Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 6
"Assalamualaikum...", Rayyan melepaskan sepatunya kemudian menggantinya dengan sandal rumah.
"Wa'alaikumussalam. Kok baru datang sekarang?", sahut Salman sambil mengambil bungkusan besar berisi kotak kue dari tangan Rayyan.
Rayyan melengos menyadari bukan dirinya lah yang sebenarnya ditunggu Salman.
"Ini dia.. kuenya sudah datang..", ucap Salman sambil menenteng tinggi bungkusan itu.
Putrinya tergelak bertepuk tangan sambil melompat-lompat kegirangan.
Acara itu hanya dihadiri oleh Rayyan, tak ada yang lain. Lagipula rumah Salman tak cukup menampung banyak orang, terlalu kecil. Bahkan lebih kecil dari lantai tiga toko roti yang ditempati Rayyan.
"Man, aku nanti mungkin perlu bantuan kamu", Rayyan membuka percakapan sambil menikmati makanan.
"Maksudnya?", tanya Salman yang sedang menggendong bayi, anak keduanya.
"Ini tentang masalah Eun-mi. Dia sudah memutuskan untuk melakukan kencan buta itu untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu...", Rayyan terdiam sejenak.
"Ah! Aku juga gak tahu dia mau ngapain kalo ternyata yang terakhir ini juga gagal", Rayyan meringis.
"Lalu, aku harus bantu apa?", tanya Salman yang belum mengerti keterlibatannya dalam hal itu.
"Aku sudah tahu siapa teman kencan butanya. Dan aku sudah bertekad untuk berusaha supaya yang terakhir ini bisa sukses. Jangan sampai gagal lagi", sahut Rayyan.
"Tapi Eun-mi jangan sampai tahu. Aku gak mau kesannya nanti malah seperti terlalu ikut campur urusan pribadinya", sambungnya.
"Terus, aku harus bantu kamu di bagian mananya? Apa cuma bagian dengerin ocehan kamu? Oke lah, gak masalah. Lagian sudah sering gitu juga kok", wajah Salman terlihat kesal.
Rayyan tersadar lalu tersenyum.
"Maaf bro, maksud aku bukan kayak gitu. Aku kan perlu kasih tahu kamu dulu gimana duduk perkaranya. Baru habis itu aku kasih tahu peran kamu di bagian mana, gitu..".
"Aku sudah pernah ketemu sama laki-laki itu, bahkan sudah sempat ngobrol bahkan diskusi singkat tentang Eun-mi dan rencana kencan buta mereka. Kabar baiknya, ternyata dia itu Agnostik. Jadi mungkin bakal lebih mudah kalo diajak supaya mau belajar Islam", terang Rayyan.
Salman mengangguk-angguk, tapi dalam hatinya ia gemas karena Rayyan belum juga menjelaskan peran dirinya dalam masalah ini.
"Sementara ini sih, aku beri dia waktu buat berpikir dulu. Walau gimana juga, ini keputusan besar buat hidup dia, apalagi setelah itu dia juga harus menikah. Nah.. kalau nanti akhirnya dia setuju dan mudah-mudahan memang begitu, aku berharapnya kamu mau mendampingi dia selama proses belajarnya", akhirnya Rayyan sampai juga pada tahap yang sedari tadi ditunggu Salman.
"Kamu kan dekat tuh sama Ustadz Suleiman, jadi jelas tugas ini paling pas kalo diserahin ke kamu. Gimana?", ucap Rayyan sambil menyuap sup di hadapannya.
Salman kembali mengangguk-angguk, dan kali ini tentu saja karena sudah paham dengan sepenuhnya.
"Oke lah, itu juga gak masalah. Sekalian nyari pahala nemenin orang yang mau kembali ke fitrah", sahut Salman.
Rayyan tersenyum puas mendengarnya.
Terdengar bel pintu berbunyi. Min-Young, isteri Salman segera menuju pintu dan membukanya.
"Halo.. maaf aku terlambat", seorang wanita masuk kemudian Min-Young mengajaknya bergabung di meja makan.
Itu Wina, wanita yang pernah ditemui Rayyan di minimarket beberapa hari yang lalu.
Rayyan dan Salman saling pandang. Seolah paham arti pandangan Rayyan, Salman kemudian menggeleng samar.
"Halo.. apakah kau yang berulang tahun?", tanya Wina pada anak perempuan Salman.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah, ini kado untukmu. Selamat ulang tahun..", ucapnya tersenyum, kemudian melirik ke arah Rayyan.
"Aku gak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini. Kalian saudara?", tanya Wina menelisik wajah Salman dan Rayyan bergantian untuk mencari kemiripan di antara keduanya.
"Ya jelas lah!", sahut Salman mantap.
"Bukannya setiap muslim itu bersaudara?", sambungnya lagi.
Wina tergelak mendengarnya.
"Ya..ya.. tentu. Tapi kalian tahu kan kalau bukan itu maksudku?", sahut Wina tak puas karena tak mendapatkan jawaban.
"Kami kenalnya di Masjid Raya Seoul. Namanya juga di luar negeri, asal sesama orang Indonesia, rasanya sudah kayak saudara dekat", ucap Salman.
"Iya juga sih. Kalau begitu, kalian juga menganggapku sebagai saudara kan?", pinta Wina, kemudian menyuap kue ulang tahun yang di sajikan Min-Young di hadapannya.
"Wow, kuenya benar-benar enak. Kalian beli dimana?", tanya Wina bersemangat.
"Rayyan yang membuatnya. Dia memang koki yang hebat", puji Min-Young.
"Serius kamu yang bikin? Kalau begitu, kayaknya aku memang harus mampir ke toko kamu deh. Kalau bisa bikin kue ulang tahun seenak ini, pasti yang lainnya juga gak kalah enak", ucap Wina sambil melihat Rayyan.
Rayyan hanya tersenyum. Entah mengapa ia merasa kurang nyaman dengan keberadaan Wina. Sebenarnya ia ingin sekali segera pulang, tapi khawatir dianggap tak sopan.
Ponsel Rayyan kemudian terdengar berbunyi. Salman dan Wina sontak menatapnya.
Setelah melihat siapa yang menelpon, Rayyan kemudian menjawabnya.
"Halo, assalamualaikum"
"Iya, aku masih di rumah Salman dan Min-Young. Gimana acaranya?"
"Sabar..sabar.. didengerin aja. Usahakan jangan sampai kamu keceplosan ngomong kasar"
"Belum tahu nih, mungkin sebentar lagi"
"Oke, nanti aku cek. Sampai jumpa, assalamualaikum"
Rayyan kemudian mematikan sambungannya.
Salman sudah tahu siapa yang menelpon tadi. Sementara Wina melirik Rayyan dengan tatapan penasaran.
"Pacar kamu ya?", tanyanya.
Rayyan kaget dengan pertanyaan itu. Dan jujur ia merasa risih mendengarnya. Bagaimana mungkin seseorang yang baru ditemuinya bisa bertanya hal seprivasi itu padanya. Dia merasa wanita ini bertindak terlalu jauh.
Rayyan hanya diam, tak ingin menanggapi dan meneruskan menyuap makanannya sampai habis.
Tapi Salman tidak. Dia merasa tak enak dengan Rayyan yang sepertinya merasa terganggu dengan kehadiran Wina.
"Bro, sebentar lagi waktu sholat nih. Mending kita sekarang aja berangkatnya, takutnya nanti telat", ajaknya, sekaligus berniat menjauhkan Rayyan dari gangguan Wina.
"Oh, gitu ya? Oke, kita berangkat sekarang", sahut Rayyan yang akhirnya bisa merasa lega.