Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Aerin dan Laras saling menatap tidak suka. Mereka sekarang berdiri berhadapan dengan Anson yang tengah memeriksa laporan milik Aerin yang di lempar Laras tadi. Lelaki itu membolak-balik lembaran kertas ditangannya dan membaca dengan sangat teliti. Beberapa menit kemudian ia menaikan kepalanya menatap Laras.
"Kau bilang kau dimarahi keluarga pasien karena salah pengetikan nama?" tanyanya. Laras mengangguk. Pandangan Anson beralih ke Aerin.
"Mulai sekarang, semua laporan yang kau buat berikan padaku dulu, setelah aku memeriksa dan menyetujuinya baru berikan pada mereka." ucapnya tegas. Aerin mengangguk, berbeda dengan Laras yang tampak keberatan.
"Tapi dokter, bukankah dia harus minta maaf pada keluarga pasien?" ujar Laras. Anson menatapnya lagi.
"Siapa namamu?" tanya lelaki itu. Ia memang tidak pernah menghafal nama orang yang baru ia kenal atau yang menurutnya tidak penting.
"Laras." jawab Laras dengan lantang seolah ingin Anson terus mengingat namanya.
"Baiklah dokter Laras. Aku akan mengurus masalah ini dengan keluarga pasien, sekarang kau boleh keluar." senyum di wajah Laras memudar. Ia pikir akan melihat Aerin di hukum, tapi apa ini? Dibiarkan begitu saja?
"Masih ada yang lain?" tanya Anson lagi karena Laras belum keluar-keluar juga. Mau tak mau gadis itu berbalik meninggalkan ruangan itu. Ia mendelik tajam ke Aerin sebelum pergi. Aerin hanya menatapnya aneh dan ikut berbalik mau keluar namun langkahnya dihentikan Anson.
"Aerin, aku belum menyuruhmu keluar."
Laras masih sempat dengar perkataan Anson dari ambang pintu. Cara pria itu memanggil Aerin seperti mereka memang akrab. Rahang Laras mengeras, ia tidak suka. Apalagi Anson menyuruhnya keluar dan hanya ingin bicara berdua dengan gadis yang dibencinya itu.
Laras mengepalkan tangannya kuat-kuat dan lanjut berjalan dengan emosi tertahan, hatinya sangat panas tapi ia masih harus berakting baik di depan yang lain.
"Aerin, kau mendengarku kan? Kembali ke sini sekarang." perintah Anson lagi karena Aerin hanya berdiri diam di ujung sana.
Aerin menarik nafasnya dalam-dalam mencoba rileks dan berbalik melangkah ke tempatnya berdiri tadi di depan Anson. Pria itu menatapnya tajam.
"Duduk." perintah Anson lagi. Mau tak mau Aerin menggeser sebuah kursi didekat situ dan duduk berhadapan dengan pemilik wajah tampan yang menurutnya tampak menyeramkan itu. Kenapa juga lelaki itu ingin bicara berdua dengannya? Kenapa tidak bicara waktu ada Laras tadi? Ia sama sekali tidak mengerti.
Anson mencondongkan kepalanya mendekat ke wajah Aerin membuat gadis itu terkesiap. Bola matanya membesar.
"Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk bekerja dengan benar?" gumam Anson di depan wajah Aerin, setengah berbisik namun terkesan memberinya peringatan. Gadis itu mundur beberapa senti. Ia bisa merasakan hembusan nafas Anson diwajahnya.
Aerin menetralkan jantungnya yang berdebar cepat dan menelan salivanya. Pokoknya ia harus terlihat biasa saja di depan lelaki ini.
"Aku hanya mengetik nama yang diberikan dokter Laras padaku, mana kutahu kalau itu nama yang salah." balas gadis itu. Menurutnya ia memang tidak merasa berbuat salah.
"Lain kali bertanya dulu sebelum sebelum membuat laporan." balas Anson. Ia kembali bersandar di sandaran kursi putarnya.
Aerin memutar bola matanya mala dan malah meracau, dan bergumam tidak jelas pada dirinya sendiri.
"Seandainya mereka akan membantuku menjawab, aku tidak akan segan-segan bertanya dengan senang hati ." gumamnya sangat pelan.
"Apa katamu?" Anson tidak bisa mendengarnya jelas. Sedang Aerin cepat-cepat melambai-lambai didepan wajah pria itu.
"Tidak, tidak." katanya kelabakan.
Anson tersenyum miring.
"Ya sudah, kau boleh keluar sekarang." usirnya. Mendengar itu Aerin cepat-cepat berdiri dan keluar.
