Fariq Atlas Renandra seorang pria yang berprofesi sebagai mandor bangunan sekaligus arsitektur yang sudah memiliki jam terbang kemana-mana. Bertemu dengan seorang dokter muda bernama Rachel Diandra yang memiliki paras cantik rupawan. Keduanya dijodohkan oleh orangtuanya masing-masing, mengingat Fariq dan Rachel sama-sama sendiri.
Pernikahan mereka berjalan seperti yang diharapkan oleh orang tua mereka. Walaupun ada saja tantangan yang mereka hadapi. Mulai dari mantan Fariq hingga saudara tiri Rachel yang mencoba menghancurkan hubungan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naga Rahsyafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu
Saat Rachel masuk ke dalam kamar, dia sama sekali tidak melihat adanya laki-laki itu di sana. Wanita itu kaget ketika dari belakang ada seseorang yang memeluk tubuhnya.
"Mas, Ariq!"
"Sayang," lirih Fariq sambil mengecup leher jenjang istrinya.
"Ngapain sih. Tadi katanya ngantuk tapi belum tidur juga."
"Mas cuma bohong."
"Bohong?" Rachel berbalik badan menatap aneh kearah suaminya. Namun kembali pria itu memeluk dirinya.
"Mas kenapa bohong?" tanya Rachel. "Nggak baik tau."
"Biar bisa berduaan sama kamu."
"Lepas dulu. Jangan peluk terus."
"Kamu nggak mau bahagiain Mas malam ini?"
"Maksud Mas apa?"
Cup!
Kembali Rachel merasakan kecupan di lehernya.
"Tadi kamu sholat di rumah sakit."
Rachel membulatkan matanya, ia tau jika pria itu pasti akan meminta hak sebagai seorang suaminya. "I-iya, Mas."
Fariq menatap sendu kearah istrinya, senyum merekah terlihat jelas dibibir pria itu. Perlahan Fariq pun mengecup kening sang istri.
Cup!
"Berarti kamu udah nggak datang bulan lagi 'kan. Karena di rumah sakit tadi kamu udah sholat."
"Iya, Mas." Jawab Rachel gugup.
"Cantiknya istri Mas ini."
"Mas ya-yakin mau se-sekarang?" tanya Rachel.
"Iyalah ... Tunggu kapan lagi. Emangnya kamu nggak mau punya anak?" tanya Fariq.
Rachel terus saja melemparkan senyuman kepada suaminya. "Mau Mas."
"Malam ini Mas mau cari pahala sama kamu."
Fariq menangkup wajah Rachel dan mengecup wajah wanita itu hingga beberapa kali.
Menit demi menit sudah berlangsung, Fariq dan Rachel menghentikan aktivitas tersebut.
"Nghhh …" Kembali Rachel mendapatkan ciuman dari suaminya.
"Jangan remes," ucap Rachel melepaskan ciuman mereka. "Sakit."
"Bukannya enak?" tanya Fariq.
"Kalau mas nyusu enak. Tapi kalau diremes sakit."
Fariq pun mengusap kepala sang istri membuat Rachel semakin merinding. "Kamu siap 'kan jadi istri Mas seutuhnya?"
"Si-siap Mas." Lirih Rachel.
[] [] []
Di dalam kamar sepasang suami istri sedang duduk di atas ranjang. Mereka baru saja melaksanakan aktifitas mendatangkan pahala. Baik Fariq maupun Rachel. Keduanya berharap supaya mereka bisa memberikan cucu kepada orangtuanya.
"Semoga kamu cepat hamil ya. Mas pengen merasakan jadi orang tua."
"Apalagi nanti kalau Mas pulang kerja. Terus ada suara anak kita." Fariq pun semakin menggenggam erat telapak tangan wanita itu. "Pasti seneng banget."
"Iya, Mas. Semoga aja ya. Rachel juga udah nggak sabar pengen merasakan hamil seperti wanita-wanita di luar sana yang berjuang untuk anak mereka."
"Pokoknya nanti kalau kamu hamil, Mas berusaha akan terus ada di samping kamu."
"Makasih, Mas."
