Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
Matahari bersinar cerah di atas pesantren. Zahra, yang sudah beberapa hari terakhir merasa dirinya jadi pusat perhatian, tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Namun, ada rasa berat di hatinya. Ia sadar perasaan Zidan bukanlah sesuatu yang sederhana. Zahra bukan hanya harus memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga nama baik pesantren dan keluarga besar Zidan.
Sementara itu, Zidan tampak lebih tenang pagi ini setelah pembicaraan orang tuanya dengan Kiai Mahfud. Meski jalan di depan masih penuh rintangan, setidaknya ia tahu Abi dan Ummi tidak sepenuhnya menutup hatinya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal, bagaimana dengan Maya?
Di tempat lain, Maya tidak tinggal diam. Setelah mendengar kabar dari ayahnya tentang diskusi dengan keluarga Zidan, hatinya penuh dengan kemarahan. Baginya, Zahra bukan siapa-siapa, hanya seorang santriwati biasa yang mencoba melampaui batasnya.
Maya menemui Zahra di taman pesantren saat jam istirahat. Ia sengaja memilih tempat itu karena tahu Zahra sering menghabiskan waktu membaca di sana. Dengan langkah percaya diri, Maya menghampiri Zahra yang sedang duduk membaca kitab kecil.
"Zahra," suara Maya memecah keheningan.
Zahra menoleh, kaget melihat Maya berdiri di depannya. "Assalamu'alaikum, Ning Maya," sapanya dengan sopan.
Maya hanya tersenyum tipis. "Wa'alaikumussalam. Bisa kita bicara sebentar?"
Zahra mengangguk dan menutup kitabnya.
Maya duduk di hadapannya. "Zahra, aku ingin jujur saja. Aku tahu apa yang sedang terjadi antara kamu dan Zidan."
Zahra terkejut, tetapi ia tetap berusaha tenang. "Ning, saya tidak tahu maksud Ning." Ya, sejak mengetahui bahwa Maya adalah calon istri Gus Zidan, Zahra langsung merubah panggilan dari mbak menjadi Ning.
Maya mendekatkan wajahnya sedikit, suaranya menurun. "Dengar, Zahra. Aku dan Zidan sudah dijodohkan sejak kecil. Apa yang kamu lakukan sekarang bisa menghancurkan hubungan kami, bahkan nama baik pesantren ini."
Hati Zahra berdesir. Ia tidak pernah berniat merusak hubungan siapa pun. Tapi kata-kata Maya seperti belati yang menusuk hatinya.
"Ning Maya, saya tidak pernah berniat apa-apa dengan Gus Zidan," kata Zahra, suaranya bergetar. "Saya hanya seorang santriwati yang ingin belajar di sini."
"Tapi kamu harus sadar, Zahra," Maya memotong, nadanya mulai tegas. "Zidan adalah milikku, dan tidak ada tempat untukmu di dalam hidupnya."
Air mata mulai menggenang di mata Zahra. Ia menunduk, berusaha menahan diri agar tidak menangis di depan Maya.
Maya berdiri, merasa puas melihat Zahra terdiam. "Aku harap kamu mengerti posisi kamu. Jangan sampai ini menjadi lebih buruk."
Setelah Maya pergi, Zahra tak bisa menahan air matanya lagi. Ia merasa tak berdaya, seolah hidupnya di pesantren ini berubah menjadi beban berat.
Di sisi lain, Zidan sedang berbincang dengan Abi Idris di ruang keluarga. Suasana antara keduanya terasa lebih santai, tetapi ada ketegangan yang tersirat.
"Zidan," Abi memulai. "Kiai Mahfud sudah memberikan izin untuk membicarakan ulang perjodohanmu dengan nak Maya. Tapi keputusan ini tidak bisa hanya berdasarkan emosi sesaat."
Zidan mengangguk. "Abi, saya tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi saya yakin perasaan saya kepada Zahra bukan hanya sesaat."
Abi menatap putranya dengan penuh pertimbangan. "Kalau begitu, kamu harus membuktikan keseriusanmu. Zahra bukan hanya seorang santriwati, dia juga membawa tanggung jawab besar jika hubungan ini diteruskan."
"Saya paham, Abi," jawab Zidan mantap.
Abi tersenyum tipis. "Kalau begitu, bicaralah dengan Zahra. Pastikan dia juga merasakan hal yang sama. Setelah itu, kita akan pikirkan langkah selanjutnya."
Malam itu, Zahra sedang duduk di balkon kamarnya, menatap langit penuh bintang. Doa-doa yang ia panjatkan terasa lebih panjang dari biasanya.
"Ya Allah," bisiknya, "jika apa yang terjadi ini adalah ujian, kuatkanlah aku. Jika aku harus pergi dari sini demi kebaikan, maka tunjukkanlah jalan yang benar."
Tiba-tiba, ada ketukan di pintu kamarnya. Zahra segera menghapus air matanya dan membuka pintu. Di sana berdiri salah seorang pengurus pesantren, menyampaikan bahwa Gus Zidan ingin bicara dengannya di ruang perpustakaan.
Hati Zahra berdebar. Ia tahu pertemuan ini tidak biasa, tetapi ia juga tidak bisa menolak.
Di ruang perpustakaan, Zidan sudah menunggu dengan wajah penuh keseriusan. Ketika Zahra masuk, ia berdiri, menyambutnya dengan senyuman kecil.
"Terima kasih sudah mau datang, Zahra," kata Zidan dengan lembut.
Zahra mengangguk pelan. "Ada yang bisa saya bantu, Gus?"
Zidan menarik napas dalam-dalam. "Zahra, saya ingin jujur padamu. Saya tahu situasi ini sulit, terutama untukmu. Tapi saya juga tidak bisa lagi membohongi perasaan saya. Saya… saya mencintaimu."
Kata-kata itu membuat Zahra terdiam. Hatinya berkecamuk antara bahagia dan takut.
"Gus Zidan," Zahra akhirnya berbicara. "Saya tidak tahu harus berkata apa. Tapi saya juga tidak ingin menjadi alasan retaknya hubungan keluarga atau pesantren ini."
"Zahra, ini bukan salahmu," Zidan menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Ini adalah pilihan saya. Dan saya ingin memastikan bahwa kamu juga memiliki pilihan."
Zahra menunduk, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di hatinya.
"Gus Zidan," Zahra akhirnya berbicara dengan suara lembut. "Saya tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Saya butuh waktu untuk merenungkan semuanya."
Zidan mengangguk. "Ambillah waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa saya di sini untukmu."
Setelah pertemuan itu, Zahra kembali ke kamarnya dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa apa pun pilihannya, akan ada konsekuensi besar yang harus dihadapi.
Sementara itu, Zidan duduk di kamarnya, menatap foto keluarga di mejanya. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tetapi ia siap menghadapi segalanya demi Zahra.
Di balik semua ini, Maya mulai menyusun rencana baru. Baginya, menyerah bukanlah pilihan. Ia akan melakukan apa pun untuk memastikan Zidan tetap menjadi miliknya, meskipun itu berarti harus menghancurkan Zahra.
Pada bab ini memperlihatkan bagaimana konflik semakin memuncak. Zahra dihadapkan pada dilema besar, sementara Zidan harus berjuang melawan tradisi dan harapan keluarga. Bagaimana kisah ini akan berlanjut? Akankah cinta mereka mampu melampaui segala rintangan? Ataukah Maya akan memenangkan permainan ini?
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??