Diluar, ia mendengar bisik-bisik ketika kembali duduk di meja kerjanya, entah apa yang mereka gosipkan lagi. Matanya menangkap tatapan Laras yang sangat sinis. Aerin pmalah tersenyum meledek, ia tahu pasti gadis itu sangat emosi padanya sekarang ini. Ia harus berterimakasih pada Anson. Setidaknya, walaupun lelaki itu membencinya namun dalam masalah pekerjaan ia cukup profesional. Tidak seperti Logan dan Laras yang selalu menyerangnya bertubi-tubi.
"Aerin," panggil Andrea yang entah sejak kapan sudah berada didalam situ. Aerin menyamping, melirik Andrea.
"Kau punya waktu nanti malam?" kali ini Andrea bergumam pelan lebih seperti berbisik. Aerin mengernyit bingung, raut wajah Andrea tidak terlihat begitu baik.
"Shift-ku hanya sampai jam enam sore." jawab Aerin. Ia masih terus mengamati Andrea. Tampang Andrea seperti seseorang yang baru saja putus cinta. Jangan-jangan dia baru putus lagi dengan pacarnya.
"Kenapa denganmu?" Andrea tersenyum paksa, ia memandang berkeliling sebentar, setelah dilihatnya orang-orang di dalam ruangan itu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, ia kembali menatap Aerin.
"Aku bertengkar dengan pacarku. Kalau kau punya waktu, bisakan temani aku ke club?"
Club?
Aerin sebenarnya adalah tipe perempuan yang tidak menyukai tempat seperti itu. Kepalanya sering pusing berada di tempat ramai dengan lampu kerlap kerlip dan musik keras yang tidak enak didengar ditelinganya itu. Ia tidak biasa.
"Bagaimana? ulang Andrea dengan wajah penuh harap.
Aerin menatapnya sebentar, menghela napas pelan lalu mengangguk. Sepertinya Andrea lagi ada masalah, jadi iyakan saja. Andrea tersenyum.
"Aku akan memesan tempat." ucapnya senang.
***
Malamnya, sepulang kerja, Andrea dan Aerin masuk ke salah satu night club terkenal. Katanya sih cukup banyak artis-artis dan pengusaha yang datang clubbing ke tempat itu. Bahkan tak tanggung-tanggung banyak wanita yang rela habisin budget tinggi demi masuk club itu. Pastinya untuk mencari keberuntungan bertemu jodoh kaya.
Dari awal masuk Aerin sudah merasa risih apalagi Andrea memberinya gaun yang cukup sexy. Astaga, Andrea ini sangat berani. Ia bahkan rela mau pakai pakaian sexy begitu buat memanas-manasi pacarnya. Lebih bodohnya lagi Aerin mau-mau saja ikut-ikutan pakai.
Ada banyak pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan liar. Ada yang bersiul-siul bahkan berani menyentuh saat kedua gadis itu melewati mereka.
Aerin cepat-cepat menghempaskan tangan-tangan para lelaki mesum yang mencoba-coba menyentuhnya tiap kali ia melewati mereka. Sinting, harusnya tempat ini sudah ditutup oleh polisi. Ia yakin selain berhubungan badan dengan orang tidak dikenal, pasti banyak yang melakukan pelecehan seksual di tempat begini, ia harus hati-hati.
"Andrea, kau yakin tempat ini aman?" tanya Aerin, Andrea tersenyum menatapnya.
"Aku baru ingat ini kali pertamamu ke tempat begini."
Aerin tersenyum kikuk.
"Kau tenang saja, di sini aman. Ayo ikut aku." kata Andrea lagi lalu merangkul Aerin berjalan ke table dekat lantai dansa. Banyak jenis minuman yang telah disiapkan di atas meja itu. Aerin berulang kali menutup telinganya yang berdengung akibat suara musik yang menurutnya sangat keras itu. Ia melihat Andrea membuka sebotol wine yang ia tidak tahu wine jenis apa itu dan tidak pernah mau tahu. Matanya melebar ketika Andrea meminum langsung dari botol dan tanpa jeda.
Andrea ini dikantor begitu alim ternyata diluar gadis itu liar juga. Bahkan Aerin saja yang selalu digosipkan sebagai gadis liar bisa kalah telak. Ia tidak pernah menyentuh minuman keras sekalipun.
Kali ini ia melihat seorang pria datang menghampiri mereka dan berbicara dengan Andrea. Andrea menyambut pria itu yang sepertinya mengajaknya berdansa karena sekarang mereka pergi menuju pesta dansa.