"Mas kok jadi lapar ya. Pengen makan sesuatu."
Sekilas Rachel menatap suaminya yang sedang berbaring di pangkuannya. Tangannya masih betah mengusap-usap kepala pria itu.
"Mas mau makan apa?"
"Ayo lah sayang ke dapur. Mas mau makan apa yang ada aja."
"Kalau gitu Rachel masakin mie instan aja."
"Boleh." Jawab Fariq.
Keduanya segera bergegas pergi menuju dapur. Karena aktifitas suami istri itu bukan hanya Fariq yang merasakan lapar, tetapi Rachel juga sama.
"Mas tunggu aja ya di meja makan. Biar Rachel masakin sekarang."
"Siap sayang."
Setelah beberapa menit lamanya, Rachel sudah menghidangkan mie kuah di atas meja. Tanpa menunggu lama lagi keduanya segera menyantap makanan yang sudah di masak oleh Rachel Diandra.
"Mas mau tanya, kamu mau kita punya anak berapa?"
"Hmmm ... Berapa aja, Mas. Sedikasihnya aja."
"Kalau Mas pengen banyak?" tanya lelaki itu menatap Rachel.
"Kalau Mas sanggup menafkahi apa salahnya." Balas Rachel dengan menampilkan senyuman.
Fariq pun mengulurkan tangannya mengusap kepala wanita itu. "Mas akan mencoba menjadi suami sempurna untuk istri terbaikku ini."
"Makasih, Mas. Rachel berharap semoga rumah tangga kita terhindar dari masalah."
[] [] []
Pagi hari tiba, Rachel lebih dulu bangun. Dia tidak berani mengobrol dengan suaminya saat ini. Rasa malu masih menyelimuti dirinya.
"Ariq nggak kerja?" tanya Indi.
"Nggak tau, Ma. Mas Ariq masih tidur."
"Terus kenapa nggak kamu bangunin. Nanti dia telat."
"Biarin aja, Ma. Biarin dia istirahat dari pada kerja terus."
"Hmmm ... Ya sudahlah."
Rachel menyantap sarapan pagi yang dibuat oleh ibunya. Kedua wanita itu sudah rapi dengan pakaian mereka.
"Kalau Ariq tidur kamu pergi sendiri?"
"Iya, Ma."
Terlihat Fariq mulai berjalan mendekati kedua wanita itu. Dia duduk tepat di samping istrinya.
"Kamu kerja?"
"Iya, Ma."
"Apa kata Mama Rachel. Bukannya dari tadi bangunin suami. Ini malah bangun sendiri."
Rachel terdiam, ia menyiapkan makanan untuk suaminya. Dibawa sana Fariq mengelus-elus lengan wanita itu. Rachel takut jika Fariq tidak bisa di kontrol.
"Mama udah selesai makan. Mama pergi duluan ya."
"Iya, Ma."
Rachel semakin deg-degan ketika ia hanya berdua saja dengan suaminya.
"Minum sayang."
Rachel memberikan segelas air tanpa menoleh kearah suaminya. Hal itu membuat Fariq merasa heran.
"Sayang."
"Iya, Mas."
"Mas punya salah ya?" tanya Fariq.
"Kok Mas nanya gitu?" Rachel fokus makan.
"Kenapa nggak mau liat Mas?"
"Nggak apa-apa Mas."
"Kalau Mas punya salah bilang. Jangan gini cara kamu."
"Mas nggak punya salah. Makan cepat, biar kita pergi."
"Bilang Rachel. Kenapa kamu nggak mau liat Mas?"
"Rachel malu sama, Mas. Bukan karena Mas punya salah."
"Malu?" Fariq mengernyitkan keningnya. "Malu kenapa?"
"Iiih, malah nanya lagi."
"Mas 'kan nggak tau sayang."
"Rachel masih malu sama kejadian semalam." ungkapnya memalingkan wajahnya.
"Ya Tuhan ... Hei, ini suami kamu. Ngapain malu?"
"Mas mana ngerti jadi Rachel."
"Eummm ... Ya udah kalau gitu."
"Sekarang Mas makan ya. Biar kita langsung berangkat."
"Iya, sayang."