berjalan dari arah belakang Adam, “Ya Allah..!” Wanita itu menutup mulutnya dengan empat jari tangannya. Perlahan matanya berembun.
“Ma,,,?” Ina melangkah semakin mendekat. Kedua mata ibu Andri itu pun telah berkaca-kaca.
“Sayang,,,?” Nyonya Sukhana berlari menghambur ke arah putrinya. “Akhirnya Kamu pulang, sayang.” Dipeluknya sang putri penuh kerinduan.
“Maaf, maafin Ina, Ma,,” kedua wanita beda generasi itu saling berpelukan dalam tangis. Meluapkan emosi kerinduan yang lama terpendam. Adam dan Nabilla ikut meneteskan airmata. Begitupun Andri. Bocah itu tampaknya mulai bisa memahami situasi yang terjadi di hadapannya.
“Mau apa Kamu ke sini?” satu suara tiba-tiba hadir memecah keharuan di antara mereka.
Tuan Wasupati Wardhana, suami dari Nyonya Sukhana tampak sedang berjalan menuruni tangga. Sorot mata yang dingin, dengan dua tangan tersimpan di saku celana. Usia tua tak mampu menyembunyikan sisa-sisa kegagahan dan ketampanannya di masa muda.
Ina melepaskan diri dari pelukan mamanya. Menundukkan kepala dengan airmata yang tak henti menetes. Pria yang menjadi cinta pertamanya kini tak lagi mencintainya. Betapa itu sangat menyakitkan. Lebih sakit lagi karena sadar itu adalah akibat kesalahannya sendiri.
“Papa,,,?” Ina tahu dia salah. Maka dia akan menghadapi apa pun itu yang akan menjadi keputusan papanya. Tapi sebelum itu…
Ina berlari ke arah papanya yang menatapnya tanpa ekspresi. Tak peduli pria itu kini berbalik arah enggan bertatapan dengannya. “Papa,,,?” Ina menubruk punggung kokoh itu. Melingkarkan tangan dan menyandarkan wajahnya. “Maaf,,,!” ucapnya.
Sang ayah tampak melakukan pergerakan untuk melepaskan pelukannya, tapi dia tak peduli. Didekapnya tubuh yang masih tetap gagah di usianya yang hampir menginjak angka 60 itu semakin erat.
“Maaf, maaf, maaf,,,” hanya kata itu yang berulang kali terdengar dari mulut Ina. Airmata tak henti meluncur membuat Tuan Wasupati merasa punggungnya semakin basah.
“Untuk apa?” Pria tua itu mengangkat wajahnya menatap langit-langit ruangan agar setitik air yang nyaris jatuh bisa bertahan. Dadanya terasa sesak. Kemarahan, kekecewaan dan kerinduan yang berbaur jadi satu, dan terpendam selama bertahun-tahun membuatnya tersiksa.
“Ina tahu salah, maaf. Tolong hukum ina. Hukum ina apa saja. Tapi maafkan Ina, jangan benci Ina, jangan meminta Ina menjauh, ina tidak sanggup.” wanita itu menangis semakin tersedu-sedu.
“Kenapa? Bukankah Kamu sudah dewasa, Kamu sudah bisa menilai dengan benar, Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri, begitu kan, katamu?” Tuan Wasupati tak lagi bisa menahan tangisnya. Pria tua itu ikut tersedu-sedu.
Perkataan papanya mengingatkan dia pada kesalahannya di masa lalu betapa bodoh, naif, dan keras kepala dirinya dulu. Menggelengkan kepala berkali-kali, Ina tetap tak ingin melepas pelukan. “Itu tidak benar. Ina salah, Ina yang bodoh, Ina yang tidak penurut. Maafkan Ina, Pa,,?”
“Kalau tahu salah kenapa tidak diperbaiki? Tahu bodoh kenapa tidak belajar, Kamu juga tak pernah sekalipun ingat untuk menengok orang tuamu. Apakah mereka masih hidup atau sudah terkubur Kamu bahkan tidak tahu.”Tuan Wasupati memegang dadanya yang terasa sesak.
“Maaf, Pa. Maaf,,,. Ina minta maaf.” Tangis Ina semakin pecah. “Ina minta ampun. Ina ingin pulang, Ina ingin minta maaf, Ina ingin mengaku dosa. Tapi Ina takut. Ina terlalu malu , huu uuuu uuuuu,,,,”
Nyonya Sukhana menghapus airmatanya yang mengalir melihat pemandangan itu. Begitupun Adam dan Nabilla.
“Ibu,,,!” Tampak Andri ingin berlari ke arah ibunya yang sedang menangis, tetapi Adam menghentikannya dengan memeluk bocah itu.
Para pelayan yang sebelumnya berada di dapur, melihat keluar, penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Tak pelak apa yang mereka lihat membuat mereka ikut menitikkan airmata.
Tuan Wasupati melepas tangan Ina yang melingkar di perutnya, membalikkan badan dan membawa putrinya dalam pelukan. “Dasar anak bodoh…”
“Iya, Pa. Ina bodoh. Huu uuu uuuu,,,”
“Harusnya Kamu sekolah TK lagi!”
“Ina akan sekolah lagi, huu uuu uuuu,,,”
“Ibu,,, huaaa…”
Melihat suasana sudah berubah, Adam melepaskan keponakannya, dan bocah itu langsung berlari memeluk ibunya.
Tuan Wasupati tersentak melihat adanya seorang anak kecil di antara mereka. Sejak tadi pria tua itu hanya fokus pada kerinduan terhadap putrinya. Sama sekali tidak menyadari keberadaan Andri. Perlahan Tuan Wasupati melepas pelukan Ina. Duduk berjongkok dengan bertumpu pada satu lutut, dengan mata kembali berkaca-kaca, diusapnya pucuk kepala bocah itu.
Ina mengikuti gerakan papanya. “Ini Opa, Sayang. Ayo salam sama Opa!” Tutur Ina lembut.
Andri mengangguk lalu meraih tangan opanya, lalu menciumnya, “Assalamualaikum, Opa,” ucap bocah itu.
Tuan Wasupati menarik bocah itu ke dalam pelukan. Airmata pria itu kembali mengucur. “Bahkan Papa punya cucu sebesar ini, tapi kamu tidak pernah menunjukkannya.”
“Maaf, Pa.’ Ina ikut berpelukan.
***
“Apa, Bi?”
Mereka semua kini sedang berada di ruang keluarga. Ina masih setia bergelayut manja di pelukan papanya, sedang nyonya Sukhana duduk bersama cucu yang baru mereka temui.
Di tengah kebahagiaan dan keharuan mereka, tiba-tiba ponsel Adam berdering. Lelaki itu melihatnya dan ternyata itu dari Bi Hindun.
“Ada apa, Mas?” Ina bangkit dari pelukan.
“Bi Hindun bilang, Ranu…”
ttp semngat thor/Good/
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